Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 Juli 2013, maka seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sudah harus mengubah penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh atas penghasilan yang diterimanya. Apabila selama ini, penghasilan yang diterimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dihitung dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh tarif Pasal 17 UU PPh, maka sejak 1 Juli 2013, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memenuhi ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 harus mengubah penghitungan PPh atas penghasilannya menjadi dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran usaha bruto setiap bulannya.
Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):
Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.
Simpulan
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com
Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.
Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):
- Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap); dan
- menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
- pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
- olahragawan;
- penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- agen iklan;
- pengawas atau pengelola proyek;
- perantara;
- petugas penjaja barang dagangan;
- agen asuransi; dan
- distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
- Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau kasa dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
- Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.
Simpulan
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
- menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; atau
- menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap); dan
- menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
- menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
- belum beroperasi secara komersial; atau
- dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com
Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.
24 Comments
dear Mas Anto,
Terimakasih blog ini sangat membantu saya, kami pengusaha UKM sudah dikukuhkan sebagai PKP dari awal perusahaan kami didirikan, omzet <4.8M, kalau kami menjual ke BUMN, kami dipotong pph psl.22, kadang2 kami melakukan import spare parts dan membayar pph psl.22 import.
Pertanyaan kami sehubungan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 :
1.Bagaimana bentuk laporan SPT Tahunan Badan tahun 2013 ?
2. Bagaimana dengan kredit pajak pph psl.22 periode Juli-Desember 2013?
3.Apakah kami masih membuat laporan rugi/laba mengingat bulan mulai omzet Juli-Desember sudah dikenakan PPH 1% final?
Mohon dibantu Penjelasannya, terimakasih MAs Anto
regards,
Agustin
Terima kasih atas kesediaannya untuk mengunjungi dan membaca blog saya. Berikut adalah jawaban atas pertanyaannya:
1.Bentuk formulir SPT Tahunan PPh Badan tahun 2013 hingga saat ini masih belum ada perubahaan atau update tentang bentuk barunya. Jika sudah ada update, akan segera saya informasikan melalui blog ini. Namun apabila tetap masih menggunakan formulir SPT bentuk yang tahun 2012, maka menurut saya, tetap dapat mengakomodasi ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 ini. Penghasilan yang bersifat final ini nantinya akan dilaporkan dalam Form 1771 - IV.
2.Kredit pajak (PPh Pasal 22) yang timbul selama periode Juli s.d. Desember 2013 akan diperhitungkan (dikreditkan) dengan PPh terutang dari penghasilan yang diperoleh selama periode Januari s.d. Juni 2013 (penghasilan tidak final). Namun apabila ternyata memang diperkirakan akan mengalami kelebihan bayar pajak akibat dari pemotongan PPh Pasal 22 ini, maka Anda dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemotongan PPh Pasal 22 oleh BUMN atau impor ke Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan Anda terdaftar.
3. Walaupun perusahaan telah dikenakan PPh yang bersifat final 1%, namun Perusahaan tetap diwajibkan untuk membuat Laporan Keuangan (termasuk juga laporan laba rugi) untuk kelak dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
dear Mas Anto,
Terimakasih atas pencerahannya
Agustin
selamat siang Pak Anto, saya Amir ada beberapa hal yg ingin saya tanyakan berhubungan dengan terbitnya PP Nomor 46 Tahun 2013.
1. Besarnya PPh final 1% untuk wp orang prbadi apakah dihitung berdasarkan omzet tiap bulannya ? jika ya, dihitung mulai bulan berapa?
2. Penyetoran PPh final 1% dilakukan mulai bulan berapa?
3. Orang tua saya mendapatkan penghasilan hanya dari usaha penginapan yg dimilikinya, yg menjadi pertanyaan saya apakah setelah menyetorkan PPh final 1% orangtua saya harus menyetorkan PPh pasal 25 lagi ? sebagaimana yg dilakukan orangtua saya tiap bulannya.
4. Bagaimana dengan pelaporan spt tahunan nanti, formulir mana saja yg harus diisi dan apa2 saja yg harus dilaporkan?
5. Adakah perubahan dalam pelaporan spt masa pajak penghasilan psl 21 dan/atau psl 26 ?
Dengan hormat kepada Bpk Anto.
Pak saya mau menanyakan pp46 th2013 ini karena saya juga dwajibkan memenuhinya.
Gambaran saja saya PKP memiliki 2 toko NPWP ada cabang 001 dan 002
tiap bulan kewajiban saya bayar :
-PPN001
-PPN002
-PPh pasal25 kode 101 OP TERTENTU tertentu u/cabang 001 yg didapat dari 0,75% dari omset pajak keluaran PPN001
-PPh pasal25 kode 101 OP TERTENTU tertentu u/cabang 002 yg didapat dari 0,75% dari omset pajak keluaran PPN002
teman saya memberi info bahwa yang berubah hanya PPH pasal25 kode setoran 101 WP OP tertentu sebesar 0,75% (DIHAPUS)
dihilangkan diganti dengan 411128-kode setoran 420 saja dan jumlahnya dinaikan kl dulu 0,75% menjadi 1% dari tetap omset pajak keluaran digungung PPN
Pertanyaan saya:
1.apa betul seperti penjelasan teman saya saja?
2. Bagaimana menghitung besaran pajak terutang tahunan (SPT tahunan)?
apakah dihitung biasa besarnya pajak terutang lalu dikurangkan pasal 25yang terlanjur bayar hingga masa sekarang
kemudian dikurangkan lagi dengan PP46 ini (411128-420) sisanya dibayar saat setor SPT Thnan?
Makasih banyak pak untuk blog ini sangat membantu saya dalam memahami pajak dan membayar dengan benar.
Bapak Buana.
Menjawab Pertanyaan Sdr. Amir:
1. PPh Final 1% dihitung berdasarkan omzet setiap bulannya. Misal selama Juli 2013 omzet (peredaran usaha bruto) adalah Rp 100.000.000, maka PPh Final (Pasal 4 ayat (2) yang harus disetor untuk masa pajak Juli 2013 adalah sebesar Rp 100.000.000 x 1% = Rp 1.000.000
2. Sesuai ketentuan PP No. 46 Tahun 2013, maka mulai berlakunya ketentuan ini adalah untuk masa Juli 2013. Berarti setoran PPh Pasal 4 ayat (2) final sebesar 1% dimulai sejak masa Juli 2013 yang dilakukan paling lambat tanggal 15 Agustus 2013.
3. Apabila usaha yang dilakukan memenuhi kriteria sebagai WP dengan Peredaran Usaha Tertentu dan dapat menerapkan PPh final 1% ini (penghasilan dari usaha penginapan dapat termasuk kriteria) serta tidak memiliki penghasilan lainnya yang harus dikenakan PPh tidak final/tarif Pasal 17 UU PPh, maka orang tua Anda tidak perlu menyetorkan lagi PPh Pasal 25. Cukup hanya dengan menyetorkan PPh Final 1%.
4. Pelaporan SPT Tahunan masih sama dengan yang digunakan pada tahun 2012 (kecuali jika nanti Ditjen Pajak mengeluarkan ketentuan tentang bentuk formulir SPT yang baru) yaitu menggunakan Form 1770. Untuk penghasilan yang dikenakan PPh final 1% ini nantinya dilaporkan dalam Form 1770-III pada Bagian A "Penghasilan yang dikenakan PPh Final" di kolom No. 16 "PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL".
5. Untuk pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 hingga saat ini masih tetap sama dan menggunakan formulir SPT Masa seperti bulan-bulan sebelumnya. Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini digunakan hingga Masa Desember 2013 ini. Nanti mulai Masa Januari 2014, sudah harus menggunakan formulir SPT Masa yang baru. Artikelnya dapat dibaca DI SINI.
Selamat Siang Pak Anto,
Menurut UU PPh, yang melakukan pekerjaan bebas adalah WP Orang Pribadi. Apakah itu berarti Wajib Pajak Badan yang melakukan pekerjaan bebas tetap dikenakan PPh Final 1% jika omzet dibawah 4,8M ?. Mohon penjelasannya Pak, Terima kasih sebelumnya
Menjawab pertanyaan Bapak Buana:
1. Mulai Masa Juli 2013 telah berlaku ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 yang mewajibkan Wajib Pajak yang memiliki usaha seperti Bpk. Buana untuk menghitung PPh terutangnya dengan menerapkan tarif 1% atas omzet yang diperoleh setiap tempat kegiatan usahanya dan bersifat final. Cara penyetorannya adalah dengan menggunakan SSP dengan kode Jenis Setoran 411128-420. Dengan berlakunya ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 ini, maka ketentuan PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPPT) sebesar 0,75% tidak berlaku lagi.
2. Dengan pengenaan PPh yang bersifat final ini, maka pada akhir tahun tidak perlu dihitung lagi PPh terutangnya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi form 1770 Induk, namun penghasilan yang bersifat final yang telah disetorkan PPh final setiap bulannya cukup diakumulasikan ke form 1770-III (baca penjelasan sebelum Comment ini).
Hanya saja pada tahun 2013 ini, terdapat bagian tahun pajak yang masih menerapkan penghasilan yang diperoleh dengan menggunakan tarif umum PPh Pasal 17 (tidak final) oleh sebab itu, Penghasilan yang diterima di Januari s.d. Juni 2013 tetap harus dihitung PPh dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. PPh terutangnya akan dikurangkan dengan PPh Pasal 25 yang telah disetorkan selama Januari s.d. Juni 2013.
Sedangkan apabila pada masa Juli 2013 Anda sudah terlanjur menyetorkan PPh Pasal 25, maka setoran PPh Pasal 25 tersebut dapat diajukan pemindahbukuan ke setoran PPh final berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013. Pemindahbukuan (Pbk) ini diajukan secara tertulis ke KPP tempat terdaftar.
Jika kita cermati ketentuan PP No. 42 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 107/PMK.011/2013 yang dimaksud Wajib Pajak badan yang memenuhi kriteria PP No. 42 Tahun 2013 adalah juga termasuk Wajib Pajak Badan yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas.
Dear Pak Anto,
Untuk pedagang kelontong ( langsam ) seperti agen rokok apakah termasuk di dalam penggunaan pp no 46 tahun 2013
thanks
candra wijaya
makasih bapak anto untuk tanggapannya yang sudah diberikan
saya bapak buana
melanjutkan pertanyaan saya ada satu hal yang membuat saya bingung
saya memiliki npwp 000 dialamat rumah kewajiban tiap bulan LAPOR pph pasal 25
yang jumlahnya selama ini nihil karena tidak ada kegiatan usaha di rumah
sedangkan NPWP cabang alamat toko masih satu kecamatan 001 dan 002 karena termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPPT) sebesar 0,75% tidak berlaku lagi(YANG AKAN SAYA GANTI MENJADI 1% dari omset sesuai dengan pp46 th2013 ini **sesuai dengan jawaban bapak anto**)
lalu bagaimana pak dengan NPWP 000 alamat rumah saya apa tiap bulan juga tetap LAPOR NIHIL dengan kode pasal 25? atau untuk alamat rumah ini juga LAPOR NIHIL tapi Dengan kode 411128-420?
sekali lagi
Makasih pak
saya sangat mengharapkan bimbingan dan jawaban bapak anto.
makasih
Bapak Buana
Menjawab pertanyaab Sdr. Candra Wijaya:
PP No. 46 Tahun 2013 ini berlaku bagi pedagang kelontong (langsam) seperti agen rokok yang melakukan usahanya dalam bangunan yang diperuntukkan bagi usaha dengan omzet (peredaran bruto) setahunnya tidak melebihi Rp 4,8 miliar.
Menjawab pertanyaan Bapak Buana tgl 6 Sept 2013:
Untuk pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2), dilakukan berdasarkan omzet yang terjadi di setiap lokasi tempat usaha. Jika omzet yang di pusat/alamat rumah adalah nihil, maka Bapak melaporkan SSP Nihil untuk PPh Pasal 4 ayat (2) ke KPP lokasi pusat tersebut.
Siang mas Anto,
Mau tanya tentang pph pasal 22 impor apakah bisa di PBK ke pph 4(2) final 1% PP46?
Bisa minta tolong dasar hukumnya
terimakasih
Dona
Dear Pak Anto,
Selamat sore, Pak Anto, semoga Bapak masih mengingat salah satu pengunjung setia blog Pak Anto, saya, Edi Kurniawan dari Jambi :)
Mengenai pernyataan diatas, saya ingin bertanya utk bagian diakhir kesimpulan, tidak semua WP OP yg memiliki omzet tidak melebihi Rp 4,8 M dikenakan PPh Final 1% dari omzet:
1. menerima penghasilan dari usaha yg penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dgn pekerjaan bebas (Contoh profesi atau pekerjaan seperti apa ya?)
2. Menggunakan sarana/prasarana yg dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), maksudnya kalau rumah kayu + toko, termasuk atau tidak termasuk? atau ada penjelasan lebih spesifik?
3. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat utk kepentingan umum yg tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, spesifiknya seperti apa ya?
Your prompt reply is highly appreciated.
Terima kasih.
Salam hangat,
Edi Kurniawan - Jambi
Apakabar Pak Edi Kurniawan? Menjawab pertanyaan Bapak:
1. Orang Pribadi yang menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan contohnya adalah konsultan, dokter yang mempunyai tempat praktek sendiri, akuntan, pengacara, penterjemah.
2. sarana dan prasarana yang dapat dibongkar pasang adalah seperti warung tenda, gerobak dorong.
3. menggunakan sebagaian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yan gtidak diperuntukkan bagi tempat usaha adalah pedagang yang berjualan di tempat yang sebenarnya dilarang untuk berjualan, misalnya pedagang di kaki lima yang tidak diperbolehkan untuk berjualan.
Kami bendahara pemerintah melakukan pembayaran traising risk management ke PT x..PT tersebut telah mendapat surat pencabutan pengukuhan PKP..yang kami tanyakan apakah tetapdikenakan PPh pasal 23 atas jasa yang dibayarkan oleh anggaran
bendaharawan
Bu Nanie,
Pihak Ibu sebagai Bendahara Pemerintah Pemungut PPh, tetap diwajibkan untuk melakukan pemungutan PPh Pasal 23 atas transaksi pengadaan jasa training risk management yang dilakukan oleh PT X. Namun PT X tidak diperbolehkan untuk menerbitkan Faktur Pajak sehingga atas transaksinya PT X tidak mengenakan PPN. Walaupun seharusnya dalam ketentuan, apabila PT X akan melakukan penyerahan barang dann/atau jasa ke pemerintah/BUMN, maka seharusnya PT X memenuhi salah satu kewajiban yaitu telah dikukuhkan sebagai PKP.
siang pak, selama ini kantor saya pajak penghasilan atas sewa (pasal 4 ayat 2 10%) di potong oleh penyewa apakah pasal 4 ayat 2 tidak di pakai lagi? di gantikan oleh pp 46 1%?
atau pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 di tambah pp 46 1% (akumulasi keduanya)
Menjawab pertanyaan Sdri. Prisca Ardanti:
Untuk penghasilan yang telah dikenakan PPh Final, bukan merupakan objek PPh 1% sesuai ketentuan PP 46. Hal ini termasuk juga untuk PPh Final atas penghasilan sewa.
Dengan demikian maka atas penghasilan sewa yang Anda peroleh ini tetap dipotong oleh pihak penyewa dengan tarif 10% sesuai ketentuan PP No. 5 Tahun 2002.
Menjawab pertanyaan Sdri. Dona tentang Pemindahbukuan PPh Pasal 22 impor ke PPh final 1% sesuai PP 46 (mohon maaf terlewatkan oleh saya untuk menjawabnya):
Untuk pembayaran PPh Pasal 22 impor yang terlanjur sudah dilakukan karena Wajib Pajak belum mendapatkan Surat Keterangan Bebas dari pemotongan/pemungutan PPh Pasal 22 Impor, tidak dapat diminta untuk dipindahbukukan namun hanya dapat dikreditkan pada SPT Tahunan PPh sehingga atas kelebihan bayarnya dapat dimintakan restitusi.
apakah pakai gerobak dorong masih dikenakan ?
Untuk yang berdagang menggunakan gerobak (sarana dan prasarana yang dapat dibongkar) dan di tempat yang tidak diperuntukkan untuk berjualan, tidak termasuk WP yang dapat menggunakan ketentuan PP 46 Tahun 2013 ini.
jika ukm yang berpenghasilan minus, ( untuk biaya sehari-hari dan untuk sewa tempat saja tidak cukup) apa tetap harus bayar pajak penghasilan? saya baru buka usaha bengkel sepeda motor dekitar 6bulan, di depok , tolong kejelasanya pak , karna dari rt setempat sudah mendata wajip pajak, saya disuruh petugas itu menandatngani lembaran kosong, apa seperti itu prosedurnya??
Untuk usaha bengkel di Depok yang Anda buka ini apakah dengan menggunakan usaha perseorangan? Ataukah berbadan hukum (seperti CV, PT atau sejenisnya yang ada akta notaris pendiriannya?)
Sementara ini saya asumsikan bahwa Anda mendirikan usaha bengkel ini dengan jenis jasa perseorangan (untuk melihatnya dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar untuk NPWP Anda. Untuk usaha perseorangan, maka sejak terdaftar, apabila omzet (peredaran usaha bruto) setahunnya tidak melebihi Rp 4,8 miliar, maka Anda diwajibkan untuk membayarkan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet per bulannya, walaupun penghasilan Anda ini masih rugi.
Kebetulan usaha Anda di Depok, mungkin dekat dengan lokasi kantor saya, untuk pertanyaan lebih lanjut dapat menghubungi email saya yang tertera di sebelah kanan blog ini.
Posting Komentar