..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Selasa, 31 Juli 2018

Pengawasan Wajib Pajak Pasca Tax Amnesty

Dalam rangka memastikan kepatuhan Wajib Pajak setelah periode Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), maka saat ini Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan yang lebih intensif terhadap Wajib Pajak baik Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak maupun Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak. Pengawasan ini dilakukan dengan dukungan data dan/atau informasi internal maupun eksternal pada sistem informasi. Sebagai pedoman dalam rangka menjalankan Pengawasan terhadap Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak, maka sebelumnya telah diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ/2017.

Untuk menyempurnakan aturan mengenai pengawasan Wajib Pajak pasca Pengampunan Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak kembali menebitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2018 tanggal 19 Juli 2018 tentang Pengawasan Wajib Pajak Pasca Periode Pengampunan Pajak.

Kebijakan Umum

Pengawasan Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak dilakukan melalui pengawasan dalam rangka Pengampunan Pajak dan pengawasan secara umum.

1. Pengawasan dalam rangka Pengampunan Pajak

Pengawasan ini dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:
  1. tidak mengikuti Pengampunan Pajak atas ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai Harta berdasarkan data eksternal dan/atau data internal yang disediakan oleh sistem informasi; dan
  2. mengikuti Pengampunan Pajak atas pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak untuk masa/tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir; dan ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai harta yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan selain ketidaksesuaian karena adanya perbedaan nilai, pelunasan uang tebusan dan Laporan Wajib Pajak terkait Pengampunan Pajak.
2. Prioritas pengawasan Wajib Pajak

Prioritas pengawasan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak dilakukan terlebih dahulu terhadap:

  1. ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai Harta, bagi Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak; dan
  2. pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak untuk masa/tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir, bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak.

Pengawasan secara umum ini dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pengawasan Wajib Pajak dalam bentuk permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan dan kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak, dengan dukungan data dan/atau informasi internal maupun eksternal pada sistem informasi.

Sabtu, 14 Juli 2018

14 Juli adalah Hari Pajak

Mungkin bagi sebagian Pembaca Setia Tax Learning, belum mengetahui hari ini tanggal 14 Juli ditetapkan sebagai Hari Pajak. Dan mungkin setelah membaca judul tulisan ini, ada di antara Pembaca Setia Tax Learning bertanya-tanya, sejak kapan tanggal 14 Juli ditetapkan sebagai Hari Pajak dan mengapa tanggal 14 Juli dapat ditetapkan sebagai Hari Pajak. Untuk menjawab mengapa tanggal 14 Juli ini ditetapkan sebagai Hari Pajak, berikut ini sekelumit kisah dan sejarahnya.

Tanggal 14 Juli baru diperingati sebagai Hari Pajak di tahun 2018 ini. Penetapan Hari Pajak ini dilandasi dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017 tentang Penetapan Hari Pajak. Keputusan ini menetapkan bahwa tanggal 14 Juli 1945 ditetapkan sebagai Hari Pajak yang diperingati di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Dalam rangka memperingati Hari Pajak ini, maka setiap tanggal 14 Juli di seluruh unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan upacara bendera. Selain itu dapat juga diselenggarakan kegiatan berupa kegiatan olah raga, kegiatan seni, kegiatan sosial, dan/atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan rasa kebanggaan terhadap tanah air Indonesia serta institusi Direktorat Jenderal Pajak, menguatkan rasa kebersamaan antar pegawai, serta memberikan nilai manfaat bagi para pemangku kepentingan.

Sejarah Hari Pajak

Dasar Direktur Jenderal Pajak menetapkan tanggal 14 Juli 1945 sebagai Hari Pajak setelah pada
bulan September 2017 Arsip Nasional RI membuka secara terbatas dokumentasi dokumen otentik BPUPKI-PPKI koleksi AK PRinggodigdo yang dirampas Belanda (Sekutu) ketika masuk Yogyakarta dan menangkap Bung Karno pada 1946. Berdasarkan penelusuran atas dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa sejarah pajak dimulai pada saat sidang BPUPKI.

Kata "Pajak" pertama kali disebut oleh Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dalam suatu sidang panitia kecil soal "KEUANGAN" dalam masa reses BPUPKI setelah pidato Soekarno yang dibacakan pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan 5 butir usulan. Dari kelima usulan Radjiman tersebut, pada butir yang keempat disebutkan bahwa: "Pemungutan pajak harus diatur hukum".

Sebagaimana kita ketahui bahwa sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diawali dengan kekalahan Jepang dalam perang Pasifik sehingga pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak setelah tercapai kemengangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Selanjutnya pada tanggal 1 Maret 1945 pemimpin pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yang dinamakan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dalam bahasa Jepang adalah Dokuritsu Junbi Cosakai.

BPUPKI melakukan sidang pembukaan pada tanggal 28 Mei 1945 dengan melantik para pejabatnya dan keesokan harinya, 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 dilakukan sidang pertama di gedung Chuo Sangi In (gedung Volksraad atau semacam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda dan saat ini dikenal sebagai Gedung Pancasila yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 Jakarta). Sidang ini dilakukan dalam rangka merumuskan bentuk dan dasar negara Indonesia

Kemudian pada masa reses antara masa sidang pertama ke sidang kedua yang dilaksanakan kembali pada tanggal 10 Juli 1945, dibentuklah panitia kecil yaitu Panitia Sembilan guna menggodok berbagai masukan dan konsep yang telah dikemukan oleh para anggota BPUPKI dalam sidang pertama. Selama masa reses antara tanggal 2 Juni sampai dengan 9 Juli 1945 ini, berhasil dikumpulkan usul-usul dari anggota BPUPKI yang meliputi:
  1. Indonesia merdeka selekas-lekasnya
  2. Dasar negara
  3. Bentuk negara uni atau federasi
  4. Daerah negara Indonesia
  5. Badan perwakilan rakyat
  6. Badan penasihat
  7. Bentuk negara dan kepala negara
  8. soal pembelaan
  9. soal keuangan.
Dalam pembahasan soal keuangan inilah salah satu usulan dari Radjiman yang menyebutkan tentang pajak.

Kemudian dalam persidangan kedua dari tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan 17 Juli 1945, salah satu agendanya yaitu Panitia Kecil pada tanggal 12 Juli 1945 melakukan sidang yang membahas 3 pokok pembahasan, yaitu:
  1. Rapat Panitia Perancang UUD
  2. Rapat Bunkakai Keuangan dan Ekonomi
  3. Rapat Bunkakai Pembelaan
Kemudian pada tanggal 14 Juli 1945 dalam sidang, dimunculkanlah kata "pajak" pada Rancangan UUD Kedua yaitu pada Bab VII HAL KEUANGAN - PASAL 23 yang pada butir kedua menyebutkan:

"Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang"

Kemudian pada tanggal 16 Juli 1945 rancangan Pasal 23 UUD ini dibahas khusus dengan merincinya sebagai sumber-sumber penerimaan utama negara dan menjadi isu utama dalam sidang.

Peran Kita Saat Ini Dalam Mengisi Kemerdekaan

Dari sejarah lahirnya pajak di Indonesia yang kita baca pada sekelumit kisah di atas, ini menandakan bahwa para Pendiri Bangsa kita dahulu telah mempersiapkan sedemikian rupa rancangan negara ini dan mereka juga telah memikirkan mekanisme pembiayaan negara ini yang berasal dari pajak. Sungguh suatu visioner yang cukup cemerlang para Pendiri Bangsa kita ini dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, saat ini kita sebagai generasi penerus dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus dapat menghargai perjuangan para Pendiri Bangsa kita yang telah merancangkan suatu bentuk negara yang sangat ideal untuk kita Bangsa Indonesia.

Dan perlu disadari bahwa kita segara generasi penerus, perlu tetap melanjutkan perjuangan para pendahulu kita tersebut dengan cara menjalankan dan melaksanakan segala yang telah dirancangkan pada saat pendirian negara kita ini. Salah satunya yaitu pengumpulan pajak. Sehingga saat ini yang paling nyata dapat kita lakukan sebagai Warga Negara Indonesia yang baik dalam melanjutkan perjuangan adalah melaksanakan tugas kita dalam membayar pajak sebagai salah satu amanat yang telah ditetapkan dalam merancang lahirnya Republik Indonesia.

Akhirnya penulis menyerukan kepada segenap Pembaca untuk dapat dengan sukarela dan patuh dalam melakukan tugas kita untuk mengisi kemerdekaan ini dengan cara membayar pajak yang benar.

Selamat Hari Pajak.

Depok, 14 Juli 2018
syafrianto.blogspot.com

Minggu, 24 Juni 2018

Mulai Juli 2018 Tarif PPh Final UMKM Turun Jadi 0,5%

Sebagaimana informasi yang sudah beredar bahwa tarif PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang bersifat final (yang selama ini diatur dengan PP Nomor 46 Tahun 2013) akan diturunkan dari tarif sebelumnya yaitu sebesar 1% menjadi 0,5%. Informasi ini menyebabkan banyak Wajib Pajak yang penasaran apakah aturannya sudah ada ataukah kapan ketentuan baru ini akan diberlakukan.

Pada hari Jumat, 22 Juni 2018, resmilah ketentuan mengenai penurunan tarif PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu ini diumumkan. Adalah Presiden Joko Widodo sendiri yang merilis ketentuan baru tentang penurunan tarif PPh bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang biasanya dikenal juga sebagai PPh bagi UMKM. Secara resmi Presiden Joko Widodo meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu di JX International (Jatim Expo), Surabaya.

PP Nomor 23 Tahun 2018 (yang ditandatangani tanggal 8 Juni 2018) sebagai aturan yang mengubah PP Nomor 46 Tahun 2013 mengenai PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu, secara garis besar mengatur beberapa hal, yaitu:

Subjek Pajak
  1. Wajib Pajak orang pribadi; dan 
  2. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma atau perseroan terbatas,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Batasan besarnya peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000 dalam 1 Tahun Pajak ini adalah merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terkahir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami isteri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau isterinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan sendiri, maka besarnya peredaran bruto yang dimaksud ini ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan isteri.

Subjek Pajak Yang Dikecualikan
  1. Wajib Pajak memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif umum/non final (yaitu sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU PPh);
  2. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 23 Tahun 2018 ini;
  3. Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas PPh berdasarkan ketentuan Pasal 31A UU PPh (mendapatkan fasilitas tax holiday) atau PP Nomor 94 Tahun 2010; dan
  4. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Wajib Pajak yang dikecualikan untuk menggunakan tarif 0,5% sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. Sehingga untuk Tahun Pajak - Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai PPh tarfi 0,5% sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini.

Jangka Waktu Penerapan Tarif Sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018

Jangka waktu tertentu pengenaan PPh yang bersifat final sesuai ketentuan PP Nomor 23 Tahun 2018 ini paling lama adalah:
  1. 7 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma; dan
  3. 3 Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
Jangka waktu ini adalah terhitung sejak:
  1. Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar sejak berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018 ini, atau
  2. Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang telah terdaftar sebelum berlakunya PP Nomor 23 Tahun 2018 ini.

Tarif PPh

Tarif PPh Final untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu adalah sebesar 0,5% dari peredaran bruto atas penghasilan dari usaha setiap bulannya yang merupakan dasar pengenaan pajak.

Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak ini adlaah merupakan imbalan atau nilai penggantian berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
Bersambung ke Artikel berikutnya.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Download:
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018

Senin, 18 Juni 2018

Telat Lapor SPT Masa PPh Masa Mei 2018 Tidak Kena Denda

Bulan Juni 2018 ini adalah merupakan bulan yang paling banyak hari Libur Nasional dan Cuti Bersama, karena bertepatan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriyah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Cuti Bersama Pegawai Negeri Sipil, Pemerintah telah menetapkan bahwa cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1439 Hijriyah, selain hari Libur Nasional terkait perayaan Hari Raya Idul Fitri 1439 H yang jatuh pada hari Jumat, 15 Juni 2018 dan Sabtu 16 Juni 2018, Pemerintah telah menetapkan hari cuti bersama bagi Pegawai Negeri Sipil sebanyak 7 (tujuh) hari kerja yaitu tanggal 11, 12, 13, 14, 18, 19 dan 20 Juni 2018.

Akibat adanya libur yang panjang ini, yang bertepatan dengan batas waktu penyampaian (pelaporan) Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh)  masa Mei 2018, menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan SPT Masa sampai dengan batas waktu jatuh tempo. Selain itu, juga ada sebagian Pengusaha Kena Pajak yang Sertifikat Elektroniknya berakhir masa berlakunya dan harus diperpanjang lagi dengan mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik namun bertepatan dengan saat libur nasional dan cuti bersama ini.

Mempertimbangkan beberapa hal ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-171/PJ/2018 tanggal 8 Juni 2018 tentang Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Selama Hari Libur Idul Fitri dan Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri Tahun 2018. Dalam Keputusan ini ditegaskan beberapa perlakuan khusus terkait dengan pemenuhan kewajiban perpajakan yang bertepatan dengan Hari Libur Idul Fitri dan Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri Tahun 2018, yaitu:
  1. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPh untuk Masa Pajak Mei 2018 setelah tanggal 21 Juni 2018 namun tidak melewati tanggal 26 Juni 2018, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian SPT (dengan Pasal 7 ayat (1) UU KUP).
  2. Terhadap SPT Masa PPh masa Mei 2018 yang disampaikan oleh Wajib Pajak setelah tanggal 21 Juni 2018 sampai dengan tanggal 26 Juni 2018 ini tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP sesuai ketentuan Pasal 14 UU KUP) oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
  3. Pengusaha Kena Pajak yang memiliki Sertifikat Elektronik dengan jangka waktu berlakunya berakhir pada tanggal 9 Juni 2018 sampai dengan 20 Juni 2018 dapat mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik yang baru paling lambat tanggal 2 Juli 2018 sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian dan pencabutan Sertifikat Elektronik. Selama jangka waktu 9 Juni 2018 sampai dengan 2 Juli 2018, Pengusaha Kena Pajak ini diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pembuatan dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak. Setelah Pengusaha Kena Pajak ini telah memiliki Sertifikat Elektronik yang baru, data Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang telah dibuat secara manual ini diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak melalui aplikasi e-Faktur untuk mendapatkan persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak.
  4. Faktur Pajak yang dibuat secara manual yang berbentuk kertas (hardcopy) tersebut di atas, yang tidak diunggah (upload) ke Direktorat Jenderal Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak melalui aplikasi e-Faktur untuk mendapatkan persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak bukan merupakan Faktur Pajak.

Minggu, 10 Juni 2018

Situs Direktorat Jenderal Pajak di-hack (Diretas)

Malam ini Penulis mendapatkan bahwa situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pajak.go.id diretas/dibajak (hacked) oleh seseorang yang mengatasnamakan "Anonymous Arabe". Ketika dibuka tampilan depan pada situs pajak.go.id ini menampilkan gambar seorang pejuang Palestina membawa bendera Palestina dengan latar belakang sebuah mobil tentara. Kemudian muncul kata-kata bahwa situs ini "HACKED BY ANONYMOUS ARABE". Dan pada bagian bawahnya tercantum alamat situs dari hacker ini serta kata-kata dalam Bahasa Inggris tentang pesan untuk perjuangan Palestina.

Lebih lanjut, Penulis mencoba menelusuri beberapa subdomain dari situs resmi DJP ini, yaitu situs untuk layanan eBilling dan eFiling yang merupakan domain terpenting bagi Wajib Pajak untuk mengakses menu pembuatan setoran pajak dan pelaporan pajak secara online masih tetap seperti sedia kala dan tidak terpengaruh aksi dari hacker ini. Ini artinya bahwa hacker yang meretas situs DJP ini hanya meretas halaman utama dari situs pajak.go.id (hanya domain pajak.go.id yang diretas)

Berdasarkan penjelasan dari Direktorat P2Humas, Direktorat Jenderal Pajak, yang Penulis dapatkan dari pesan WhatsApp, disebutkan bahwa walaupun situs resmi DJP telah dibajak pada hari ini, Minggu, 10 Juni 2018, namun semua Database, fitur dan aplikasi dalam keadaan aman. Tidak perlu dikhawatirkan, data WP dinyatakan aman, karena tidak ada data wajib pajak di situs www.pajak.go.id. Meskipun demikian, DJP saat ini sedang melakukan re-start server pada Data Center DJP, dan setelah proses selesai situs pajak akan kembali normal. DJP berkomitmen utk terus meningkatkan sistem keamanan situs maupun sistem informasi DJP.

Memang pada akhir-akhir ini penulis sudah menemukan adanya beberapa sisipan halaman pada situs pajak.go.id yang ketika Penulis akses, maka antivirus yang penulis miliki langsung mendeteksi bahwa situs pajak.go.id telah disusupi dengan sejenis malware yang tertanam pada beberapa bagian dari halaman situs ini. Penulis menduga bahwa hacker ini berhasil mengambil alih administrator atas situs pajak.go.id ini melalui beberapa aplikasi gratis (freeware) yang dimanfaatkan oleh situs ini seperti salah satunya yaitu aplikasi untuk menampilkan laporan tahunan DJP dalam bentuk ePaper.

Harapan Penulis, agar tim web developer dan tim administrator dari situs pajak.go.id ini lebih berhati-hati dalam menggunakan program dan aplikasi web yang bersifat freeware, karena aplikasi tersebut biasanya ditanamkan dengan malware yang dapat mencuri data dari situs yang bersangkutan.