..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Senin, 09 Maret 2015

Penjualan Tanah dan/atau Bangunan Masih Status PPJB Kena PPh Tarif Umum atas Capital Gain

Tahun 2013 dan 2014 Direktorat Jenderal Pajak gencar dalam menggali potensi pajak yang berasal dari transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan. Mulanya program penggalian potensi pajak ini ditujukan kepada para perusahaan pengembang (developer) perumahan. Program penggalian potensi pajak ini dilakukan karena adanya indikasi bahwa adanya potensi pajak yang hilang dari sektor usaha bisnis properti ini.

Dari hasil penggalian potensi pajak ini, ditemukan adanya transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan (properti) yang baru sampai pada tahap terjadinya perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah dan/atau bangunan antara pihak pengembang dengan pihak pembeli (dalam hal ini penulis sebut sebagai pihak pembeli pertama) namun oleh pihak pembeli pertama, properti ini sudah langsung dijualkan kepada pihak pembeli kedua. Kelak pada saat pembuatan Akta Jual Beli (AJB), transaksi yang tercantum dalam akta ini adalah merupakan transaksi pengalihan hak (penjualan) atas properti dari pihak pengembang kepada pihak pembeli kedua tanpa mencantumkan transaksi yang terjadi dengan pihak pembeli pertama.

Umumnya pihak Notaris yang membuat Akta Jual Beli ini, hanya dapat melakukan pengawasan dengan meminta pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada pihak Developer atas pengalihan (penjualan) properti ini kepada pihak pembeli kedua. Sedangkan transaksi sebenarnya pengalihan properti dari pihak Pembeli pertama ke pihak pembeli kedua justru tidak terdeteksi sehingga potensi PPh yang seharusnya diterima oleh negara menjadi hilang.

Perlakuan PPh atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Sebelum AJB

Akibat adanya kejadian pembeli properti yang belum melakukan proses AJB namun sudah menjual kembali properti yang dibelinya tersebut kepada pembeli lain, yang dimana kejadian ini sulit untuk diawasi, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak segera mengeluarkan surat penegasan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2014 tanggal 14 Agustus 2014 tentang Pengawasan atas Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Melalui Jual Beli.

Tujuan dari penetapan surat edaran ini adalah untuk memberikan acuan dan pedoman dalam rangka pengawasan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang dilakukan oleh Wajib Pajak pemegang hak atas tanah yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli sehingga terdapat keseragaman dalam pelaksanaannya.

Penegasan Pengenaan PPh Tidak Final Atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Dalam SE-30/PJ/2014 ini, Direktur Jenderal Pajak menegaskan mengenai perlakuan pengenaan PPh atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperoleh baru melalui PPJB dan belum dilakukan penandatanganan AJB yaitu: Dalam hal sebelum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli antara penjual dengan pembeli terjadi perubahan nama pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka atas penghasilan dari perubahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli, merupakan penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak pembeli yang semula namanya tercantum dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli.

Sebagai contoh kasus, dalam SE-30/PJ/2014 ini diilustrasikan sebagai berikut:

Odik Wijaya membeli 1 unit rumah dari developer PT Bali Griya Persada seharga Rp500.000.000,00 secara tunai. Antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), karena sertifikat rumah tersebut masih dalam proses pemecahan sehingga dilakukan terlebih dahulu dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Odik Wijaya sebagai pembeli. Sertifikat rumah tersebut masih atas nama PT Bali Griya Persada. Sebelum dilakukan AJB antara PT Bali Griya Persada dengan Odik Wijaya, rumah tersebut oleh Odik Wijaya dijual kepada Indra Adi, sehingga akibat transaksi tersebut nama penjual dan pembeli yang tercantum dalam PPJB rumah tersebut menjadi PT Bali Griya Persada sebagai penjual dan Indra Adi sebagai pembeli.

Penghasilan yang diterima atau diperoleh Odik Wijaya dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan berupa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang PPh yang dikenai PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang PPh dan wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh.

Jadi dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa atas transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih dalam bentuk PPJB dan belum dilakukan penandatanganan AJB, maka akan dikenakan PPh dengan tarif Pasal 17 (tidak final) atas selisih keuntungan dari penjualan tanah dan/atau bangunan tersebut (capital gain). Penjualan tanah dan/atau bangunan yang belum ditandatangani AJB ini bukan lagi merupakan objek PPh Final sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.

Komentar atas Penegasan ini

Definisi Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 adalah:
  1. penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;
  2. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus;
  3. penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
Transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus perikatan jual beli memang secara legal belum ada pengalihan hak atas suatu tanah dan/atau bangunan dari penjual kepada pembeli. Namun biasanya dalam praktek, pembeli yang membeli suatu unit properti ke pengembang, diawali dengan suatu perikatan jual beli. Sering ditemukan bahwa pada prakteknya pembeli tidak akan meningkatkan status tanah dan/atau bangunan yang dibeli menjadi akta jual beli (AJB), namun segera dijual ke pembeli baru walaupun status tanah dan/atau bangunan masih PPJB. Sebenarnya untuk kasus ini dapat kita lihat walaupun status atas pembelian tanah dan/bangunan tersebut masih PPJB, namun pihak pembeli sudah memiliki hak atas kepemilikan tanah tersebut, bahkan sudah dapat menjualkan kembali kepada pihak lainnya sebagai pembeli baru. Sehingga seharusnya definisi pelepasan hak/penyerahan hak dari pengembang kepada pembeli pertama sudah terpenuhi. Sehingga walaupun transaksi dari pengembang ke pembeli pertama masih berstatus PPJB, namun definisi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sudah terpenuhi, karena pihak pembeli pertama ini sudah memiliki hak untuk melepaskannya kepada pihak lainnya.

Sehingga menurut penulis, dengan menerbitkan Surat Edaran yang mengatur bahwa transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus PPJB yang bukan merupakan objek PPh Final sesuai ketentuan PP Nomor 71 Tahun 2008 kurang menguntungkan bagi penerimaan negara, dalam kondisi apabila nilai keuntungan (capital gain) dari transaksi ini masih rendah. Karena seharusnya jika transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan yang masih berstatus PPJB ini dianggap sebagai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, maka akan dikenakan PPh Final atas total nilai transaksi tanpa mempedulikan berapa keuntungan yang diperoleh oleh pembeli pertama.

Sebagai contoh, suatu tanah yang dibeli oleh pembeli pertama dari pengembang seharga Rp 100.000.000. Kemudian dijual kembali (dalam status tanah yang masih PPJB dengan pengembang) kepada pembeli kedua seharga Rp 120.000.000. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan SE-30/PJ/2014 ini, maka PPh yang terutang ini adalah hanya dikenakan atas capital gain sebesar Rp 20.000.000 (Rp 120.000.000 – Rp 100.000.000) dengan tarif umum PPh untuk orang pribadi yaitu sebesar 5%. Maka PPh terutangnya adalah sebesar Rp 1.000.000.

Padahal seharusnya apabila diterapkan PP Nomor 71 Tahun 2008, maka PPh yang harus disetorkan atas transaksi ini adalah sebesar Rp 120.000.000 x 5% atau sebesar Rp 6.000.000.

4 Comments

Anonim

ribet

Adrian 13 Juni 2016 pukul 07.03

Kalau begitu, pemilik properti dg status PPJB pd saat menjual kembali, dikenakan pajak penghasilan dari capital gain aja ya. Disetorkan langsung ke negara atau via pengembang?

Anonim

Perbedaan harga antara waktu tandatangan PPJB dan AJB bukan ditentukan oleh pasar, tapi permainan hitung-hitungan developer berdasarkan tingkat pemesanan/hunian dan selisih harganya tidak besar. Waktu antara PPJB dan AJB pun tidak lama (kecuali developernya molor). Sehingga pph harus dikenakan atas capital gain.

Pembeli yang melepas property sebelum AJB biasanya investor yang bermain di selisih harga yang ditentukan developer. Developer senang-senang saja karena yang mencarikan pembeli akhir adalah tugas dan resiko investor tsb.

Kalau pajak atas pengalihan PPJB tsb diperlakukan seperti pengalihan AJB, investor akan enggan karena net-gain (setelah pajak) tidak cukup besar dibandingkan dengan resiko yang melekat, ditambah lagi sebagian besar developer tidak memberitahu kapan dan besarnya kenaikan harga.

Bila investor enggan, akibatnya si developer harus pinjam uang cukup besar ke bank supaya waktu penyelesaian proyek tidak molor terus (kredit macet makin membengkak) atau menunda saja proyeknya (roda perekonomian terhambat, bayangkan berapa banyak pihak yang terlibat dengan adanya pembangunan proyek).

Anonim

klo ikut logika mu, pake pph final atas nilai transaksi, ini yg bikin inflasi tinggi, secara jangka pendek penerimaan negara besar, tp jangka untuk panjang inflasi naik sangat tinggi, krena pemilik properti mau disewakan buat usaha misalnya, harus memperhitungkan harga perolehan tadi, y ujung2nya harga produk naik krena sewa mahal...

Posting Komentar