..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Selasa, 31 Desember 2013

Kumpulan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Tahun 2014

Berikut ini adalah kumpulan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan selama tahun 2014


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-45/PJ/2014
Tanggal 30 Desember 2014
Petunjuk Pelaksanaan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Hunian Mewah

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-39/PJ/2014
Tanggal 21 November 2014
Prosedur Penerbitan Surat Keterangan Bebas Dan Surat Dispensasi Serta Prosedur Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Kepada Perwakilan Negara Asing Dan Badan Internasional Serta Pejabatnya

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-38/PJ/2014
Tanggal 22 Oktober 2014
Ralat Surat Edaran Nomor SE-32/PJ/2014 tentang Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-37/PJ/2014
Tanggal 22 Oktober 2014
Tata Cara Pembersihan Data (Data Cleansing) Wajib Pajak
Lampiran

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-32/PJ/2014
Tanggal 17 September 2014
Penegasan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-30/PJ/2014
Tanggal 14 Agustus 2014
Pengawasan Atas Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Melalui Jual Beli

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-24/PJ/2014
Tanggal 25 Juli 2014
Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013 mengenai Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Hasil Pertanian yang Dihasilkan dari Kegiatan Usaha di Bidang Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Sebagaimana Diatur Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-15/PJ/2014
Tanggal 21 Maret 2014
Rencana dan Strategi Pemeriksaan Tahun 2014


Kembali ke Menu Kumpulan Peraturan Perpajakan

Jumat, 20 Desember 2013

Konsultasi Pajak Gratis: Apakah Legalisasi Fotokopi SKB Dibuat Untuk Setiap Transaksi?

Penulis menerima banyak sekali pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pengenaan PPh Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh rekan-rekan Account Representative mengenai apakah legalisasi fotokopi Surat Keterangan Bebas dari Pemotongan PPh sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 harus diajukan untuk setiap transaksi atau diajukan sekali untuk seluruh transaksi yang dilakukan oleh setiap lawan transaksi selama setahun.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyimak ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013. Dalam Pasal 7 ayat (1) PER-32/PJ/2013 ditegaskan bahwa pemotong dan/atau pemungut pajak tidak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final apabila telah menerima fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan Tahunan. Berdasarkan ketentuan yang diatur pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kategori sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 yang merupakan objek pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang tidak bersifat final (seperti objek PPh Pasal 21, objek PPh Pasal 22 atau objek PPh Pasal 23) tidak akan dipotong dan/atau dipungut PPh atas penghasilannya tersebut oleh pemotong dan/atau pemungut pajak apabila telah diterima fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan.

Sedangkan untuk tata cara pengajuan legalisasi SKB, diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PER-32/PJ/2013. Namun jika kita cermati mengenai tata cara pemberian legalisasi SKB, tidak secara jelas disebutkan apakah pengajuan legalisasi ini harus diajukan untuk setiap transaksi yang dilakukan. Namun secara implisit dapat kita temukan mengenai pengajuan legalisasi ini harus dilakukan atas setiap transaksi yang menimbulkan pemotongan dan/atau pemungutan PPh kecuali untuk pemotongan dan/atau pemungutan PPh Pasal 22.

Hal ini dapat kita temukan dalam persyaratan pengajuan legalisasi SKB yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, yang mengatur bahwa salah satu persyaratan pengajuan permohonan legalisasi SKB ini adalah menyerahkan bukti penyetoran PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 untuk setiap transaksi yang akan dilakukan dengan pemotong dan/atau pemungut berupa SSP lembar ke-3 yang telah divalidasi dengan NTPN, kecuali untuk transaksi yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 atas impor, pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan pelumas, pembelian hasil produksi industri semen, kertas, baja, otomotif dan farmasi.

Jadi untuk dapat memperoleh legalisasi fotokopi SKB dari Kantor Pelayanan Pajak, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah telah melakukan pembayaran PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2)) atas transaksi yang menjadi objek pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak final. Dengan demikian secara implisit dapat kita simpulkan bahwa fotokopi SKB yang dilegalisasi harus diberikan untuk setiap transaksi.

Analisis Penulis

Apabila Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh yang tidak bersifat final (seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23), maka harus mengajukan permohonan SKB dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh untuk setiap jenis pajak yang berlaku untuk 1 tahun pajak. Untuk dapat mendapatkan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh maka Wajib Pajak harus menyerahkan fotokopi SKB yang telah dilegalisasi oleh KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. Legalisasi ini dapat diminta atas setiap transaksi dengan salah satu persyaratan adalah Wajib Pajak telah menyetorkan PPh Final 1% atas transaksi tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ditegaskan bahwa PPh Final sebesar 1% dari peredaran bruto setiap bulannya ini disetorkan paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

Dengan demikian, maka secara praktek, legalisasi SKB PPh ini baru dapat diminta pada bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi sepanjang PPh Final 1% pada masa pajak yang bersangkutan telah disetorkan. Padahal secara konsep, pihak pemberi penghasilan sudah harus melakukan pemotongan PPh dan membuatkan bukti pemotongan PPh atas setiap transaksi yang menjadi objek pemotongan PPh. Sehingga dalam praktek kemungkinan akan dijumpai kesulitan baik bagi pihak yang akan membayarkan penghasilan (pemotong pajak) dengan pihak yang menerima penghasilan, karena kewajiban pemotongan PPh dapat tertunda akibat belum diterimanya legalisasi SKB dan ini juga akan berdampak kepada pembayaran penghasilan yang akan dilakukan oleh pihak pemotong pajak, karena idealnya mereka harus memotong PPh dari total pembayaran yang akan dilakukan apabila pihak penerima penghasilan tidak dapat menunjukkan SKB Pemotongan PPh.

Justru dari hal ini, terkesan bahwa ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini bukannya mempermudah Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak justru mempersulit terutama dalam sisi administratif. Mungkin hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memikirkan mekanisme yang dapat lebih mempermudah.

Selasa, 17 Desember 2013

Perubahan Ketentuan Pemungutan PPh Pasal 22 atas Impor

Pemerintah telah menaikan tarif PPh Pasal 22 atas kegiatan di bidang impor dengan mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010. Perubahan ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013 tanggal 5 Desember 2013 dan diundangkan pada tanggal 6 Desember 2013. Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah dengan menaikan tarif PPh Pasal 22 atas impor barang untuk 502 jenis barang menjadi 7,5% (sebelumnya tarif PPh Pasal 22 atas impor adalah sebesar 2,5%).

Selengkapnya ketentuan yang diatur dalam peraturan ini adalah sebagai berikut.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor

Tarif PPh Pasal 22 atas impor barang-barang tertentu yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan (sebanyak 502 jenis barang) ini adalah sebesar 7,5% dari nilai impor.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor selain barang-barang tertentu yang dilakukan oleh importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API) dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum dan tepung terigu sebesar 0,5% dari nilai impor.

Tarif PPh Pasal 22 atas impor selain barang-barang tertentu yang dilakukan oleh importir yang tidak memiliki API dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari nilai impor.

Sanksi Pengenaan Tarif Lebih Tinggi Bagi Importir yang Tidak Punya NPWP

Besarnya tarif pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana yang diatur tersebut yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Ketentuan pengenaan tarif lebih tinggi 100% ini diterapkan untuk pemungutan PPh Pasal 22 yang bersifat tidak final.

Saat Berlakunya Ketentuan Ini

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Download Peraturannya:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013
Lampiran

Jumat, 13 Desember 2013

Tarif PPh Pasal 22 Impor Naik Jadi 7,5%

Sebagai tindak lanjut dari Paket Kebijakan Ekonomi yang diumumkan Pemerintah tanggal 24 Agustus 2013, yang salah satunya adalah untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah dan sebagai upaya untuk meredam impor barang-barang tertentu, maka pada tanggal 9 Desember 2013, melalui Siaran Pers-nya, Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang isi pokoknya adalah:
  1. Menyesuaikan tarif pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang tertentu dari semula 2,5% menjadi 7,5%
  2. Kriteria impor barang tertentu yang menjadi sasaran pengenaan tarif PPh Pasal 22 Impor yang lebih tinggi adalah: bukan barang yang digunakan untuk industri dalam negeri (untuk tetap menjaga produktifitas industri dalam negeri) dan merupakan barang konsumtif dengan nilai impor yang signifikan dan tidak memberikan dampak besar pada inflasi.
  3. Berdasarkan kriteria tersebut di atas maka barang impor yang akan dikenai tarif PPh Pasal 22 impor yang lebih tinggi meliputi 502 jenis barang berdasarkan kode Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
Kelompok barang yang meliputi 502 jenis barang tersebut meliputi antara lain:
  1. elektronik dan hand phone
  2. kendaraan bermotor (kecuali kendaraan CKD/IKD, Hibrid/Listrik, dan kendaraan berpenumpang lebih dari sepuluh)
  3. Tas, baju, alas kaki dan perhiasaan, termasuk parfum,
  4. Furnitur, perlengkapan rumah tangga dan mainan.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan menaikan tarif PPh Pasal 22 impor ini dengan harapan agar:
  1. pengendalian impor atas barang konsumsi tertentu,
  2. penurunan tekanan pada defisit neraca perdagangan,
  3. mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan produksi barang sebagai substitusi impor barang.
Pokok-pokok kebijakan yang mengalami perubahan dalam peraturan ini dapat digolongkan dalam 2 (dua) kelompok yaitu:

1. Penambahan jenis insentif fiskal
Perubahan kebijakan di bidang fiskal yaitu atas fasilitas pembebasan yang sebelumnya hanya mendapatkan fasilitas bebas bea masuk, saat ini ditambah dengan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) tidak dipungut;

2. Kebijakan kemudahan di bidang perijinan dan pelayanan fasilitas KITE yang meliputi:
  1. Penyederhanaan persyaratan dan penerapan otomasi dalam pengajuan perijinan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengembalian. Demikian juga peraturan ini memberikan kemudahan bagi perusahaan baru untuk menikmati fasilitas KITE,
  2. Perluasan objek fasilitas yaitu meliputi semua bahan baku dan bahan penolong yang digunakan untuk proses produksi dalam rangka ekspor sehingga dapat mengurangi biaya produksi perusahaan,
  3. Penyederhanaan prosedur pelayanan impor dan ekspor dimana dimungkinkan mengimpor barang KITE bersama-sama dengan barang impor non KITE serta mengekspor barang KITE bersama-sama dengan barang ekspor perusahaan KITE lainnya, sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya dan waktu impor/ekspor,
  4. Kuota impor atas bahan baku/penolong tidak dibatasi seperti sebelumya yaitu menjadi sampai dengan maksimal kapasitas produksi dan dalam jangka waktu selama perusahaan berdiri,
  5. Masa pembebasan/pengembalian dan jangka waktu realisasi ekspor dapat diperpanjang yaitu disesuaikan dengan sifat produksi barang atau disesuaikan dengan kondisi khusus yang diluar kendali perusahaan seperti pembatalan kontrak/pembelian, keadaan luar biasa seperti kelesuan ekonomi global, atau kondisi lainnya yang lazim dalam dunia bisnis. Begitu juga dalam ketentuan baru ini diakuinya keadaan kahar (force majeure) dalam laporan pertanggungjawaban perusahaan,
  6. Kemudahan perubahan lokasi penimbunan/pembongkaran dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui media elektronik g) Simplifikasi laporan menjadi hanya sekali dalam masa pembebasan dari sebelumnya setiap 6 bulan sekali,
  7. Penerapan risk management dalam pelayanan dan pengawasan terutama didasarkan pada penilaian atas kemampuan perusahaan dalam pengelolaan sistem pengendalian internal dan sistem pencatatan persediaan bahan baku dan hasil produksinya (inventory). Semakin baik perusahaan, maka semakin banyak fasilitas yang dapat dinikmati (penerapan prinsip fairness),
  8. Diakuinya corporate guarantee bagi perusahaan yang mempunyai reputasi yang baik sebagai instrumen jaminan,
  9. Dimungkinkan menyerahkan sebagian kegiatan kepada pihak ketiga (subkontrak) atau seluruh kegiatan produksi bagi perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu yang terkait dengan profil/reputasi,
  10. Sinergi dengan fasilitas kepabeanan lainnya yaitu Kawasan Berikat dan Gudang Berikat yang membolehkan penggunaan bahan baku yang berasal dari pembelian dari Gudang Berikat dan Kawasan Berikat,
  11. Perusahaan dapat memanfaatkan beberapa fasilitas kepabeanan/perpajakan secara bersamaan (double fasilitas) dengan tujuan untuk memperkuat dan mengefisienkan biaya produksi dan logistik serta mengurangi devisa impor karena bahan baku dapat diperoleh dari fasilitas kepabeanan/perpajakan lainnya,
  12. Penyempurnaan penggunaan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan produksi KITE misalnya pemenuhan persyaratan dan pemberian ijin cukup disampaikan dengan media softcopy. penggunaan teknologi informasi juga memperpendek janji layanan kepada pengguna jasa dari yang sebelumnya 45 hari menjadi 30 hari.
Peraturan baru ini akan berlaku 30 (enam puluh) hari sejak tanggal diundangkan.

Kamis, 12 Desember 2013

Target Penerimaan Pajak dalam APBN 2014

Saat ini pajak sudah menjadi andalan utama dalam sumber pembiayaan negara. Dari tahun ke tahun penerimaan pajak semakin meningkat dan menjadi porsi terbesar sebagai sumber penerimaan yang ditetapkan dalam APBN.

Hal ini juga tampak dalam susunan APBN tahun 2014. Dalam APBN 2014, rencana total penerimaan yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah sebesar Rp 1.667,1 triliun yang diantaranya sebesar 1.280,4 triliun (sebesar 76.04%) direncanakan berasal dari penerimaan di sektor perpajakan, kepabeanan dan Cukai.
Penerimaan yang ditetapkan dalam APBN 2014 ini terdiri dari:
PENDAPATAN NEGARA
Penerimaan dari pajak sebesar Rp 1.110,2 triliun
Penerimaan dari kepabeanan dan cukai sebesar Rp 170,2 triliun
Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp 385,4 triliun
Penerimaan dari Hibah sebesar Rp 1,4 triliun

PENERIMAAN PEMBIAYAAN
Penarikan Pinjaman Dalam Negeri sebesar Rp 1,3 triliun
Hasil Pengelolaan Aset sebesar Rp1,0 triliun
Penerbitan Surat Berharga Negara sebesar Rp 205,1 triliun
Pinjaman Program sebesar Rp 3,9 triliun
Pinjaman Proyek sebesar Rp 35,2 triliun
Perbankan dalam negeri sebesar Rp 4,4 triliun

Untuk penerimaan dari sektor perpajakan sendiri yang ditargetkan sebesar Rp 1.110,2 triliun mengambil peran sebesar 66,59% dari total penerimaan APBN 2014.

Sedangkan tax ratio yang ditetapkan untuk tahun 2014 adalah sebesar 12,3%

Rabu, 20 November 2013

Bayar PPh Final 1% Bisa Lewat ATM

Slogan membayar pajak itu mudah semakin gencar dikampanyekan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam prakteknya tidak hanya melalui kampanye saja, namun DJP juga berupaya mendukung dan membuat semua kemudahan dalam melakukan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak tersebut melalui regulasi, sarana, prasarana dan prosedur. Pada tanggal 15 November 2013, DJP kembali meluncurkan satu metode baru dalam pembayaran pajak yang semakin memudahkan bagi Wajib Pajak. Prosedur baru ini adalah pembayaran pajak melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Sebagaimana kita ketahui bahwa mulai 1 Juli 2013, DJP telah mengeluarkan satu kebijakan baru bagi para pengusaha dan Wajib Pajak dalam melakukan penghitungan PPh atas penghasilan yang diperolehnya. Kebijakan baru ini adalah berupa pemberlakuan ketentuan untuk menghitung PPh atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan omzet setahun yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar. PPh yang terutang atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak ini adalah sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) setiap bulannya dan bersifat final.

Sebagai upaya untuk lebih memudahkan bagi Wajib Pajak ini dalam melakukan pembayarannya, maka sejak 15 November 2013 diluncurkanlah program pembayaran PPh Final 1% ini melalui ATM. Bekerja sama dengan 4 (empat) bank, yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Mandiri Tbk, dan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), DJP membuat suatu terobosan baru yang mempermudah Wajib Pajak yang akan membayar PPh Final 1% ini. Direncanakan pada akhir Desember, DJP juga akan bekerja sama dengan Bank DKI untuk menyelenggarakan pembayaran PPh Final 1% melalui ATM ini.

Selain melalui ATM, pembayaran PPh Final 1% dapat juga dilakukan melalui mobile banking (m-banking).

Bukti Pembayaran Pajak

Pembayaran PPh Final 1% yang dilakukan melalui ATM ini akan dibuktikan dengan struk bukti transaksi yang dicetak dari mesin ATM pada saat transaksi dilakukan. Jadi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran melalui ATM ini harus menyimpan struk ini dan kelak akan dilampirkan pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh (Orang Pribadi atau Badan).

Sebagaimana kita ketahui bahwa struk bukti transaksi yang dicetak dari mesin ATM tersebut umumnya akan memudar setelah beberapa lama, oleh sebab itu penulis menyarankan kepada para Pembaca setia Tax Learning yang melakukan pembayaran PPh melalui ATM ini agar mem-fotokopi struk ATM tersebut untuk diarsip.

Namun apabila struk ATM ini hilang, pihak DJP berjanji dapat membantu untuk melacak pembayaran tersebut serta membuatkan salinan bukti pembayaran tersebut. Namun prakteknya seperti apa, hingga saat ini penulis belum memperoleh ketentuan dan prosedurnya.

Langkah-Langkah Pembayaran PPh melalui ATM

Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Final 1% melalui ATM.



Tampilan lengkap pada layar ATM adalah sebagai berikut:




(c) http://syafrianto.blogspot.com

Jumat, 04 Oktober 2013

Cara Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan PPh untuk WP Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013

Menindaklanjuti ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 milyar setahun sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan surat keterangan bebas (SKB) atas pemotongan PPh. Ketentuan yang mengatur mengenai cara pengajuan permohonan SKB adalah melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 tanggal 25 September 2013.

Sebelumnya sudah ada aturan mengenai Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur tentang tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan SKB atas pemotongan PPh, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011. Walaupun telah diterbitkan PER-32/PJ/2013 ini, bukan berarti PER-1/PJ/2011 lantas dicabut, karena ketentuan tata cara pengajuan SKB berdasarkan PER-32/PJ/2013 ini hanya berlaku untuk Wajib Pajak yang memenuhi sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sebagaimana ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013.

Berikut beberapa hal yang diatur dalam PER-32/PJ/2013 ini.

Cara Pengajuan SKB

(1)Mengajukan permohonan secara tertulis ke KPP tempat Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, dengan syarat:

  1. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas
  2. menyerahkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas;
  3. menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
  4. permohonan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP. (2)Permohonan ini harus diajukan untuk setiap jenis pemotongan pajak (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor dan/atau Pasal 23)
Jangka waktu Proses SKB PPh
5 (lima) hari sejak surat permohonan diterima lengkap

Download:
-Peraturan PER-32/PJ/2013
-Lampiran Peraturan PER-32/PJ/2013
-Template Bentuk Surat Permohonan SKB
-Template Surat Pernyataan WP dengan Peredaran Bruto Tertentu
-Template Surat Permohonan Legalisasi SKB
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 11 September 2013

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Dengan berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013, maka bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak, harus menghitung PPh terutangnya dengan menggunakan ketentuan ini. Artinya Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria ini setiap bulannya menghitung dan menyetor PPh yang terutang atas penghasilannya sebesar 1% dari Peredaran Bruto selama satu bulan yang bersangkutan.

Walau tampaknya sederhana, namun ternyata penafsiran PP Nomor 46 Tahun 2013 beserta aturan pelaksananya di lapangan ternyata berbeda-beda. Baru saja penulis mendapatkan informasi dan argumen dari beberapa rekan penulis yang telah mengikuti kegiatan sosialisasi tentang PP Nomor 46 Tahun 2013 yang diadakan oleh pihak DJP. Berdasarkan materi sosialisasi yang mereka dapatkan mereka menafsirkan bahwa Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak yang dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak perlu menyelenggarakan pembukuan melainkan hanya cukup membuat pencatatan seperti halnya Wajib Pajak Orang Pribadi.

Terus terang, penulis sangat tidak setuju dengan statement yang disampaikan oleh rekan penulis ini. Karena ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban melakukan pembukuan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) menyebutkan bahwa Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak mengatur ketentuan mengenai pembukuan.

Walaupun ada argumen mengatakan bahwa pembukuan tidak wajib dibuat oleh Wajib Pajak Badan karena penghasilannya telah dikenakan PPh Final yang dihitung dari peredaran usaha, sehingga Wajib Pajak Badan cukup menyelenggarakan pencatatan atas peredaran usaha saja, namun menurut penulis pandangan ini adalah keliru.

Karena walaupun penghitungan PPh atas penghasilan yang diperoleh cukup dihitung atas peredaran usaha, namun bagi Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tetap harus memiliki pembukuan yang dapat menggambarkan kegiatan usahanya untuk menyajikan transaksi-transaksi yang menjadi objek pemotongan dan pemungutan PPh (baik PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 15).

Jadi sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Jumat, 06 September 2013

Kawasan Berikat tahun 2013

Ketentuan mengenai kawasan berikat kembali mengalami perubahan. Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tanggal 6 September 2011 telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan, yaitu diubah dengan:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011 tanggal 28 Desember 2011
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.04/2012 tanggal 16 Maret 2012
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 tanggal 26 Agustus 2013.
Perubahan terakhir ketentuan mengenai Kawasan Berikat yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 26 Agustus 2013 ini mengubah beberapa ketentuan yaitu mengenai:
  1. ketentuan kuota penjualan lokal Hasil Produksi Kawasan Berikat;
  2. ketentuan intermediate goods;
  3. ketentuan subkontraktor; dan
  4. ketentuan pemenuhan syarat lokasi untuk perusahaan yang mendapatkan izin Kawasan Berikat.
Bagian ketentuan yang diubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.04/2013 antara lain:

Ketentuan Pasal 3 ayat (8) dan ayat (9)

Dengan menambah ketentuan untuk Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB diberikan pelayanan dan pengawasan secara proposional berdasarkan profil risiko Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang dikategorikan menjadi:
  1. kategori layanan hijau;
  2. kategori layanan kuning; atau
  3. kategori layanan merah,

Ketentuan Pasal 23 huruf h

Menambah ketentuan mengenai pemasukan barang ke Kawasan Berikat dapat dilakukan dari kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketentuan Pasal 24A ayat (1)

Mengubah ketentuan mengenai otoritas yang memberikan persetujuan untuk permohonan pemasukan barang modal berupa peralatan pabrik dan/atau suku cadang barang modal yang diajukan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang sebelumnya adalah oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama saat ini diganti menjadi oleh Kepala Kantor Pabean.

Ketentuan Pasal 26 ayat (1) huruf f

Menambah ketentuan mengenai pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat dilakukan ke kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketentuan Pasal 27 ayat (1) huruf b angka 6)

Menambah ketentuan mengenai pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat ke luar daerah pabean dapat berupa gabungan Hasil Produksi Kawasan Berikat dengan barang lain sebagai pelengkap yang berasal dari kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketentuan Pasal 27 ayat (5)

Menambahkan ketentuan mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar apabila ketentuan jangka waktu pemasukan kembali ke Kawasan Berikat atas Hasil Produksi Kawasan Berikat yang dikeluarkan ke TPPB tidak dipenuhi.

Ketentuan Pasal 27 ayat (7) dan ayat (8) s.d. ayat (14)

Mengubah dan menambah ketentuan mengenai Pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean dapat dilakukan dalam jumlah paling banyak 50% dari penjumlahan nilai realisasi tahun sebelumnya yang meliputi nilai ekspor, nilai penjualan Hasil Produksi Kawasan Berikat ke Kawasan Berikat lainnya, nilai penjualan Hasil Produksi Kawasan Berikat ke Kawasan Bebas, dan nilai penjulana Hasil Produksi Kawasan Berikat ke kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan rekomendasi dari instansi terkait yang membidangi perindustrian. Di aturan sebelumnya batas maksimal untuk pengeluaran ini hanya sebesar 25%.

Ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40

Mengubah ketentuan mengenai pekerjaan subkontrak

Ketentuan Pasal 47

Menambah ketentuan tentang pembekuan Izin sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau PDKB apabila memproduksi barang yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

Ketentuan Pasal 55

Menambah ketentuan Pasal 55 ayat (1a) yaitu bagi pengusaha penerima fasilitas pembebasan atau pengembalian bea masuk atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki Nomor Induk Perusahaan (NIPER) dalam status aktif pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 yang berada di luar kawasan industri atau berada di kawasan budidaya yang diperuntukkan bagi kegiatan industri, dapat diberikan izin Pengusaha Kawasan Berikat dengan tidak diberlakukan ketentuan dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi kriteria:
  1. mempunyai reputasi baik atau sangat baik;
  2. memiliki Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory yang dapat diakses secara real time dan online ketika dibutuhkan serta menunjukkan keterkaitan dengan dokumen kepabeanan;
  3. tidak memiliki hutang kepabeanan; dan
  4. memiliki Closed Circuit Television (CCTV) yang bisa diakses dari Kantor Pabean secara realtime, online, dan arsip rekamannya, yang dapat memberikan gambaran mengenai pemasukan dan pengeluaran barang.
Menambah ketentuan Pasal 55 ayat (1b) yang mengatur bahwa permohonan untuk mendapatkan izin Pengusaha Kawasan Berikat berdasarkan ketentuan ayat (1a) di atas dapat diajukan paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya PMK ini.

Menambah ketentuan Pasal 55 ayat (4) yang mengatur Terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang memiliki kategori layanan hijau dapat menggunakan corporate guarantee sebagai jaminan yang diserahkan dalam rangka:
  1. pengeluaran Barang Modal ke tempat lain dalam daerah pabean untuk keperluan perbaikan/reparasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
  2. pengeluaran barang contoh/sampel ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3);
  3. pengeluaran barang dalam rangka pekerjaan subkontrak ke perusahaan/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6);
  4. pengeluaran mesin produksi dan cetakan (moulding) untuk dipinjamkan kepada perusahaan/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean dalam rangka subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6); dan/atau
  5. pengeluaran Barang Modal sehubungan peminjaman Barang Modal berupa mesin produksi dan cetakan (moulding) selain dalam rangka subkontrak, ke perusahaan/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4).

Kamis, 05 September 2013

Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29 bagi WP Industri Tertentu

Saat ini krisis keuangan global telah berdampak pada kondisi perekonomian Indonesia. Dalam beberapa pekan terakhir ini, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat dan nilai Indeks Harga Saham Gabungan semakin terkoreksi negatif. Hal ini berdampak kepada dunia usaha yang mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan dan mengurangi laba yang akan diperoleh. Tentunya hal ini juga akan menyebabkan berkurangnya jumlah PPh Terutang atas laba yang diterima Wajib Pajak di tahun 2013 dibandingkan dengan jumlah PPh Terutang tahun 2012 lalu. Tentunya apabila mengikuti ketentuan UU PPh dimana Wajib Pajak harus mengangsur PPh Pasal 25 selama tahun 2013 dengan mendasarkan pada perhitungan PPh Terutang tahun 2012, maka akan menyebabkan angsuran PPh Pasal 25 di tahun 2013 berpotensi mengalami kelebihan pembayaran pajak. Untuk mengantisipasi hal ini, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 tanggal 27 Agustus 2013 tentang Pengurangan Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Penundaan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Tahun 2013 Bagi Wajib Pajak Industri Tertentu.

Fasilitas yang Diberikan dalam Ketentuan ini
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013,Pemerintah memberikan fasilitas perpajakan berupa:
  1. pengurangan PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak September 2013 s.d. Desember 2013; dan/atau
  2. penundaan pembayaran PPh Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2013.
Wajib Pajak yang Mendapatkan Fasilitas
Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan PPh Pasal 25 atau penundaan pembayaran PPh Pasal 29 ini adalah Wajib Pajak badan industri tertentu yang terdiri dari:
  1. industri tekstil
  2. industri pakaian jadi
  3. industri alas kaki
  4. industri furnitur; dan/atau
  5. industri mainan anak-anak.
Pengurangan PPh Pasal 25 dan penundaan pembayaran PPh Pasal 29 dapat diberikan kepada Wajib Pajak badan industri tertentu (sebagaimana disebutkan di atas) berdasarkan rekomendasi dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.

Besarnya Pengurangan yang Dapat Diberikan
Besarnya pengurangan PPh Pasal 25 yang dapat diberikan paling tinggi sebesar:
  1. untuk WP badan industri tertentu yang tidak berorientasi ekspor adalah 25% dari PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013.
  2. untuk WP badan industri tertentu yang berorientasi ekspor adalah 50% dari PPh Pasal 25 Masa Pajak Agustus 2013.
Tata Cara untuk Mendapatkan Pengurangan Angsuran PPh Pasal 25
Untuk mendapatkan pengurangan Angsuran PPh Pasal 25, Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis tentang besarnya pengurangan PPh Pasal 25 yang diminta kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Lama Waktu Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29
Penundaan pembayaran PPh Pasal 29 diberikan kepada Wajib Pajak badan Industri Tertentu paling lama 3 (tiga) bulan dari saat terutangnya PPh Pasal 29.

Tata Cara untuk Mendapatkan Penundaan Pembayaran PPh Pasal 29
Untuk mendapatkan penundaan pembayaran PPh Pasal 29, Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Pembayaran PPh Pasal 29 Bagi Wajib Pajak yang Mendapatkan Penundaan

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan menghapuskan sanksi administrasi atas penundaan pembayaran PPh Pasal 29 yang telah diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak kepada Wajib Pajak badan industri tertentu.

Ketentuan Pelaksana
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksaan pengurangan PPh Pasal 25 dan penundaan pembayaran PPh Pasal 29 ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Saat Berlakunya Ketentuan Ini
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.011/2013 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu tanggal 29 Agustus 2013.

Selasa, 03 September 2013

Pengumuman Hasil USKP Periode I Bulan Juni 2013

Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak atau yang biasa dikenal sebagai USKP adalah suatu ujian yang harus ditempuh oleh seseorang yang akan menjadi konsultan pajak. USKP ini diselenggarakan oleh BP USKP dan biasanya dalam setahun diselenggarakan 2 (dua) kali. USKP yang terakhir diselenggarakan adalah periode I bulan Juni 2013.

Kemarin BP USKP telah mengumumkan hasil USKP untuk periode I bulan Juni 2013 tersebut. Berikut ini adalah hasil dari USKP periode I bulan Juni 2013.

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) A

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) B

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

LAMPIRAN TINGKAT (BREVET) C

a. Daftar Baru
b. Ulang Ke-1
c. Ulang ke-2
d. Ulang ke-3

Selasa, 27 Agustus 2013

Kriteria Wajib Pajak yang Memenuhi Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 Juli 2013, maka seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sudah harus mengubah penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh atas penghasilan yang diterimanya. Apabila selama ini, penghasilan yang diterimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dihitung dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh tarif Pasal 17 UU PPh, maka sejak 1 Juli 2013, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memenuhi ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 harus mengubah penghitungan PPh atas penghasilannya menjadi dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran usaha bruto setiap bulannya.

Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap); dan
  2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Jika menyimak aturan Pasal 2 ayat (2) pada kedua aturan ini, maka dapat kita lihat bahwa kedua persyaratan/kriteria tersebut harus terpenuhi seluruhnya dan bersifat kumulatif (karena dihubungkan dengan kata penghubung “dan”).

Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Selain pengecualian di atas yang berlaku umum baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, masih ada pengecualian lagi khusus bagi:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau kasa dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  2. Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak dengan Penghasilan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan ketentuan sebelumnya

Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Simpulan

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; atau
  2. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap); dan
  3. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak Badan, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. belum beroperasi secara komersial; atau
  3. dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Selain itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini juga tidak berlaku apabila Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya.

Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 14 Agustus 2013

Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Akhirnya Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana yang mengatur mengenai mekanisme penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh untuk Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Usaha Tertentu atau biasa disebut sebagai PPh Final 1% untuk UKM melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 ini ditandatangani pada tanggal 30 Juli 2013 dan diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 adalah sebagai berikut.

PPh final 1% bagi Wajib Pajak dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikut.

Penyetoran PPh final 1% ini menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP dan disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos.

Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% dengan menggunakan SSP dan telah mendapatkan validasi dan diberi NTPN dianggap telah melaporkan SPT Masanya sesuai dengan tanggal validasi tersebut. Bagi Wajib Pajak yang telah menyetorkan PPh Final 1% namun tidak mendapatkan validasi NTPN, maka masih tetap harus melaporkan SSP yang telah disetorkan PPh finalnya ini ke kantor pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak yang bersangkutan berakhir.

Tata cara mengenai penyetoran dengan SSP, sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP, bentuk SPT Masa serta tata cara pembebasan dari pemotongan dan pemungutan PPh oleh pihak ketiga akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Aplikasi Ketentuan PPh Final 1 Persen untuk WP dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Besok, 15 Agustus 2013 adalah batas akhir pelunasan/penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013. Namun bagi sebagian Wajib Pajak, kewajiban penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013 ini telah mengalami perubahan perlakuan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sebagaimana kita ketahui ketentuan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tersebut mengatur Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak akan dikenakan PPh sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) yang bersifat final.

Dalam PP ini juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi permasalahannya, hingga hari ini, penulis masih belum memperoleh informasi apakah Peraturan Menteri Keuangan ini telah diterbitkan. Tentunya hal ini akan sangat menyulitkan bagi Wajib Pajak yang harus menerapkan ketentuan ini.

Beberapa hari terakhir, penulis banyak memperoleh pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini, namun apa daya, penulis masih belum memperoleh landasan hukum sebagai acuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di lapangan tersebut.

Setoran PPh 1% Final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang memenuhi kriteria sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam artikel ini) dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet). Dalam Pasal 4 PP Nomor 46 Tahun 2013 ini ditegaskan bahwa dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Dalam penjelasan Pasal 4 ini ditegaskan bahwa penghitungan PPh final ini dilakukan setiap bulan. Artinya perlakuan penyetoran PPh final 1% ini dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai pengganti dari setoran PPh Pasal 25 yang selama ini telah mereka lakukan, sama halnya untuk ketentuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Jadi seandainya Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dan selama ini menghitung PPh Orang Pribadi atau Badan dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh dan diangsur diawal setiap bulan melalui penyetoran PPh Pasal 25, maka sejak masa Juli 2013 harus menyetor PPh dengan tarif 1% dari omzet sebulan dan bersifat final.

Contoh: selama masa Juli 2013 Andi memperoleh penghasilan dari usaha dagang melalui tokonya di Mangga Dua dengan omzet sebesar Rp 120.000.000. Maka PPh yang bersifat final yang harus disetorkan untuk masa Juli 2013 adalah sebesar:
Rp 120.000.000 x 1% = Rp 1.200.000

Berdasarkan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa penyetoran PPh ini dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan mencantumkan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420.

Permasalahan:
Setelah penulis cek ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 untuk Kode Akun Pajak 411128 adalah merupakan setoran untuk jenis PPh Final namun untuk Kode Jenis Setoran 420, tidak tercantum dalam ketentuan tersebut.

Akibatnya ketika kita akan menyetorkan PPh final ini dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, pasti akan ditolak oleh pihak Bank Persepsi atau Kantor Pos penerima setoran pajak, karena kode tersebut tidak tercantum dalam sistem Modul Penerimaan Negara (MPN).

(*) Sebagai catatan, ternyata pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tanggal 2 Juli 2013 yang telah menambahkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, namun sepertinya pihak Bank Persepsi dan Kantor Pos sebagai penerima setoran atau pihak Ditjen Perbendaharaan belum mengupdate kode ini ke dalam sistem MPN sehingga ketika ada beberapa Wajib Pajak rekan penulis yang mencoba menyetorkan setoran pajak dengan kode akun pajak ini, ditolak oleh pihak Bank Persepsi. Jadi sebaiknya pihak Ditjen Pajak segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengecek apakah kode akun pajak yang baru ini sudah ter-update dalam sistem MPN.

Untuk Lampiran PER-24/PJ/2013 mengenai tabel baru Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dapat dibaca di sini.

Tanggal Jatuh Tempo Setor PPh Final

Sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang menegaskan mengenai kapan batas waktu penyetoran PPh final 1% ini.

Namun apabila kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.02/2010 diatur bahwa untuk penyetoran jenis PPh yang harus dibayar sendiri (baik PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 25) harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi menurut penulis, maka penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu sebesar 1% yang bersifat final ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir karena PPh ini adalah termasuk jenis PPh yang harus dibayar sendiri.

Walaupun demikian, pihak Pemerintah tetap harus mengeluarkan dasar hukum mengenai batas akhir penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu ini.

Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu yang Sudah Terlanjur Setor PPh Pasal 25 Selama Setahun

Saat ini banyak kita temukan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan setoran PPh Pasal 25 yang dilakukan di awal untuk 12 bulan kemudian. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan dan sesuai ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tentang Penyetoran Dimuka PPh Pasal 25 Sekaligus Untuk Beberapa Bulan.

Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu dan mulai masa Juli 2013 harus menghitung PPh terutangnya menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini yang ternyata telah menyetorkan PPh Pasal 25 dari masa Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 tentu akan mengalami permasalahan. Karena ternyata PPh Pasal 25 yang sudah terlanjur disetorkan tersebut ternyata salah setor.

Sebenarnya solusi yang dapat dilakukan adalah Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) dari setoran PPh Pasal 25 yang telah disetorkan tersebut (salah setor) untuk dipindahkan sebagai setoran PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Tentunya hal ini akan menambah pekerjaan administratif baik bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak.

Sebagai catatan, setelah penulis membuat tulisan ini, akhirnya pihak Direktorat Jenderal Pajak merilis peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini walaupun menurut penafsiran penulis, masih banyak hal dari praktek di lapangan yang belum diakomodasi dalam aturan pelaksana ini.

Artikel Terkait:
Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar
PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak dengan Omzet di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 31 Juli 2013

Jatuh Tempo Setor dan Lapor Pajak

Sebenarnya penulis telah beberapa kali menurunkan artikel yang membahas ketentuan mengenai penyetoran dan pelaporan pajak yang apabila tanggal jatuh temponya tersebut bertepatan dengan hari libur. Namun karena masih banyaknya pertanyaan yang diterima oleh penulis mengenai hal ini, apalagi minggu depan kita akan kembali mengalami jatuh tempo penyetoran pajak yang bertepatan dengan hari libur, maka penulis kembali menyajikan artikel yang membahas masalah ini.

Sehubungan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1434 H yang menurut penanggalan akan jatuh pada hari Kamis dan Jumat tanggal 8 dan 9 Agustus 2013, maka Pemerintah melalui 3 Menteri menetapkan Surat Keputusan Bersama tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2013 bahwa pada hari Senin, Selasa, dan Rabu tanggal 5, 6 dan 7 Agustus 2013 ditetapkan sebagai Cuti Bersama. Akibatnya sejak hari Sabtu tanggal 3 Agustus 2013 hingga hari Minggu tanggal 11 Agustus 2013 adalah merupakan hari libur dan cuti bersama secara nasional. Tentunya salah satu pihak yang akan mengalami kesulitan akibat libur ini adalah para Wajib Pajak dan orang-orang yang terlibat dengan pekerjaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban pajak. Karena pada saat ini, salah satu kewajiban perpajakan yang akan mengalami jatuh tempo adalah penyetoran untuk pemotongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Final, PPh Pasal 26 untuk masa Juli 2013. Jatuh tempo penyetoran kewajiban pemotongan PPh masa Juli 2013 ini adalah tanggal 10 Agustus 2013.

Akibatnya penulis banyak mendapatkan pertanyaan tentang apakah ada toleransi yang diberikan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak terhadap hal ini.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya."

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, menegaskan bahwa Hari libur nasional yang dimaksud ini adalah termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian, apabila tanggal jatuh tempo penyetoran pajak jatuh pada hari libur, maka penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Oleh sebab itu, untuk kewajiban penyetoran PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26 dan PPh Final (PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15) masa Juli 2013 yang jatuh temponya pada tanggal 10 Agustus 2013 ini ternyata jatuh pada hari Libur Nasional, sehingga setoran ini dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah libur Nasional tersebut, yaitu pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2013.

Jadi, para Pembaca sekalian, tidak perlu khawatir lagi, apabila sampai dengan hari Jumat sore tanggal 2 Agustus 2013 masih belum dapat memenuhi tenggat waktu penyetoran pajak jenis ini, maka setoran dapat dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.

Akhirnya Penulis mengucapkan selamat berlibur panjang, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H bagi para Pembaca yang merayakannya. Mohon maaf Lahir dan Batin. Serta, selamat menjalankan kewajiban perpajakan Anda.

Artikel Sejenis:
9 April 2009 adalah Hari Libur Nasional
Batas Waktu Setor dan Lapor Pajak Bulan September 2010, Apa Ada Toleransi?

Selasa, 09 Juli 2013

Analisis Terhadap Kewajaran Pelaporan Pajak Orang Pribadi

Saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat diandalkan dan lebih dari 75% sumber penerimaan negara adalah berasal dari pajak. Untuk tahun 2013 ini, Pemerintah menargetkan penerimaan yang akan diperoleh dari pajak dalam APBN-P 2013 adalah sebesar Rp 995 triliun. Namun hingga semester pertama (30 Juni 2013), realisasi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bertugas untuk mengumpulkan pajak, baru mencapai Rp 411,39 triliun atau baru sebesar 41,3% dari target APBN-P 2013.

Akibat dari kondisi realisasi penerimaan pajak yang masih jauh dari target, menyebabkan pihak Direktorat Jenderal Pajak semakin gencar melakukan penggalian potensi-potensi yang dapat meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh aparat pajak untuk ini adalah seperti melakukan penelitian terhadap kebenaran SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak, melakukan himbauan kepada Wajib Pajak yang diduga memiliki potensi pajak namun belum dilaporkan secara benar, melakukan upaya law enforcement berupa pemeriksaaan pajak, penagihan pajak hingga penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan.

Salah satu fokus yang sedang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan penggalian potensi pajak di tahun 2013 ini sebagaimana yang dituangkan dalam rencana dan strategi pemeriksaan tahun 2013 berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2013 adalah fokus pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan transaksi pembelian kendaraan mewah dan/atau rumah/apartemen mewah dan Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kenaikan harta signifikan.

Akibat dari adanya fokus penggalian potensi ini, sehingga menyebabkan akhir-akhir ini banyak ditemukan adanya Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh surat himbauan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh aparat pajak dalam hal ini Account Representative. Beberapa kasus contoh Wajib Pajak yang dihimbau adalah berdasarkan laporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditemukan:

  1. adanya penambahan aktiva/harta yang cukup besar dan tidak sebanding dengan pengurangan aktiva atau harta lain yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun sebelum atau jumlah penghasilan yang diterima pada tahun yang bersangkutan;
  2. adanya pertambahan nilai bangunan akibat adanya pembangunan yang cukup signifikan sehingga berpotensi terutang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;
  3. adanya jumlah harta yang cukup besar yang memerlukan biaya perawatan yang besar juga, namun hal ini tidak diimbangi dengan jumlah penghasilan yang memadai sebagai sumber untuk melakukan perawatan terhadap harta yang dimilikinya tersebut;
  4. ditemukannya atau adanya data mengenai harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang bersangkutan yang selama ini tidak pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi miliknya;
  5. dan sebagainya.
Sebenarnya pelaporan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui sarana Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi saat ini sudah mengakomodasi pelaporan mengenai penghasilan, jumlah harta dan jumlah kewajiban. Secara mudah, berdasarkan SPT Tahunan PPh yang telah dilaporkan tersebut, dapat dilakukan analisis secara sederhana mengenai kewajaran dan kebenaran dari hal-hal yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT tersebut.

Secara sederhana, konsep penghasilan yang didefinisikan sebagai setiap pertambahan kemampuan ekonomis yang siap untuk digunakan sebagai konsumsi dapat direfleksikan dalam rumus:

Y = C + S + I

Dimana:
  1. Y: adalah penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak (Yield) sebagai sumber untuk melakukan C + S + I.
  2. C: adalah konsumsi yang telah dikeluarkan oleh Wajib Pajak (Consumption)
  3. S: adalah tabungan yang telah dilakukan selama ini oleh Wajib Pajak (Saving)
  4. I: adalah investasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam bentuk harta (Investment)

Dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, pelaporan mengenai penghasilan (Y) ini tercermin dari pelaporan penghasilan yang diterima baik dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas, penghasilan dalam negeri lainnya (yang berasal dari passive income seperti bunga, royalti, sewa), penghasilan luar negeri lainnya, penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (seperti warisan, hibah, sumbangan). Penghasilan yang telah diterima setiap tahunnya ini adalah merupakan sumber pembiayaan dan akan digunakan sebagai konsumsi (C), ditabung (S) dalam bentuk deposito, tabungan di bank dan setaranya, serta diinvestasikan (I) sebagai harta baik bergerak maupun tidak bergerak seperti rumah, tanah, kendaraan bermotor, perhiasan, saham, efek dan sebagainya.

Apabila sumber penghasilan (Y) ini tidak cukup untuk melakukan pembiayaan terhadap C, S, dan I, maka sumber pembiayaan dapat diambil dari hutang.

Nah, semua komponen yang telah diuraikan di atas, yaitu komponen S (saving), komponen I (Investment) dan hutang ini tercermin dalam laporan SPT Tahunan yaitu pada bagian harta dan bagian kewajiban.

Satu-satunya komponen yang tidak ada dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah konsumsi (C). Walaupun konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan tidak perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun kita tetap dapat membuat analisis tentang kewajaran konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan harta yang mereka miliki dibandingkan dengan penghasilan yang telah mereka laporkan. Karena dari harta yang dimiliki tersebut dapat diperkirakan berapa kira-kira konsumsi yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan harta tersebut. Biaya yang dapat diperkirakan misalnya biaya pajak kendaraan, PBB, biaya listrik, biaya air, biaya perawatan kendaraan dan sejenisnya.

Salah satu analisis yang dilakukan oleh aparat pajak dalam menilai kewajaran SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ini biasanya dikenal dengan sebutan “analisis biaya hidup”. Dengan menggunakan formula sederhana yang telah diuraikan di atas dan berdasarkan data di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi serta data dari pihak ketiga, maka aparat pajak dapat melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi dalam melaporkan kewajiban pajaknya.

Oleh sebab itu, marilah kita laporkan kewajiban perpajakan kita secara jujur dan benar supaya tidak akan ditemukan kesalahan pada saat dilakukannya analisis tersebut. Sehingga kita dapat meminjam semboyan “jika sudah bersih buat apa risih”.

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang memiliki permasalahan seputar pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan pernah dihimbau untuk melakukan pembetulan, silakan untuk sharing di comment berikut ini.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Kamis, 27 Juni 2013

PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak Dengan Omzet Di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Pemerintah kembali mengeluarkan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi para pelaku bisnis dengan skala kecil dan menengah. Kebijakan ini adalah perlakuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Siapakah Wajib Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini yang berhak mendapatkan fasilitas ketentuan ini dan bagaimanakah pelaksanaannya? Dalam tulisan berikut, penulis akan mengupas isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Namun karena hingga tulisan ini dibuat, masih belum ada peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini (Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak), maka masih ada beberapa pelaksanaan teknis yang masih harus menunggu diterbitkannya peraturan pelaksananya. Ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini antara lain adalah:

Wajib Pajak Yang Dapat Menerapkan Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang atas penghasilan dari usahanya dikenai PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap (BUT); dan
  • menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.
  • Wajib Pajak yang dimaksud di atas yang tidak dapat menerapkan ketentuan ini adalah:
    Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
    1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
    2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

    Wajib Pajak Badan, adalah:
    1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
    2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000

    Tarif PPh dan Ketentuan Pengenaannya

    Besarnya tarif PPh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sebesar 1% dan bersifat final. Pengenaan PPh ini didasarkan pada peredara bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

    Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 dalam suatu Tahun Pajak, maka Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh final 1% ini sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Sedangkan untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya barulah dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang telah dikenai PPh yang bersifat final lainnya. (Misalnya untuk penghasilan dari jasa konstruksi tetap dikenakan tarif PPh final untuk jasa konstruksi sebesar 2% untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini hanya berlaku untuk penghasilan dari usaha sedangkan untuk penghasilan selain dari usaha tetap dikenakan tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Dasar Pengenan dan Perhitungan PPh

    Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah atas jumlah peredaran bruto setiap bulan.

    Pengenaan PPh dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

    Kredit Pajak Luar Negeri

    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh dan aturan pelaksananya.

    Kompensasi Kerugian Fiskal

    Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan ketentuan ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan:

    1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak; 
    2. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 tahun tersebut;
    3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

    Ketentuan Khusus Terkait Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak

    Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan PPh yang bersifat final ini adalah:

    1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan;
    2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan ini di bulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku
    3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan ini.
    Saat Berlakunya Ketentuan Ini

    Ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.

    Komentar Penulis

    Semoga Peraturan Menteri Keuangan terkait ketentuan ini segera terbit karena ketentuan ini akan berlaku dalam 3 hari lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketentuan ini berlaku di tengah tahun pajak sehingga untuk tahun pajak 2013 ini, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang memenuhi ketentuan ini harus menggunakan 2 metode dalam menghitung PPh yang terutang di tahun 2013, yaitu untuk masa Januari s.d. Juni 2013 yang masih menggunakan tarif PPh umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh, sedangkan sejak Juli s.d. Desember 2013 harus menggunakan tarif PPh yang bersifat final sebesar 1%. Tentunya hal ini cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak.

    Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

    Senin, 03 Juni 2013

    Ingat Mulai 1 Juni 2013 Harus Menerbitkan Faktur Pajak dengan Nomor Seri Baru

    Tahun 2013 telah mulai memasuki bulan Juni. Bagi sebagian pelaku di bidang perpajakan, tanggal 1 Juni 2013 adalah merupakan hari yang sangat penting, karena mulai 1 Juni 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak/PKP (yaitu orang pribadi atau badan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai PPN) wajib untuk membuat Faktur Pajak dengan menggunakan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dimana salah satu aturannya adalah tentang penomoran Faktur Pajak dengan cara baru.

    Walaupun sebenarnya ketentuan penomoran faktur pajak telah diberlakukan sejak 1 April 2013, namun karena untuk mengakomodasi persiapan dalam pemberian nomor faktur pajak baru, maka diberikan toleransi dalam pelaksanaannya yaitu bagi PKP yang masih belum mendapatkan nomor faktur pajak yang baru, paling lambat hingga 31 Mei 2013 masih dapat menggunakan nomor faktur pajak lama dan sejak 1 Juni 2013 harus menggunakan nomor faktur pajak yang baru. Jadi bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang telah dikukuhkan sebagai PKP maka mulai saat ini harus lebih cermat dalam hal membuat Faktur Pajak ataupun menerima Faktur Pajak yang akan dijadikan sebagai pajak masukan, karena sudah harus memperhatikan ketentuan baru sebagaimana yang diatur dalam PER-24/PJ/2013 tersebut.

    Untuk sekedar mengingatkan, berikut penulis akan ringkaskan beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan tata cara penerbitan faktur pajak yang baru berdasarkan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012.

    1. Nomor Seri Faktur Pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak/KPP) berdasarkan permohonan yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
    2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP dengan blok nomor urut, sehingga antara satu PKP dengan PKP lainnya tidak akan menerima nomor urut yang sama. Dalam ketentuan PER-24/PJ/2012 ini sudah tidak lagi mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi penggunaan nomor faktur pajak yang tidak urut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk penomoran faktur pajak yang baru ini tidak perlu dibuat secara berurutan.
    3. Ada kewajiban bagi PKP untuk melaporkan sisa nomor faktur pajak yang telah diterimanya yang tidak terpakai.
    4. PKP yang membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak ganda atau Nomor Seri Faktur Pajak yang sama lebih dari 1 (satu) dalam tahun pajak yang sama, maka seluruh Faktur Pajak dengan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Tidak Lengkap.
    5. Saat ini PKP yang akan mendapatkan Nomor Seri Faktur Pajak harus memenuhi syarat yaitu telah diregistrasi ulang oleh KPP tempat PKP tersebut dikukuhkan atau bagi PKP baru yaitu telah diverifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
    6. Adanya penegasan bahwa keterangan Faktur Pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa harus diisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
    7. PKP wajib memberitahukan secara tertulis ke KPP atas penunjukkan pejabat/pegawai yang berhak untuk menandatangani Faktur Pajak dengan melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah (KTP, SIM, atau Paspor) yang dilegalisasi oleh pejabat berwenang.
    8. Mengganti istilah “Faktur Pajak Cacat” menjadi “Faktur Pajak Tidak Lengkap” agar sesuai dengan ketentuan UU KUP.
    9. Mempertegas peruntukan Kode Transaksi untuk kode 02 (bendahara pemerintah) dank ode 03 (BUMN dan KPS) digunakan untuk penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN.
    10. Tata cara penerbitan Faktur Pajak Pengganti disederhanakan menjadi: untuk Faktur Pajak Pengganti tetap menggunakan Nomor Seri yang sama dengan Faktur Pajak sebelumnya yang akan digantikan. Pelaporan Faktur Pajak pengganti ini hanya dilaporkan di SPT Masa PPN pada masa pajak dimana Faktur Pajak yang diganti tersebut dilaporkan.

    Kamis, 16 Mei 2013

    Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

    Sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan kewajiban pemungutan PPh atas pembayaran penghasilan kepada Pegawai dan Bukan Pegawai orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan adalah dengan menggunakan Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26. Selama ini formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini diberi kode Formulir 1721.

    Kelak mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013.

    Bentuk Formulir

    Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dengan peraturan ini sebagaimana ditentukan dalam Lampiran 1 (Formulir 1721 tahun 2014 dalam bentuk Ms. Excel ini dapat di-download di sini) terdiri dari:


    1. Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721);
    2. Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-I);
    3. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-II);
    4. Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-III);
    5. Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 - (Formulir 1721-IV);
    6. Daftar Biaya - (Formulir 1721-V);
    Sedangkan bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang merupakan dokumen pendukung dari SPT Masa PPh Pasal 21/26 ditetapkan dalam Lampiran 2 peraturan ini terdiri dari:

    1. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26 - (Formulir 1721-VI);
    2. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final) - (Formulir 1721-VII);
    3. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala - (Formulir 1721-A1);
    4. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya - (Formulir 1721-A2);

    Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 ini adalah berupa:
    -formulir kertas (hard copy); atau
    -e-SPT

    Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26

    a.Pelaporan dengan formulir kertas (hard copy)

    Wajib Pajak/Pemotong Pajak dapat menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dalam bentuk kertas (hard copy) adalah apabila:
    1. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau;
    2. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada angka 1 dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
    3. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
    4. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak.

    b.Pelaporan dengan e-SPT

    Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang diperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir dalam bentuk kertas, namun ingin melaporkannya menggunakan e-SPT, maka dalam ketentuan ini Wajib Pajak ini diperolehkan untuk melaporkan dengan menggunakan e-SPT.

    Bagi Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang tidak memenuhi salah satu dari keempat ketentuan yang memperbolehkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT.

    Apabila Wajib Pajak/Pemotong Pajak yang telah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan e-SPT, maka tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) untuk masa-masa pajak berikutnya.

    Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT namun tetap menyampaikannya dengan formulir kertas, maka atas SPT yang telah dilaporkannya dengan menggunakan formulir kertas ini dianggap tidak pernah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26

    Bentuk Formulir Yang Harus Digunakan

    Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan menggunakan formulir kertas, maka bentuk, isi dan ukuran formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 tersebut harus sama seperti bentuk formulir yang ditetapkan dalam Lampiran 1 PER-14/PJ/2013 ini dan tidak boleh diubah

    Bagi Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dengan e-SPT, maka harus menggunakan aplikasi e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

    Cara Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26

    SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dapat disampaikan oleh Pemotong dengan cara:

    a. langsung ke KPP atau KP2KP;
    b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP;
    c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
    d. e-filing yang tata cara penyampaiannya diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    Formulir Yang Harus Dilaporkan

    Dalam Hal Pelaporan Menggunakan Formulir Kertas (hard copy)
    SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) tidak perlu dilampiri dengan:
    • Formulir 1721-I dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap, Penerima Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya;
    • Formulir 1721-II dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan Pasal 26 dengan menggunakan Formulir 1721-VI;
    • Formulir 1721-III dalam hal tidak ada pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan menggunakan Formulir 1721-VII;
    • Formulir 1721-IV dalam hal tidak ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 dengan menggunakan SSP dan Bukti Pbk;
    • Formulir 1721-V dalam hal Pemotong wajib menyampaikan SPT Tahunan;
    • Formulir 1721-VI;
    • Formulir 1721-VII;
    • Formulir 1721-A1;
    • Formulir 1721-A2;

    Dalam Hal Pelaporan Menggunakan e-SPT
    SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT harus disampaikan dengan disertai Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy).

    Kapan dan Formulir Apa yang Harus Digunakan?

    Ketentuan perubahan saat penggunaan formulir baru (Formulir 1721 tahun 2014) sesuai PER-14/PJ/2014 dan kapan masih harus menggunakan formulir sesuai PER-32/PJ/2009 (Formulir 1721 tahun 2009) adalah:
    1. Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 sampai dengan Masa November 2013 (baik SPT Normal maupun SPT Pembetulan)
    Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak sampai dengan Masa Pajak November 2013 yang dilakukan sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

    2. Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Masa Desember 2013 (SPT Normal dan SPT Pembetulan)
    Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan/atau pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk masa pajak Desember 2013 yang dilakukan:
    • sampai dengan tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
    • setelah tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
    Pengisian Pada Masa Desember

    Berbeda dengan formulir SPT Masa yang sebelumnya, pada formulir SPT Masa PPh Pasal 21 1721 sesuai dengan ketentuan PER-14/PJ/2013 ini untuk pengisian masa Desember, pada Induk SPT (Form 1721, jumlah penghasilan bruto dan PPh terutang yang diisikan hanyalah jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan kepada karyawan serta PPh terutang yang terjadi pada bulan Desember saja (bukan jumlah akumulasi dari Januari sampai dengan Desember). Sedangkan pada Form 1721-I, pada masa Desember harus mengisi 2 Form, yaitu:
    • satu Form yang diisi hanya untuk penghasilan bruto yang diterima setiap karyawan dan PPh terutangnya pada bulan Desember saja (pada bagian atas formulir dipilih "SATU MASA PAJAK"), dan;
    • satu Form yang untuk penghasilan bruto yang diterima setiap karyawan dan PPh terutangnya selama bulan Januari sampai dengan Desember (pada bagian atas formulir dipilih "SATU TAHUN PAJAK")

    Download:
    Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 (Form 1721) format Excel

    Artikel Terkait:
    Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Baru tahun 2015

    Rabu, 10 April 2013

    Kumpulan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Tahun 2013

    Berikut ini adalah kumpulan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan selama tahun 2013

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-62/PJ/2013
    Tanggal 27 Desember 2013
    Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-Commerce

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-60/PJ/2013
    Tanggal 24 Desember 2013
    Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak Sebagaimana Telah Diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2013

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-50/PJ/2013
    Tanggal 24 Oktober 2013
    Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-42/PJ/2013
    Tanggal 2 September 2013
    Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-39/PJ/2013
    Tanggal 02 Agustus 2013
    Tata Cara Pengembalian dan Pengelolaan Administrasi Pajak Pertambahan Nilai Kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-33/PJ/2013
    Tanggal 12 Juli 2013
    Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarding) yang di Dalam Tagihannya Terdapat Biaya Transportasi (Freight Charges)

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-26/PJ/2013
    Tanggal 30 Mei 2013
    Petunjuk Teknis Pemeriksaan Perusahaan Grup

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-25/PJ/2013
    Tanggal 30 Mei 2013
    Pedoman e-Audit

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-12/PJ/2013
    Tanggal 26 Maret 2013
    Pemeriksaan atas SPT Tahunan PPh Rugi dan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi yang Daluwarsa Penetapan Pada Tahun 2013

    SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-11/PJ/2013
    Tanggal 26 Maret 2013
    Rencana dan Strategi Pemeriksaan Tahun 2013