..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - KUP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - KUP. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Juli 2024

Penggunaan NIK Sebagai NPWP Berlaku Hari Ini 1 Juli 2024

Hari ini, 1 Juli 2024, telah resmi ditetapkan bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) telah digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Penegasan mengenai pemberlakuan NIK sebagai NPWP ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2024 tanggal 28 Juni 2024 tentang Penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak dengan Format 16 (Enam Belas) Digit, dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) Dalam Layanan Administrasi Perpajakan.

Walaupun sejak tanggal 1 Juli 2024 telah diberlakukan penggunaan NIK sebagai NPWP dalam layanan administrasi perpajakan baik yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak maupun Pihak Lain, namun pemberlakuan ini masih diterapkan untuk sebagian layanan dan akan dilakukan secara bertahap untuk layanan lainnya yang belum diterapkan. Ketentuan ini juga mengatur masa peralihan sampai dengan tanggal 31 Desember 2024, apabila ada layanan atau Pihak Lain (yaitu badan atau instansi pemerintah yang menyelenggarakan layanan administrasi publik atau nonpublik yang mencantumkan NPWP dalam layanan administrasinya) yang belum siap untuk melaksanakan ketentuan ini, maka dimungkinkan tetap menggunakan NPWP format lama yaitu NPWP 15 digit.

Pengunaan NIK Sebagai NPWP dan NPWP Format 16 Digit (Format Baru)

Pada Pasal 2 PER-6/PJ/2024 ditegaskan bahwa ketentuan NIK sebagai NPWP, NPWP Format 16 digit dan NITKU dalam layanan administrasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Pihak Lain telah berlaku terhitung sejak 1 Juli 2024. Layanan Administrasi yang dapat dimanfaatkan dengan menggunakan NIK sebagai NPWP, NPWP Format 16 digit dan NITKU sejak 1 Juli 2024 beruapa layanan pendaftaran dan layanan digital lain, meliputi 7 jenis layanan yaitu:
  1. pendaftaran Wajib Pajak (e-Registration);
  2. akun profil Wajib Pajak pada DJP Online;
  3. informasi konfirmasi status Wajib Pajak (info KSWP);
  4. penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 (e-Bupot 21/26);
  5. penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Unifikasi (e-Bupot Unifikasi);
  6. penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 instansi pemerintah dan Surat Pemberitahuan Masa PPh Unifikasi instansi pemerintah (e-Bupot Instansi Pemerintah); dan
  7. pengajuan keberatan (e-Objection).
Jenis dan penjelasan layanan administrasi yang menggunakan NIK sebagai NPWP, NPWP Format 16 digit dan NITKU (sebagaimana disebutkan di atas) dan penambahan layanan administrasi yang dapat dimanfaatkan Wajib Pajak dengan menggunakan NIK sebagai NPWP, NPWP Format 16 digit dan NITKU akan diumumkan kepada masyarakat secara bertahap.

Penggunaan NPWP Format 15 Digit (Format Lama)

Untuk layanan administrasi selain layanan yang disebutkan di atas dapat dimanfaatkan Wajib Pajak dengan menggunakan NPWP dengan format 15 digit (NPWP format lama).

Kemudian pada Pasal 3 PER-6/PJ/2024 juga disebutkan bahwa dalam hal sistem administrasi Pihak Lain yang masih belum siap untuk menyelenggarakan layanan administrasi sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) huruf b PER-6/PJ/2024 (7 layanan yang disebutkan di atas), maka Pihak Lain ini tetap menggunakan NPWP dengan format 15 digit dalam layanan administrasi yang mencantumkan NPWP sampai dengan tanggal 31 Desember 2024.

Pencantuman NPWP pada Keputusan, Ketetapan, Formulir dan Dokumen Perpajakan

Keputusan, Ketetapan, Formulir dan Dokumen Perpajakan yang diterbitkan akan secara bertahap disesuaikan dengan mencantumkan NPWP 15 digit dan NIK sebagai NPWP atau NPWP format 16 digit.

Keputusan, Ketetapan, Formulir dan Dokumen Perpajakan yang mencantumkan NPWP dengan format 15 digit yang diterbitkan sejak tanggal 1 Juli 2024 memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Keputusan, Ketetapan, Formulir dan Dokumen Perpajakan yang mencantumkan NIK sebagai NPWP atau NPWP format 16 digit.

Ketentuan Pemberian NPWP Bagi Wajib Pajak yang Baru Terdaftar

Terhadap Wajib Pajak yang mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau diberikan NPWP secara jabatan, diberlakukan ketentuan sebagai berikut:
  1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk, dilakukan aktivasi NIK sebagai NPWP dan diberikan NPWP dengan format 15 digit (NPWP format lama);
  2. Bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk, Wajib Pajak badan, dan Wajib Pajak instansi pemerintah, diberikan NPWP dengan format 15 digit dan NPWP dengan format 16 digit; dan/atau
  3. Bagi Wajib Pajak cabang diberikan NPWP dengan format 15 digit dan NIK sebagai NPWP atau NPWP dengan format 16 digit yang merupakan NPWP pusat,
serta diberikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).

Ketentuan ini diberlakukan sejak 1 Juli 2024

Selasa, 12 Desember 2023

Resmi: Implementasi Penuh NIK Menggantikan NPWP Ditunda Hingga 1 Juli 2024

Sedianya mulai 1 Januari 2024, Nomor Induk Kependudukan (NIK) akan menggatikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 15 digit yang selama ini digunakan oleh Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022, maka mulai 1 Januari 2024, Wajib Pajak orang pribadi yang masih belum melakukan pemadanan NPWP dengan NIK, maka Wajib Pajak yang bersangkutan tidak akan dapat mengakses akun pajak onlinenya (akun djponline) masing-masing. Hal ini disebabkan karena sejak 1 Januari 2024, NPWP yang digunakan saat ini yang berjumlah 15 digit angka sudah tidak dapat digunakan lagi dan harus diganti dengan NIK yang terdiri dari 16 digit angka.

Pemadanan NPWP adalah suatu proses yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menginput NIK yang berjumlah 16 digit ke Menu Profil pada akun djponline miliknya. Proses pemadanan NPWP dengan NIK dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagaimana video tutorial yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berikut ini.



Walaupun Wajib Pajak diminta oleh DJP untuk melakukan pemadanan NPWP secara mandiri, namun untuk sebagian NPWP yang telah menyampaikan NIK ke DJP selama Wajib Pajak yang bersangkutan melakukan beberapa aktivitas perpajakannya, maka pemadanan NIK ini akan dilakukan secara sistem oleh DJP.

Untuk mengetahui apakah akun NPWP Anda telah dipadankan dengan NIK, maka kita dapat melakukan pengecekan sebagaimana informasi yang disampaikan pada link berikut: Channel Tax Learning

Sehubungan dengan adanya penyesuaian waktu implementasi Coretax Administration System (CTAS) dan juga terkait dengan kesiapan seluruh stakeholder yang terdampak dengan perubahan NIK menjadi NPWP ini, seperti ILAP (Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi dan Pihak Ketiga Lainnya) dan Wajib Pajak, maka Pemerintah menetapkan pengaturan kembali saat mulainya implementasi penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi penduduk dan NPWP 16 digit bagi Wajib Pajak (WP) orang pribadi bukan penduduk, badan, dan instansi pemerintah dari yang semula 1 Januari 2024 menjadi 1 Juli 2024. Pengaturan kembali ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tanggal 8 Desember 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.

Pasal 2 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 mengatur bahwa NPWP dengan 15 digit (NPWP format lama) masih dapat digunakan pada layanan administrasi perpajakan secara terbatas sampai dengan 30 Juni 2024. Sedangkan pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 mengatur bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan penduduk yang tidak melakukan perubahan data atas data identitas dengan status belum valid, hanya dapat menggunakan NPWP dengan format 15 digit sampai dengan tanggal 30 Juni 2024 dalam layanan administrasi perpajakan dan administrasi pihak lain yang menggunakan NPWP. 
 
Pemberlakuan NIK menjadi NPWP per 1 Juli 2024 dapat dibaca di artikel berikut ini

Selasa, 27 Desember 2022

Sertifikat Elektronik Bagi Wakil atau Kuasa Wajib Pajak Untuk Pembuatan Bukti Potong Unifikasi

Ingat bahwa sejak 1 Januari 2023, Wajib Pajak Badan yang akan membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi sudah tidak dapat lagi menggunakan sertifikat elektronik yang selama ini digunakan (yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017).

Untuk dapat membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi ini, maka Wakil dari Wajib Pajak Badan (yaitu Pengurus) ataupun Kuasa dari Wajib Pajak Badan tersebut sebagai penandatangan Bukti Pemotongan/Pemungutan yang akan diterbitkan, harus mengajukan permohonan untuk diterbitkan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP bagi diri Wakil atau Kuasa Wajib Pajak Badan itu sendiri, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2021 tanggal 28 Desember 2021.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa saat ini Pemotong/Pemungut Pajak wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Berformat Standar melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi dan ditandatangani secara elektronik dengan tanda tangan elektronik. Demikian halnya pula dengan SPT Masa PPh *), Wajib Pajak Pemotong/Pemungut Pajak wajib membuat SPT Masa PPh Unifikasi melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi dan ditandatangani secara elektronik dengan tanda tangan elektronik dan juga disampaikan melalui Aplikasi e-Bupot Unifikasi.

Untuk dapat menandatangani SPT Masa PPh Unifikasi dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi, terlebih dahulu Wakil atau Kuasa dari Pemotong/Pemungut Pajak Badan harus memiliki Sertifikat Elektronik (Sertel) dari Direktorat Jenderal Pajak.

Sejak tanggal 1 Januari 2023, Sertel yang akan digunakan untuk dapat membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi besarta Bukti Pemotongannya, haruslah Sertel milik orang pribadi sebagai wakil dari Pemotong/Pemungut PPh yang merupakan Wajib Pajak Badan dan sudah tidak dapat lagi menggunakan Sertel yang diberikan untuk Wajib Pajak Badan tersebut (yang biasanya digunakan untuk membuat e-Faktur).

Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP, disebutkan bahwa wakil dari Wajib Pajak Badan adalah:
  1. badan oleh pengurus; yang dimaksud pengurus adalah orang yang namanya tercantum di akta pendirian badan tersebut seperti direksi, ketua/sekretaris/bendahara yayasan/organisasi/koperasi dan sebagainya;
  2. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
  3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
  4. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
Dengan demikian, bagi Wajib Pajak Badan agar segera mengurus sertifikat elektronik untuk masing-masing pengurus dari Wajib Pajak Badan ini supaya mulai 1 Januari 2023, dapat membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Unifikasi (e-Bupot) serta melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi.

Cara Untuk Mendapatkan Sertifikat Elektronik 


 
Untuk memperoleh sertifikat elektronik maka Wakil Wajib Pajak badan harus mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan sertifikat elektronik. Adapun persyaratan permohonan adalah sebagai berikut:
  1. Formulir Permintaan Sertifikat Elektronik yang telah diisi dan ditandatangani 
  2. Fotokopi KTP dan NPWP Pemilik (Paspor untuk WNA)
  3. Fotokopi Kartu Keluarga Pemilik (KITAS atau KITAP untuk WNA) 
  4. Softcopy pas photo Pemilik terbaru 1 tahun terakhir
  5. Pengaju Permohonan Telah melaporkan SPT Tahunan terakhir yang sudah jatuh tempo (untuk saat iniTahun 2021)
Untuk syarat lainnya bergantung pada KPP masing-masing. Ada beberapa KPP yang memperbolehkan Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat elektronik secara online melalui email. Untuk lebih jelasnya Pembaca Setia Tax Learning dapat menanyakan ke KPP terdaftar. 
 
*) Catatan:
SPT Masa PPh Unifikasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah:
  1. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
  2. SPT Masa PPh Pasal 15;
  3. SPT Masa PPh Pasal 22;
  4. SPT Masa PPh Pasal 23; dan
  5. SPT Masa PPh Pasal 26
Update 3 Januari 2023:
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat pada tanggal 3 Januari 2023 mengeluarkan Pengumuman Nomor PENG-1/PJ.09/2023 menginformasikan bahwa dalam rangka rancang ulang proses bisnis administrasi perpajakan melalui Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2021, bahwa penggunaan Sertifikat Elektronik sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017, EFIN sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-41/PJ/2015 dan Kode Verifikasi berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 masih tetap berlaku sampai dengan tersedianya Sertifikat Elektronik dan Kode Otorisasi Direktorat Jenderal Pajak di dalam sistem informasi DJP.
 
(c) syafrianto.blogspot.com

Download:

Sabtu, 21 September 2019

Penghapusan Sanksi Bagi Pemotong PPh Yang Tidak Dapat/Terlambat Setor Pajak Pada 10 September 2019

Pada tanggal 10 September 2019 lalu, yang bertepatan dengan batas waktu penyetoran PPh atas Pemotongan Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 15 untuk masa pajak Agustus 2019, telah terjadi gangguan pada sistem Modul Penerimaan Negara Generasi Ketiga (MPN G3) yang mengakibatkan Wajib Pajak tidak dapat melakukan penyetoran pajak atas kewajiban tersebut. Mungkin di antara para Pembaca Setia Tax Learning ada juga yang mengalami hal ini, sehingga penyetoran pajaknya menjadi terlambat.

Tidak usah panik atas keterlambatan ini, karena pada tanggal 11 September 2019 Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-607/PJ/2019. Melalui KEP-607/PJ/2019 ini Direktur Jenderal Pajak memberikan kebijakan berupa memberikan penghapusan sanksi administrasi terhadap keterlambatan:
  1. penyetoran pajak untuk Masa Pajak Agustus 2019 atas pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 26;
  2. penyetoran pajak untuk Masa Pajak Agustus 2019 atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu,
  3. penyetoran atas pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Bendahara Pengeluaran yang jatuh tempo pada tanggal 10 September 2019, dan/atau
  4. pelunasan utang pajak yang jatuh tempo pada 10 September 2019,
yang dilakukan pada tanggal 11 September 2019.

Penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyetoran pajak atau pelunasan utang pajak tersebut di atas, dilakukan tanpa menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU KUP.

Dalam hal terhadap keterlambatan penyetoran pajak atau pelunasan utang pajak tersebut di atas, telah diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat 1 huruf (a) UU KUP.

Jumat, 31 Mei 2019

Kebijakan Penghapusan Sanksi atas Setor Pajak Yang Jatuh Tempo 10 Juni 2019

Sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 617 Tahun 2018, Nomor 262 Tahun 2018, dan Nomor 16 Tahun 2018, ditetapkan bahwa Cuti Bersama dan Libur Nasional sehubungan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah jatuh pada tanggal 3 Juni 2019 (Senin) sampai dengan 7 Juni 2019 (Jumat), Sebagian besar pelaku bisnis di Indonesia sudah mulai libur dalam rangka Hari Raya Idul Fitri pada hari Senin, 3 Juni 2019. Demikian juga dengan sebagian pelayanan di bidang Pemerintahan, termasuk Direktorat Jenderal Pajak.

Pelayanan di Direktorat Jenderal Pajak beserta seluruh jajaran di bawahnya termasuk Kantor Pelayanan Pajak mulai hari Senin, 3 Juni 2019 tutup hingga 7 Juni 2019. Baru kembali buka dan melayani pemenuhan kewajiban perpajakan para Wajib Pajak pada tanggal 10 Juni 2019. Walaupun sebenarnya, pelayanan penyetoran dan pelaporan pajak bagi para Wajib Pajak tidak akan terganggu, karena dapat dilakukan melalui sistem e-Billing (termasuk melalui fisilitas internet banking yang disediakan oleh Bank Persepsi), e-Filing, namun sebagai antisipasi libur yang panjang hingga menjelang jatuh tempo penyetoran pajak yang harus dilakukan pada tanggal 10 Juni 2019, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Kebijakan Perpajakan terhadap Penyetoran atas Pemotongan atau Pemungutan Pajak Penghasilan yang Jatuh Tempo pada tanggal 10 Juni 2019 melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-486/PJ/2019 tanggal 31 Mei 2019.

Dalam KEP-486/PJ/2019 ini ditetapkan hal sebagai berikut.

Terhadap keterlambatan penyetoran pajak untuk Masa Pajak Mei 2019 atas:
  1. pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 26; dan/atau
  2. pemungutan PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu, yang dilakukan pada tanggal 11 Juni 2019 sampai dengan 12 Juni 2019, diberikan penghapusan sanksi administrasi.
Terhadap keterlambatan penyetoran atas pemungutan PPh Pasal 22 oleh Bendahara Pengeluaran yang jatuh tempo pada tanggal 1 Juni 2019 sampai dengan 10 Juni 2019 dan disetorkan pada tanggal 11 Juni 2019 sampai dengan 12 Juni 2019, diberikan penghapusan sanksi administrasi.

Penghapusan Sanksi administrasi ini dilakukan tanpa menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP).

Namun apabila atas penyetoran dan pemotongan atau pemungutan PPh yang terlambat yang dilakukan pada tanggal 11 Juni 2019 sampai dengan 12 Juni 2019 di atas telah diterbitkan STP, maka Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP.

Kamis, 23 Agustus 2018

Pengecualian Pengenaan Sanksi Atas Telat Setor dan Lapor Pajak Terkait dengan Bencana Alam Gempa Bumi di Pulau Lombok

Pada tanggal 29 Juli 2018 pukul 06.47 WITA Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan sekitarnya diguncang gempa dahsyat dengan kekuatan 6,4 SR. Sejak itu hingga saat tulisan ini dibuat, Lombok masih diguncang gempa ratusan kali baik gempa susulan maupun gempa baru dengan kekuatan yang berbeda-beda. Tercatat ada 3 gempa utama dengan kekuatan yang cukup dahsyat, yaitu yang terjadi pada tanggal 29 Juli 2018, kemudian pada tanggal 5 Agustus 2018 (dengan kekuatan gempa 7 SR) dan tanggal 19 Agustus 2018 (dengan kekuatan 6,4 SR). Akibat serangkaian gempa bumi ini, menyebabkan Lombok luluh lantak dan kegiatan ekonomi di sana menjadi terhenti hingga saat ini.

Terkait dengan kondisi tersebut, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat telah menetapkan Status Keadaan Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Bumi di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat dari tanggal 29 Juli 2018 sampai dengan 4 Agustus 2018 dengan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 360-611 Tahun 2018; Perpanjangan Penetapan Status Keadaan Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Bumi di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat dari tanggal 5 Agustus 2018 sampai dengan 11 Agustus 2018 dengan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 360-642 Tahun 2018; dan Perpanjangan Penetapan Status Keadaan Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Bumi di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat dari tanggal 12 Agustus 2018 sampai dengan 25 Agustus 2018 dengan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 360-653 Tahun 2018.

Guna meringankan beban dan dampak sosial ekonomi bagi Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan kebijakan mengenai pengecualian pengenaan sanksi perpajakan dan pemberian perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan. Kebijakan ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-209/PJ/2018 tanggal 21 Agustus 2018 tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan Dengan Bencana Alam Gempa Bumi di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Menetapkan Keadaan Kahar (Force Majeur) atas bencana alam gempa bumi di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat sejak tanggal 29 Juli 2018 bagi Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat.
  2. Bagi Wajib Pajak yang disebutkan di atas, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan SPT Masa dan/atau SPT Tahunan; dan pembayaran pajak dan/atau utang pajak, yang jatuh tempo pada tanggal 29 Juli 2018 sampai dengan berakhirnya kondisi tanggap darurat
  3. Pelaporan dan pembayaran pajak atas kewajiban pajak yang dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan ini (diberi toleransi terlambat lapor dan bayar) harus dilaksanakan paling lama 3 bulan setelah berakhirnya kondisi tanggap darurat.
  4. Pengecualian pengenaan sanksi administrasi ini dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP).
  5. Apabila atas keterlambatan lapor dan bayar di atas telah diterbitkan STP, maka Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf (a) UU KUP.
  6. Bagi Wajib Pajak yang berdomisili, bertempat kedudukan, dan/atau memiliki tempat kegiatan usaha di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi keterlambatan lapor dan bayar ini, pengajuan keberatan yang jatuh tempo pada tanggal 29 Juli 2018 sampai dengan berakhirnya kondisi tanggap darurat, diberikan perpanjangan batas waktu paling lama 1 bulan setelah berakhirnya kondisi tanggap darurat.

Senin, 18 Juni 2018

Telat Lapor SPT Masa PPh Masa Mei 2018 Tidak Kena Denda

Bulan Juni 2018 ini adalah merupakan bulan yang paling banyak hari Libur Nasional dan Cuti Bersama, karena bertepatan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriyah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Cuti Bersama Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah telah menetapkan bahwa cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriyah, selain hari Libur Nasional terkait perayaan Hari Raya Idul Fitri 1439 H yang jatuh pada hari Jumat, 15 Juni 2018 dan Sabtu 16 Juni 2018, Pemerintah telah menetapkan hari cuti bersama bagi Pegawai Negeri Sipil sebanyak 7 (tujuh) hari kerja yaitu tanggal 11, 12, 13, 14, 18, 19 dan 20 Juni 2018.

Akibat adanya libur yang panjang ini, yang bertepatan dengan batas waktu penyampaian (pelaporan) Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh)  masa Mei 2018, menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan SPT Masa sampai dengan batas waktu jatuh tempo. Selain itu, juga ada sebagian Pengusaha Kena Pajak yang Sertifikat Elektroniknya berakhir masa berlakunya dan harus diperpanjang lagi dengan mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik namun bertepatan dengan saat libur nasional dan cuti bersama ini.

Mempertimbangkan beberapa hal ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-171/PJ/2018 tanggal 8 Juni 2018 tentang Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Selama Hari Libur Idul Fitri dan Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri Tahun 2018. Dalam Keputusan ini ditegaskan beberapa perlakuan khusus terkait dengan pemenuhan kewajiban perpajakan yang bertepatan dengan Hari Libur Idul Fitri dan Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri Tahun 2018, yaitu:
  1. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh untuk Masa Pajak Mei 2018 setelah tanggal 21 Juni 2018 namun tidak melewati tanggal 26 Juni 2018, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian SPT (dengan Pasal 7 ayat (1) UU KUP).
  2. Terhadap SPT Masa PPh masa Mei 2018 yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah tanggal 21 Juni 2018 sampai dengan tanggal 26 Juni 2018 ini tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP sesuai ketentuan Pasal 14 UU KUP) oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
  3. Pengusaha Kena Pajak yang memiliki Sertifikat Elektronik dengan jangka waktu berlakunya berakhir pada tanggal 9 Juni 2018 sampai dengan 20 Juni 2018 dapat mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik yang baru paling lambat tanggal 2 Juli 2018 sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian dan pencabutan Sertifikat Elektronik. Selama jangka waktu 9 Juni 2018 sampai dengan 2 Juli 2018, Pengusaha Kena Pajak ini diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pembuatan dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak. Setelah Pengusaha Kena Pajak ini telah memiliki Sertifikat Elektronik yang baru, data Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang telah dibuat secara manual ini diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak melalui aplikasi e-Faktur untuk mendapatkan persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
  4. Faktur Pajak yang dibuat secara manual yang berbentuk kertas (hardcopy) tersebut di atas, yang tidak diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak melalui aplikasi e-Faktur untuk mendapatkan persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak bukan merupakan Faktur Pajak.

Senin, 26 Februari 2018

Tata Cara Pendaftaran dan Penyampaian Laporan Informasi Keuangan Secara Otomatis Bagi Lembaga Keuangan

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan dan petunjuk pelaksanaannya dimana Lembaga Keuangan diwajibkan untuk menyampaikan Laporan yang berisi informasi keuangan secara otomatis, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2018 tanggal 31 Januari 2018 mengenai tata cara pendaftaran bagi Lembaga Keuangan dan Penyampaian Laporan yang berisi Informasi Keuangan secara otomatis.

Pendaftaran

Lembaga Keuangan Pelapor yang dimaksud dalam peraturan ini adalah:

  1. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di sektor perbankan, berupa: Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Umum Syariah, Bank Perkredita Rakyat Syariah.
  2. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di sektor Pasar Modal, berupa: Perantara Pedagang Efek, Manajer Investasi, Bank Kustodian. 
  3. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di sektor Perasuransian, berupa: Perusahaan asuransi umum dan umum syariah, perusahaan asuransi jiwa dan jiwa syariah, perusahaan reasuransi dan reasuransi syariah, perusahaan asuransi lainnya.
  4. Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Lainnya, berupa: Lembaga Keuangan Mikro, Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
  5. Entitas lain berupa: pialang perdagangan berjangka, Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi yang memiliki unit simpan pinjam.
  6. LJK, LJK Lainnya dan Entitas Lain selain yang disebutkan di nomor 1 s.d. nomor 5 di atas;
maka diwajibkan untuk mendaftarkan diri sebagai Lembaga Keuangan Pelapor ke KPP tempat LJK, LJK atau Entitas Lain terdaftar, dengan menggunakan formulir pendaftaran dengan format pada huruf B Lampiran PER-04/PJ/2018. Pendaftaran ini harus dilakukan paling lambat akhir bulan Februari tahun kalender berikutnya setelah tahun terpenuhinya kriteria sebagai Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor.

**Catatan:
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Penegasan Nomor S-68/PJ/2018 tanggal 23 Februari 2018 yang memberikan penegasan bahwa batas waktu pendaftaran lembaga keuangan pelapor dan lembaga keuangan nonpelapor untuk tahun 2018 dapat dilakukan sampai dengan akhir bulan Maret 2018.

Pada saat pendaftaran ini, harus menyampaikan formulir pendaftaran secara hardcopy serta softcopy.

Untuk mendownload file formulir pendaftaran elektronik Lembaga Keuangan dapat mengakses di sini:
1. Aplikasi Forms Viewer
2. EOI Form

Sebelum menjalankan EOI Form, terlebih dahulu harus menginstall Aplikasi Forms Viewer.

Dalam waktu 5 hari setelah diterima pendaftaran dari Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor (serta diterbitkan tanda terima pendaftaran) maka Kepala KPP menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar.

Bagi Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor yang tidak melaksanakan kewajiban pendaftaran sampai dengan batas waktu pendaftaran, maka Kepala KPP dapat menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar secara jabatan.

Apabila terjadi perubahan data Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor, maka Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor harus menyampakan permohonan perubahan data ke KPP dengan mengisi Formulir Pendaftaran.

Bagi Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor yang telah terdaftar, dapat mengajukan pencabutan status terdaftarnya apabila sudah tidak memenuhi kriteria sebagai Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor.

Penyampaian Laporan

Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan mengenai informasi keuangan paling sedikit memuat informasi berupa:
a. Identitas pemegang Rekening Keuangan;
b. Nomor Rekening Keuangan;
c. Identitas Lembaga Keuangan Pelapor;
d. Saldo atau Nilai Rekening Keuangan; dan
e. Penghasilan yang terkait dengan Rekening Keuangan,

Dengan rincian dan penjelasan sesuai dengan format pada Lampiran Huruf G Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2018.

Laporan ini dibuat dalam bentuk dokumen elektronik dengan format:
  1. Extensible Markup Language (XML); atau
  2. Microsoft Excel, dan dilakukan pengamanan atau enkripsi dengan aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Laporan ini disampaikan melalui:
  1. Mekanisme elektronik yang dilakukan secara online melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau laman lain yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak; atau
  2. Mekanisme nonelektronik yang dilakukan secara langsung ke Kantor Pengolahan Data Eksternal (KPDE) atau melaui KPP.
Laporan informasi keuangan ini wajib disampaikan oleh Lembaga Keuangan Pelapor atau Lembaga Keuangan Nonpelapor paling lama akhir bulan April tahun kalendar berikutnya bagi Lembaga Keuangan Pelapor yang langsung disampaikan ke Ditjen Pajak oleh LJK Lainnya atau Entitas Lainnya dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional dan LJK, LJK Lainnya atau Entitas Lainnya dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Sedangkan untuk Laporan yang disampaikan ke Ditjen Pajak melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) oleh LJK dalam rangka pelaksanaan perjanjian internasional yang tata cara penyampaiannya diatur oleh OJK, maka laporan harus disampaikan ke OJK paling lambat tanggal 1 Agustus tahun kalender berikutnya.

Apabila batas waktu penyampaian laporan tersebut jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum atau cuti bersama secara nasional, penyampaian laporan dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.

Atas laporan yang terdapat kekeliruan dalam pengisian laporan, maka dapat dilakukan pembetulan.

Peraturan ini mulai berlaku tanggal 31 Januari 2018.

Kamis, 08 Juni 2017

Menteri Keuangan Revisi Batas Minimum Saldo Rekening Yang Wajib Dilapor Ke Ditjen Pajak Jadi Rp 1 Miliar

Menteri Keuangan melalui Siaran Pers Nomor 21/KLI/2017 tanggal 7 Juni 2017 melakukan revisi atas ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tanggal 31 Mei 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Revisi ini dilakukan setelah Pemerintah mendengar dan memperhatikan masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan agar kebijakan tersebut lebih mencerminkan rasa keadilan, menunjukkan keberpihakan terhadap pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, dan memperhatikan aspek kemudahan administrasi bagi lembaga keuangan untuk melaksanakannya.

Perubahan yang dilakukan adalah dengan mengubah batas minimum nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan secara berkala dari semula sebesar Rp 200 juta diubah menjadi Rp 1 miliar.

Dengan adanya perubahan batas minimum nilai saldo rekening keuangan ini, maka jumlah rekening perbankan yang wajib dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) adalah sekitar 496.000 rekening atau sebesar 0,25% dari keseluruhan rekening yang ada di perbankan saat ini.

Catatan: revisi yang dilakukan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 tanggal 12 Juni 2017.

Artikel Terkait:

Senin, 05 Juni 2017

Peraturan Menteri Keuangan Tentang Akses Informasi Keuangan Oleh Ditjen Pajak

Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaporan informasi keuangan, prosedur identifikasi rekening, kewajiban dokumentasi lembaga keuangan, sanksi bagi lembaga keuangan yang tidak patuh, kerahasiaan informasi keuangan yang diterima Ditjen Pajak, serta ancaman pidana bagi petugas Ditjen Pajak yang tidak memenuhi ketentuan kerahasiaan.

Peraturan Menteri Keuangan ini bagaimana akses pertukaran informasi dapat dijalankan untuk kepentingan perpajakan dalam negeri dan pelaksanaan perpajakan internasional. Mekanisme penyampaian informasi dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu secara otomatis tanpa dilakukan permintaan dan dengan cara informasi baru disampaikan apabila ada permintaan.

Untuk penyampaian informasi secara otomatis dilakukan untuk informasi yang terekam dalam satu periode waktu dan mulai berlaku untuk pelaksanaan transmisi di tahun 2018 atas saldo dan keadaan di tahun 2017. Bentuk informasi yang disampaikan dapat dalam bentuk elektronik maupun non-elektronik. Penyampaian yang sifatnya otomatis ini disampaikan terlebih dahulu oleh lembaga keuangan melalui OJK sebelum disampaikan ke Ditjen Pajak.

Informasi yang harus disampaikan oleh lembaga keuangan ke Ditjen Pajak ini antara lain:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan (untuk laporan pertama adalah saldo per 31 Desember 2017); dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Batasan saldo minimal yang secara otomatis harus disampaikan oleh lembaga jasa keuangan kepada Ditjen Pajak adalah nasabah dengan saldo minimal Rp 200 juta. Memang ada perbedaan batasan nilai minimal yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini dengan standar yang digunakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sebesar USD 250,000. Namun nilai batasan saldo sebesar Rp 200 juta ini diterapkan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Sedangkan untuk nasabah asing batasan nilai saldonya tetap sesuai dengan kesepakatan OECD yaitu sebesar USD 250,000.

Berikut ini adalah ringkasan batasan nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan:
1. Untuk Nasabah Asing
  1. Bagi rekening keuangan yang dimiliki entitas dan telah dibuka sebelum 1 Juli 2017, yang wajib dilaporkan adalah dengan agregat saldo lebih dari USD 250,000.
  2. Bagi rekening keuangan lainnya: tanpa batasan saldo minimal

2. Untuk Nasabah Lokal
  1. Sektor Perbankan: yang dimiliki oleh orang pribadi dengan agregat saldo paling sedikit Rp 200 juta; sedangkan untuk yang dimiliki oleh entitas, tanpa batasan saldo minimal
  2. Sektor Perasuransian: nilai pertanggungan paling sedikit Rp 200 juta
  3. Sektor Perkoperasian: dengan agregat saldo paling sedikit Rp 200 juta
  4. Sektor Pasar Modal dan Perdagangan Berjangka Komoditi: tanpa batasan saldo minimal
Update 8 Juni 2017: ketentuan mengenai batas minimal saldo rekening sebesar Rp 200 juta ini telah direvisi dan diubah menjadi minimal Rp 1 miliar

Jadwal pelaksanaan dari ketentuan Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan adalah sebagai berikut:

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 31 Mei 2017.

Download:
- Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017

Artikel Terkait:
- Ditjen Pajak Telah Diberi Akses Luas Atas Data Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya
- Batas Rekening Yang Dilaporkan ke Ditjen Pajak adalah USD 250,000

Selasa, 16 Mei 2017

Ditjen Pajak Telah Diberi Akses Luas Atas Data Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya

Dalam rangka memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dan untuk memenuhi komitmen keikutsertaan Indonesia dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) maka Pemerintah pada tanggal 8 Mei 2017 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang ditetapkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak diberi kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Perjanjian internasional di bidang perpajakan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional antara lain Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement), Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), termasuk perjanjian yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk, antara lain Persetujuan Bilateral/Multilateral Antar-Pejabat Yang Berwenang Dalam Rangka Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis (Bilateral/Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information) dan Persetujuan Antar-Pemerintah Untuk Mengimplementasikan Undang-Undang Kepatuhan Perpajakan Rekening Keuangan Asing (Intergovernmental Agreement for Foreign Account Tax Compliance Act/FATCA) yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini berlaku.

Kewajiban Lembaga Jasa Keuangan

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini mewajibkan lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lainnya untuk menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:
  1. Laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan
  2. Laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,
yang lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender.

Yang termasuk sebagai Lembaga jasa keuangan lainnya sebagai ketentuan ini adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Sedangan yang dimaksud sebagai “entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan” adalah badan hukum (legal person) seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum (legal arrangement) seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, namun memenuhi kriteria sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Laporan yang berisi informasi keuangan yang wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini paling sedikit memuat:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Dalam rangka penyampaian laporan ini lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Prosedur identifikasi rekening keuangan ini paling sedikit meliputi kegiatan melakukan:
  1. verifikasi untuk menentukan negara domisili untuk kepentingan perpajakan bagi pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi maupun entitas;
  2. verifikasi untuk menentukan pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 merupakan pemegang rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  3. verifikasi untuk menentukan rekening keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  4. verifikasi terhadap entitas pemegang rekening keuangan untuk menentukan pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan; dan
  5. dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen yang diperoleh atau digunakan.

Wewenang Menteri Keuangan Dalam Melakukan Pertukaran Informasi Keuangan Dengan Negara Lain

Berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan, Menteri Keuangan berwenang melaksanakan pertukaran informasi keuangan dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.

Tuntutan Pidana atau Perdata

Dalam melakukan tugas atau memenuhi kewajiban terkait dengan ketentuan dalam Perppu ini,
  1. Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan;
  2. Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan;
  3. Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain;
tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (tanggal 8 Mei 2017).

Download:
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017

Artikel Terkait:
Batas Rekening Yang Dilaporkan ke Ditjen Pajak adalah USD 250,000

Selasa, 05 Januari 2016

Bayar Pajak Sudah Harus Pakai Sistem e-Billing

Mulai 1 Januari 2016 ini, pembayaran (penyetoran) pajak sudah harus menggunakan sistem e-Billing. Pembayaran pajak secara manual menggunakan hardcopy Surat Setoran Pajak (SSP) yang selama ini kita kenal akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2015. Selanjutnya penyetoran pajak yang akan dilakukan oleh Wajib Pajak sudah harus dilakukan secara online dengan menggunakan sistem e-Billing. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam Siaran Pers dari Direktorat Jenderal Pajak tanggal 30 Desember 2015.

Walaupun sejak 1 Januari 2016, penyetoran pajak secara manual menggunakan hardcopy SSP ini akan diakhiri, namun dalam masa transisi, sistem pembayaran pajak secara manual dengan menggunakan SSP masih dapat dilayani sebagian besar Bank BUMN (yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Tabungan Negara) serta PT Pos Indonesia (kantor pos). Pelayanan pembayaran pajak secara manual ini akan dilakukan hingga tanggal 30 Juni 2016. Selanjutnya sejak 1 Juli 2016 seluruh pembayaran pajak hanya dapat dilakukan menggunakan sistem e-Billing secara online.

Namun dalam prakteknya beberapa hari ini yang ditemui oleh penulis, sebagian besar Bank BUMN sudah tidak mau menerima setoran pajak secara manual.

Sebenarnya apa itu sistem pembayaran secara online yang disebut e-Billing ini? Bagaimanakah cara pembayaran pajak dengan menggunakan sistem e-Billing? Berikut ini akan penulis uraikan pembayaran pajak sistem e-Billing ini.

Pengertian e-Billing

e-Billing adalah merupakan metode pembayaran pajak secara elektronik menggunakan Kode Billing. Kode Billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui sistem Billing atas suatu jenis pembayaran atau setoran pajak yang akan dilakukan oleh Wajib Pajak. Sistem pembayaran elektronik (billing system) ini menggunakan basis Modul Penerimaan Negara (MPN) Generasi kedua (MPN-G2). dengan pembayaran pajak secara sistem e-Billing ini memberikan manfaat:
  1. memudahkan Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak
  2. pembayaran pajak dapat dilakukan kapanpun dalam jangka waktu 24 jam sehari secara online
  3. pembayaran pajak dapat dilakukan dimanapun sepanjang dapat terhubung dengan jaringan internet (tidak harus ke bank persepsi)
  4. menghindari terjadinya kesalahan transaksi akibat kesalahan di bank persepsi atau kantor pos
  5. transaksi terjadi secara real-time sehingga data pembayaran tersebut langsung tercatat di sistem Ditjen Pajak, hal ini tentunya akan mempermudah pengawasan di Ditjen Pajak.
Cara Setor Pajak Pakai e-Billing

Berikut ini akan penulis sajikan panduan cara pendaftaran e-billing dan cara menggunakan e billing untuk melakukan pembayaran pajak.

1. Buka halaman web http://sse.pajak.go.id/index.aspx

2. Pada menu di atas, klik "Daftar baru" dan isikan data NPWP (nanti nama Wajib Pajak akan otomatis muncul) alamat email dan kode verifikasi (Captcha) sesuai dengan kode berupa angka yang muncul. Kemudian klik tombol "Register"

3. Setelah klik tombol "Register" maka akan muncul pop-up menu untuk mengkonfirmasi "Data di simpan?". Klik tombol "OK"

4. Akan muncul pesan bahwa "Data berhasil di simpan. Silakan cek email untuk melakukan konfirmasi. Terima kasih"

5. Tutup web http://sse.pajak.go.id/index.aspx, kemudian buka email yang telah didaftarkan dan akan menerima email konfirmasi dari sistem e-Billing ini.

6. Klik link validasi dari email sistem e-Billing. Note: apabila muncul tampilan error atau tidak bisa divalidasi walaupun sudah menggunakan cara copy paste url-nya, abaikan saja. Selanjutnya buka lagi halaman web http://sse.pajak.go.id/index.aspx lalu login dengan menggunakan UserID dan PIN yang telah diperoleh (diemail). Setelah masuk ke account e-Billing ini, maka kita siap untuk menginput jenis pajak yang akan dibayar, masa pajak serta jumlah pajaknya.

7. Setelah hasil pengisian pembayaran pajak sudah disimpan dan telah terkonfirmasi bahwa data yang diinput sudah disimpan, maka akan muncul tampilan sebagai berikut.

8. Lalu klik tombol "Terbitkan Kode Billing" apabila hasil input telah benar dan sudah siap untuk dicetak untuk melakukan penyetoran pajaknya. Namun apabila masih terdapat data yang salah, maka masih dapat diedit dengan klik tombol "Edit Pengisian SSP".

9. Apabila sudah muncul kode billing, maka Surat Setoran Elektronik (SSE) ini sudah dapat dicetak dan dibawa ke bank persepsi/kantor pos untuk disetorkan pajaknya. Kode Billing ini berlaku selama 7 hari dan apabila pajaknya tidak disetorkan setelah lewat 7 hari, maka kode billing ini akan menjadi tidak berlaku dan Wajib Pajak harus menginput kembali.

Ketentuan mengenai e-Billing ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014.

Tambahan posting 14 Februari 2016

Mulai 16 Februari 2016, server untuk e-billing pajak versi 1 di http://sse.pajak.go.id sudah akan digantikan dengan e-billing pajak versi 2. Pada e-billing versi 2 ini dilengkapi dengan fitur untuk:
  1. pembuatan Billing atas NPWP pihak lain (untuk Potongan/Pungutan pajak)
  2. pembuatan Billing untuk untuk jenis Pembayaran Pajak tanpa-NPWP
tempat pembayaran pajak yang telah menggunakan MPN G2 ini adalah:

No Bank/Pos Persepsi Kanal Pembayaran
Teller ATM Internet
Banking
Mobile
Banking
EDC
1 PT BRI
ok
ok
ok
ok
ok
2 PT BNI
ok
ok
ok
ok
ok
3 PT Bank Mandiri
ok
ok
ok
ok
ok
4 PT Bank CIMB Niaga
ok
-
ok
-
-
5 PT Pos Indonesia
ok
-
-
-
-
6 BPD Sumsel Babel
ok
-
-
-
-
7 Citibank, N.A
ok
-
-
-
-
8 BPD Jabar Banten
ok
ok
-
-
-
9 Bank Central Asia
ok
ok
ok
-
-
10 PT. BII, Tbk
ok
-
-
-
-
11 Bank Of Tokyo
ok
-
-
-
-
12 BPD Kalsel
ok
-
-
-
-
13 BPD Riau Kepri
ok
-
-
-
-
14 Bank Nusantara Parahyangan
ok
-
-
-
-
15 BPD Lampung
ok
-
-
-
-
16 BPD Nusa Tenggara Timur
ok
-
-
-
-
17 BPD Sumatera Barat
ok
ok
-
-
-
18 BPD Sulawesi Utara
ok
-
-
-
-
19 PT Bank Panin, Tbk
ok
-
-
-
-
20 BPD Sumatera Utara
ok
-
-
-
-
21 PT Bank HSBC
ok
-
-
-
-
22 Bank BNI Syariah
ok
-
-
-
-
23 PT Bank Jawa Timur
ok
ok
-
-
-
24 Dutsche Bank
ok
-
-
-
-
25 PT Bank DBS Indonesia
ok
-
-
-
-
26 PT Bank Permata
ok
-
ok
-
-
27 Bank BTN
ok
-
-
-
-
28 Bank Mizuho
ok
-
-
-
-
29 BPD Bali
ok
-
ok
ok
-
30 PT Bank UOB Indonesia
ok
-
-
-
-
31 PT Bank Aceh
ok
-
-
-
-
32 Ekonomi Raharja
ok
-
-
-
-
33 BPD Kaltim
ok
ok
-
-
-
34 BPD Bengkulu
ok
-
-
-
-
35 Bank Danamon
ok
-
ok
-
-
36 Bank Syariah Mandiri
ok
-
-
-
-
37 Bank Sumitomo
ok
-
-
-
-
38 BPD NTB
ok
-
-
-
-
39 Bank Artha Graha
ok
-
-
-
-
40 Ekonomi Raharja
ok
-
-
-
-
41 BANK ANZ INDONESIA
ok
-
-
-
-
42 BPD SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI BARAT
ok
-
-
-
-
43 BPD DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
ok
ok
-
-
-
44 STANDARD CHARTERED BANK
ok
-
-
-
-
45 BANK OF AMERICA
ok
-
-
-
-
46 KEB HANA BANK
ok
-
-
-
-
Last Update 22/10/2015

Jumat, 24 Juli 2015

Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Tahun 2015 Dalam Mendukung Tahun Pembinaan Wajib Pajak

Tahun 2015 yang telah dicanangkan sebagai tahun pembinaan Wajib Pajak (TPWP) dimana salah satu aturan pendukung yang diterbitkan oleh Pemerintah adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tentang Pengurangan atau Penghapusan sanksi Administrasi atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak. Untuk mendukung program ini, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran yang mengatur mengenai kebijakan pelaksanaan pemeriksaan pajak di tahun 2015 ini melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2015 tanggal 7 Juli 2015 tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Tahun 2015 Dalam Rangka Mendukung Tahun Pembinaan Wajib Pajak.

Dalam Surat Edaran ini, Kepala KPP yang akan/telah menerbitkan surat perintah pemeriksaan diminta untuk melaksanakan Kebijakan Pemeriksaan atas Instruksi Pemeriksaan Khusus yang terbit sebelum Surat Edaran ini namun belum diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) atau yang telah diterbitkan SP2 tetapi Surat Pemberitahuan Pemeriksaan belum disampaikan kepada Wajib Pajak, dengan ketentuan, terhadap Wajib Pajak yang telah diinstruksikan dilakukan Pemeriksaan Khusus yang belum diterbitkan SP2 atau yang sudah terbit SP2 tetapi Surat Pemberitahuan Pemeriksaan belum disampaikan kepada Wajib Pajak, sebelum pemeriksaan dilanjutkan, Kepala UP2 diminta untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak tersebut agar memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015, dalam hal: (a) Dalam hal UP2 adalah KPP, pemberian kesempatan tersebut dilakukan dengan menyampaikan surat panggilan oleh Kepala KPP kepada Wajib Pajak; (b) Dalam hal UP2 adalah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, pemberian kesempatan tersebut dilakukan dengan menyampaikan surat panggilan oleh Kepala KPP kepada Wajib Pajak dengan tempat pemanggilan di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
  2. Terhadap Wajib Pajak yang memenuhi panggilan dan memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 diusulkan untuk dilakukan pembatalan instruksi/penugasan/persetujuan pemeriksaan.
  3. Hasil pemanggilan Wajib Pajak dan kesanggupan Wajib Pajak untuk memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tersebut dituangkan pada berita acara pemanggilan Wajib Pajak dengan contoh sebagaimana format terlampir dan digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan pembatalan instruksi/penugasan/persetujuan pemeriksaan.
  4. Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi panggilan atau memenuhi panggilan tetapi tidak memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015, maka instruksi/penugasan/persetujuan pemeriksaan tetap dilanjutkan.

Kamis, 28 Mei 2015

Persyaratan Pengajuan Sertifikat Elektronik Untuk e-Faktur

Mulai 1 Juli 2015, seluruh Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di Pulau Jawa dan Bali diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak secara elektronik yang disebut sebagai e-Faktur. Pembuatan Faktur Pajak secara elektronik ini sudah tidak memerlukan lagi tandatangan basah pada Faktur Pajak, serta Faktur Pajak dapat dikirimkan kepada Customer dalam bentuk softcopy (bentuk pdf) tanpa perlu diprint hardcopynya. Namun apabila pihak Customer menghendaki Faktur Pajak dalam bentuk hardcopy, pihak PKP penerbit dapat mencetak (print) Faktur Pajak ini namun tidak perlu menandatanganinya dan sebagai gantinya sudah akan otomatis tercetak suatu kode berbentuk OCR Code.

Sebagai ganti dari tanda tangan, maka saat pembuatan e-faktur ini, dibutuhkan adanya sertifikat elektronik yang dijadikan sebagai sertifikat (pengenal) yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik untuk pembuatan e-faktur.

Untuk itu, seluruh Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan untuk segera mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP dikukuhkan sebelum 1 Juli 2015 supaya dapat menerbitkan Faktur Pajak. Kelak untuk pengambilan jatah nomor faktur, juga dapat dilakukan secara online melalui website resmi Direktorat Jenderal Pajak (https://efaktur.pajak.go.id) dengan menggunakan sertifikat elektronik ini.

Persyaratan pengajuan sertifikat elektronik ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014, Surat Edaran Nomor SE-20/PJ/2014, Pengumuman Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor PENG-03/PJ.02/2014, dan Pengumuman Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor PENG-04/PJ.02/2014, mensyaratkan bahwa pengajuan permintaan sertifikat elektronik ini harus diajukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak atau Pengurus Pengusaha Kena Pajak dan tidak boleh diwakilkan kepada kuasa, karyawan atau konsultan pajak. Pengusaha Kena Pajak yang akan mengajukan permintaan sertifikat elektronik terlebih dahulu harus mengajukan permohonan kode aktivasi dan password, serta mengajukan permintaan Akun PKP.

Pengajuan Sertifikat Elektronik oleh PKP Pusat

Untuk pengajuan permintaan sertifikat elektronik ini Pengusaha Kena Pajak harus mengajukan Surat Permintaan Sertifikat Elektronik dengan format surat sesuai dengan Lampiran IH Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 dan melampirkan dengan dokumen yang akan diserahkan:
  • Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik Direktorat Jenderal Pajak dengan format surat sesuai Lampiran II Pengumuman Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor PENG-3/PJ.02/2014
  • Fotokopi SPT Tahunan PPh Badan beserta bukti penerimaan surat/tanda terima pelaporan SPT Tahunan PPh Badan
  • Fotokopi Identitas Diri Pengurus yang mengurus surat permintaan sertifikat elektronik ini (untuk WNI adalah KTP atau untuk WNA adalah Paspor/KITAS/KITAP)
  • Fotokopi Kartu Keluarga Pengurus yang mengurus surat permintaan sertifikat elektronik ini
  • Softcopy pas foto terbaru pengurus yang mengurus surat permintaan sertifikat elektronik ini yang disimpan dalam Compact Disc (CD) dan file namanya diberi nama dengan format: “NPWP PT-Nama Pengurus-Nomor Induk Kependudukan”
  • Nama Pengurus yang mengurus surat permintaan sertifikat elektronik ini tercantum dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Selain dokumen-dokumen yang sudah disebutkan di atas yang harus diserahkan, untuk proses pengajuan permintaan sertifikat elektronik ini perlu membawa dan memperlihatkan kepada petugas KPP yang melayani proses pengajuan ini, dokumen:
  • Asli SPT Tahunan PPh Badan beserta bukti penerimaan surat/tanda terima pelaporan SPT Tahunan PPh Badan
  • Asli Identitas Diri Pengurus yang mengurus surat permintaan sertifikat elektronik ini (untuk WNI adalah KTP atau untuk WNA adalah Paspor/KITAS/KITAP)
  • Asli Kartu Keluarga Pengurus yang mengurus surat permintaan sertifikat elektronik ini
  • Surat pemberitahuan Kode Aktivasi dari KPP
  • email dari KPP yang berisi Password aktivasi akun PKP

Pengajuan Sertifikat Elektronik oleh PKP Cabang Untuk pengajuan sertifikat elektronik oleh PKP cabang, maka persyaratannya adalah:
  • pengurus yang menandatangani Surat Permintaan Sertifikat Elektronik dan Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik harus menunjukkan dan menyampaikan fotokopi surat penunjukan dari pengurus pusat PKP cabang tersebut.
  • menyampaikan fotokopi SPT Tahunan PPh Badan pusatnya untuk tahun pajak terakhir yang jangka waktu penyampaiannya telah jatuh tempo pada saat pengajuan surat permintaan sertifikat elektronik disertai fotokopi bukti penerimaan surat/tanda terima pelaporan SPT
  • fotokopi surat pengangkatan pengurus cabang.
  • fotokopi akta pendirian perusahaan

Selain itu, harus menunjukkan dokumen berikut ke petugas KPP yang melayani pengajuan sertifikat elektronik yang berupa:
  • Asli surat pengangkatan pengurus cabang
  • Asli akta pendirian perusahaan

Di beberapa KPP, pengurus yang datang untuk mengajukan permintaan sertifikat elektronik ini akan diambil gambarnya (difoto) oleh petugas KPP yang melayani pengajuan ini.

Dalam prosesnya, nanti pengurus akan diminta untuk membuat atau menginputkan passphrase (semacam password) yang nantinya akan digunakan untuk melakukan instalasi kode sertifikat yang diperoleh dari KPP.

Download:
- Surat Permintaan Sertifikat Elektronik
- Surat Pernyataan Persetujuan Penggunaan Sertifikat Elektronik Direktorat Jenderal Pajak

Rabu, 07 Januari 2015

Aturan Terbaru Mengenai Syarat Seorang Kuasa dari Wajib Pajak

Wajib Pajak harus melaksanakan dan menjalankan sendiri hak dan kewajiban perpajakannya sesuai ketentuan perpajakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP). Pada ayat ini disebutkan bahwa yang mewakili Wajib Pajak yang berbentuk sebagai berikut dalam menjalankan sendiri pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan adalah dalam hal:
  1. badan oleh pengurus (dewan direksi, dewan komisaris, pemegang saham atau orang yang tercantum dalam akta pendirian/perubahaan perusahaan yang memiliki wewenang untuk bertindak mewakili badan tersebut);
  2. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
  3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
  4. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
  5. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
  6. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
Wakil dari Wajib Pajak sebagaimana diuraikan di atas memiliki tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

Walaupun dalam ketentuan tersebut mengharuskan bahwa Wajib Pajak harus menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya secara sendiri, namun pada Pasal 32 ayat (3) UU KUP memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak karena dapat menunjuk seorang kuasa dengan menggunakan surat kuasa khusus untuk membantunya dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan. Namun demikian, untuk dapat menjadi seorang kuasa, tidaklah dapat sembarang orang. Pada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menegaskan bahwa persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Selama ini Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 dan mulai berlaku sejak 6 Februari 2008. Awal diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 sempat membuat banyak pro dan kontra atas peraturan ini. Peraturan ini dianggap cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak yang akan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengkuasakan kepada seorang kuasa. Setelah berlaku selama lebih dari 6 (enam) tahun maka mulai tanggal 18 Desember 2014, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 ini dicabut dan digantikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014.

Berikut akan diulas mengenai beberapa perubahan terkait dengan ketentuan mengenai persyaratan kuasa Wajib Pajak sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 ini.

Seorang Kuasa Tidak Dapat Melaksanakan Kewajiban Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP

Dalam ketentuan baru ini, seorang kuasa (baik konsultan pajak maupun karyawan Wajib Pajak) yang ditunjuk oleh Wajib Pajak tidak berlaku untuk pelaksanaan kewajiban:
  1. mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memperoleh NPWP, dan
  2. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kedua jenis pemenuhan kewajiban perpajakan ini harus tetap dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak tanpa boleh dikuasakan ke pihak lain. (Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014).

Pada Pasal 2 ayat (3) Peraturan ini ditegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP yang dilakukan melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak atau tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dianggap telah melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sendiri.

Kuasa Yang Dapat Ditunjuk Untuk Melakukan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 mengatur mengenai pihak atau orang yang dapat ditunjuk sebagai kuasa. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008) terdapat perubahan ketentuan mengenai seorang kuasa yang bukan konsultan pajak. Dalam ketentuan baru ini, istilah seorang kuasa yang bukan konsultan pajak diubah menjadi seorang kuasa yang merupakan karyawan Wajib Pajak. Sehingga saat ini, yang dapat menjadi kuasa terdiri dari:
  1. konsultan pajak, dan
  2. karyawan Wajib Pajak
Persyaratan Bagi Seorang Kuasa Wajib Pajak

Persyaratan bagi seorang kuasa untuk dapat menjadi kuasa bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 ini bertambah 1 (satu) persyaratan jika dibandingkan dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008, yaitu persyaratan tidak pernah dipidana.

Persyaratan bagi seorang kuasa yang diatur dalam ketentuan baru ini terdiri dari:
  1. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  2. memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
  3. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  4. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
  5. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
a. Persyaratan Bagi Konsultan Pajak Yang Dapat Menjadi Kuasa Wajib Pajak

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh konsultan pajak sebagai seorang kuasa sebagaimana persyaratan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan apabila konsultan pajak ini memiliki izin praktik konsultan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk, dan harus menyerahkan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak.

Pada saat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak seorang konsultan pajak yang menjadi kuasa harus menyerahkan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang menangani Wajib Pajak yang bersangkutan, surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang dilampiri dengan dokumen:
  1. 1. fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak;
  2. surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
  3. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  4. fotokopi tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir bagi kuasa yang telah memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
b. Persyaratan Bagi Karyawan Wajib Pajak Yang Dapat Menjadi Kuasa Wajib Pajak

Karyawan Wajib Pajak yang dapat menerima kuasa dari Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan adalah sepanjang merupakan karyawan tetap dan masih aktif yang menerima penghasilan dari Wajib Pajak yang dibuktikan dengan daftar karyawan tetap yang dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dilaporkan.

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh karyawan Wajib Pajak sebagai seorang kuasa sebagaimana persyaratan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan apabila karyawan ini memiliki:
  1. sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak;
  2. ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau
  3. sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak.
Apabila kita lihat persyaratan bagi karyawan Wajib Pajak untuk menjadi kuasa Wajib Pajak dalam ketentuan baru ini, terlihat sudah agak dipermudah dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya yang banyak menimbulkan kontra di kalangan masyarakat. Saat ini seseorang yang hanya memiliki sertifikat brevet di bidang perpajakan dari lembaga pendidikan kursus brevet pajak saja sudah diakui sebagai seseorang yang menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pada saat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak seorang konsultan pajak yang menjadi kuasa harus menyerahkan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang menangani Wajib Pajak yang bersangkutan, surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang dilampiri dengan dokumen:
  1. fotokopi sertifikat brevet di bidang perpajakan, ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, atau sertifikat konsultan pajak;
  2. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. fotokopi tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir bagi kuasa yang telah memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
  4. fotokopi daftar karyawan tetap yang dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dilaporkan Wajib Pajak.
Pelimpahan Kuasa ke Orang Lain

Konsultan Pajak atau Karyawan Wajib Pajak yang menerima kuasa dari Wajib Pajak tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterimanya ini kepada orang lain. Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan, seorang kuasa hanya dapat meminta orang lain atau karyawannya untuk menyampaikan dan/atau menerima dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan surat penunjukan.

Berakhirnya Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa dari Wajib Pajak kepada seorang kuasa akan berakhir dalam hal:
  1. seorang kuasa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a atau huruf b, atau dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf c;
  2. berakhirnya pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang tercantum dalam surat kuasa khusus; atau
  3. adanya pencabutan pemberian kuasa oleh Wajib Pajak.
Pencabutan pemberian kuasa oleh Wajib Pajak harus diberitahukan secara tertulis dan disampaikan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menangani pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan yang dikuasakan. Apabila tidak ada pemberitahuan pencabutan pemberian kuasa oleh Wajib Pajak, maka surat kuasa khusus dianggap tetap berlaku sampai dengan berakhirnya pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang tercantum dalam surat kuasa khusus.

Saat Berlakunya Peraturan Ini

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 ini berlaku mulai tanggal diundangkan yaitu tanggal 18 Desember 2014. Sedangkan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 dicabut dan dinyatakkan tidak berlaku lagi.

Download Peraturan:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014
- Lampiran
(c) http://syafrianto.blogspot.com