..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Senin, 15 September 2014

Putusan Mahkamah Agung Menyebabkan Produk Pertanian “Menjadi” Kena PPN

Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan uji materiil atas ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). PP Nomor 31 Tahun 2007 yang diajukan permohonan uji materiil oleh KADIN ini mengatur tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Putusan Mahkamah Agung atas permohonan uji materiil ini dituangkan dalam putusan Nomor 70P/HUM/2013 dan diputus pada tanggal 25 Februari 2014.

Dalam amar Putusan MA yang berlaku secara otomatis dalam waktu 90 hari setelah putusan MA ini menyatakan bahwa Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c PP Nomor 31 Tahun 2007 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Oleh sebab itu, ketentuan ini dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku umum dan harus dicabut.

Untuk memberikan kepastian hukum dan penegasan kepada masyarakat, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2014 tanggal 25 Juli 2014. Dalam SE-24/PJ/2014 ini ditegaskan bahwa barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran serta barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenai PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN.

Sedangkan barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana yang ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN saat ini berubah menjadi dikenakan PPN.

Secara rinci dalam Lampiran dari Surat Edaran ini, ditegaskan bahwa untuk barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang merupakan Barang Kena Pajak yang dikenai PPN terdiri dari:
  1. Komoditi hasil perkebunan yang terdiri dari buah kakao, buah kopi, buah dan cangkang kelapa sawit, nira aren dan daun/batang aren, biji/kacang mete, lada (buah), pala (biji, buah, bunga, kulit ari), cengkeh (bunga, tangkai/daun), getah karet, daun teh, daun tembakau, tebu, kapas, kapuk, rami, rosella, jute, kenaf, abaca, kayu manis (kulit batang), Kina (kulit batang), panili (buah/biji) daun nilam, buah jarak pagar, daun sereh, atsiri (daun, akar, bunga, buah), kelapa (buah, kulit buah/sabut, tempurung, batang), serta tanaman perkebunan dan sejenisnya.
  2. Komoditas tanaman hias dan obat yang terdiri dari: tanaman hias, tanaman potong (daun, bunga), tanaman obat (buah, daun, biji, umbi, batang, kulit, bunga).
  3. Komoditas tanaman pangan yang terdiri dari: padi (merang, sekam, bekatul, dedak, jerami dan komposnya); jagung (tongkol, bonggol, daun, klobot, batang); kacang tanah (polong); ubi kayu (umbi, batang, daun); ubi jalar; kacang hijau, gude, dan kacang lainnya; serta talas, garut, gembili, dan umbi lainnya.
  4. Komoditas hasil hutan kayu yang terdiri dari: kayu, kayu kelapa sawit, kayu karet, batang bamboo.
  5. Komoditas hasil hutan bukan kayu yang terdiri dari rotan, gaharu, agathis (kopal), shorea (damar), biji kemiri, biji tengkawang.

Sedangkan untuk barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang bukan merupakan Barang Kena Pajak adalah hasil produk hortikultura yang terdiri dari:
  1. Buah-buahan, yaitu: pisang, jeruk, mangga, salak, nanas, belimbing, manggis, rambutan, durian, melon, semangka, pepaya, duku, bengkuang, nangka, cempedak.
  2. Sayuran, yaitu: sayuran daun, sayuran buah, sayuran umbi, sayuran jamur.

Akibatnya bagi Wajib Pajak/Pengusaha (baik orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian yang merupakan barang kena pajak ini wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut PPN, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet dampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun.

Historis Ketentuan yang Dicabut

Penulis mencoba mengkaji kaitan dan ketentuan yang dicabut dengan Putusan MA ini sebagai akibat dari adanya pengajuan uji materiil oleh pihak KADIN terhadap PP Nomor 31 Tahun 2007. Berikut adalah ketentuan-ketentuan terkait dengan Barang Kena Pajak dan bukan Barang Kena Pajak.

1. Jenis Barang Yang Bukan Objek PPN

Berdasarkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai UU PPN) menegaskan jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu barang tertentu dalam kelompok barang:
  1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
  2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
  3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan 
  4. uang, emas batangan, dan surat berharga.

Lebih lanjut dalam Penjelasan atas Pasal 4A ayat (2) huruf b merinci jenis barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, terdiri dari:
  • beras;
  • gabah;
  • jagung;
  • sagu;
  • kedelai;
  • garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  • daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  • telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  • susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  • buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  • sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa kini dalam UU PPN telah menganut prinsip negatif list, artinya bahwa selain jenis-jenis barang atau jasa yang telah tercantum dalam Pasal 4A ayat (2) dan ayat (3) UU PPN ini adalah merupakan objek PPN.

2. Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Menurut UU PPN

Pasal 16B ayat (1) UU PPN memberikan 2 (dua) jenis fasilitas kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yaitu berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan.

Jenis Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut dan PPN terutang yang dibebaskan ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dengan berpedoman pada penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang tidak dipungut, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan.

Sedangkan atas penyerahan Barang Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan dari pengenaan PPN, Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak dapat dikreditkan.

3. Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Menurut Peraturan Pemerintah

Selama ini ketentuan lebih lanjut yang mengatur tentang Barang Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 (selanjutnya disebut PP Nomor 31 Tahun 2007).

Dalam Pasal 2 PP Nomor 31 Tahun 2007 diatur bahwa: Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
  1. barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
  2. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan;
  3. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;
  4. barang hasil pertanian;
serta atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa :
  1. Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
  2. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan;
  3. barang hasil pertanian;
  4. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan;
  5. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum;
  6. listrik kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 (enam ribu enam ratus) watt sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf h; dan
  7. RUSUNAMI;
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Barang hasil pertanian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) PP Nomor 31 Tahun 2007 ini adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
  1. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
  2. peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
  3. perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,
yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran PP Nomor 31 Tahun 2007 ini.

Dalam pelaksanaannya, untuk mendapatkan pembebasan dari pengenaan PPN, khusus untuk penyerahan atau impor Barang modal yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, terlebih dahulu Pengusaha Kena Pajak wajib memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB) dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar. Sedangkan untuk impor atau penyerahan lainnya yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, Pengusaha Kena Pajak tidak perlu mendapatkan SKB. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2008.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan cap “PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007.”

Simpulan

Sebenarnya selama ini barang hasil pertanian (kecuali untuk barang yang dinyatakan bukan objek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b UU PPN yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, daging telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran) adalah merupakan Barang Kena Pajak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, maka Pemerintah memberikan fasilitas berupa PPN yang terutang dibebaskan atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yang salah satunya adalah barang hasil pertanian.

Dengan adanya putusan Mahkamah Agung ini menyebabkan saat ini fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa barang hasil pertanian yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan, penangkaran dan perikanan sudah tidak berlaku lagi. Otomatis atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak hasil pertanian ini terutang PPN dan wajib untuk dipungut PPN terutangnya.

Walau demikian, ketentuan pemberian fasilitas pembebasan pengenaan PPN atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis untuk barang modal, makanan ternak, bibit dan/atau benih, air bersih, listrik (kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 watt, dan RUSUNAMI tetap berlaku.

Apabila kita simak jenis komoditas yang dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN, maka ada 2 (dua) jenis komoditas yang mungkin dapat menimbulkan perbedaan penafsiran, yaitu padi dan jagung. Sebenarnya komoditas padi dan jagung yang dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak yang terutang PPN menurut SE-24/PJ/2014 ini adalah merang, sekam, bekatul, dedak, jerami dan komposnya yang merupakan hasil pemisahan dari padi/beras serta tongkol jagung, bonggol jagung, daun jagung, klobot dan batang jagung. Sedangkan untuk gabah atau yang sudah dipisahkan menjadi beras serta biji jagung adalah tetap merupakan bukan barang kena pajak.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan Badan untuk Tahun Pajak 2014

Untuk mengakomodasi beberapa ketentuan perpajakan yang baru serta menyesuaikan dengan kebijakan yang ada, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan bentuk Formulir SPT Tahunan PPh yang baru untuk tahun pajak 2014. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh yang baru ini ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 tanggal 3 Juli 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya.

Bentuk formulir SPT Tahunan PPh yang akan diberlakukan untuk pengisian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2014 dan seterusnya sebagaimana yang ditetapkan dalam PER-19/PJ/2014 ini adalah:
  1. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (Formulir 1770)
  2. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S)
  3. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS)
  4. Bentuk Formulir SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan Rupiah (Formulir 1771) dan US Dollar (Formulir 1771/$)

Dalam formulir baru ini, salah satu ketentuan baru yang telah diakomodasi adalah pelaporan PPh bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu yang dikenakan PPh Final sebesar 1% atas Peredaran Brutonya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 (baik dalam Formulir 1770 maupun dalam Formulir 1771 atau 1771/$).

Download Peraturan:
-PER-19/PJ/2014
-Lampiran I
-Lampiran II - Petunjuk Pengisian 1770
-Lampiran III
-Lampiran IV - Petunjuk Pengisian 1770 S
-Lampiran V
-Lampiran VI
-Lampiran VII
-Lampiran VIII - Petunjuk Pengisian 1771

Rabu, 23 Juli 2014

Ketentuan Pembuatan Faktur Pajak Elektronik (e-Faktur)

Selama ini banyak pihak yang tidak bertanggung jawab berusaha untuk melakukan penggelapan pajak melalui pemalsuan Faktur Pajak. Faktur Pajak adalah merupakan dokumen yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi pihak PKP pembeli yang PPN-nya dipungut, dapat menjadikan Faktur Pajak yang diterima dari pihak PKP Penjual ini sebagai kredit pajak untuk mengurangi jumlah PPN yang telah dipungutnya dari hasil penjualan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Berbagai modus pemalsuan Faktur Pajak dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan sistem dari pembuatan dan pengawasan penerbitan dan penggunaan Faktur Pajak oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak. Akibatnya negara dirugikan dengan jumlah yang sangat besar akibat dari penyalahgunaan dan pemalsuan Faktur Pajak ini.

Untuk mengatasi kerugian negara akibat dari pemalsuan dan penyalahgunaan Faktur Pajak ini, maka saat ini Pemerintah berusaha membuat kebijakan dan regulasi baru untuk memperkuat sistem pengawasan terhadap penerbitan dan penggunaan Faktur Pajak. Kebijakan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.011/2013, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2014, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-136/PJ/2014 mengenai penerbitan Faktur Pajak secara Elektronik yang dikenal sebagai e-Faktur.

e-Faktur telah diberlakukan sejak 1 Juli 2014 dan diujicobakan kepada 45 Pengusaha Kena Pajak yang telah ditunjuk. Kelak, mulai 1 Juli 2015, e-Faktur akan diterapkan untuk Pengusaha Kena Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di KPP yang berada di Pulau Jawa dan Bali (17 Kantor Wilayah). Selanjutnya penerbitan e-Faktur ini akan diterapkan untuk Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia mulai 1 Juli 2016.

Beberapa hal baru yang perlu diperhatikan sehubungan dengan e-Faktur adalah:
  1. e-Faktur harus dibuat oleh PKP yang telah ditunjuk atas setiap penyerahan kena pajak, kecuali atas penyerahan: Penyerahan yang dilakukan oleh pedagang eceran (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP Nomor 1 Tahun 2012); Penyerahan yang dilakukan oleh PKP Toko Retail kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sesuai Pasal 16E UU PPN; dan Penyerahan yang bukti pungutan PPN-nya berupa dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak;
  2. Syarat minimal informasi yang harus tercantum dalam Faktur Pajak masih sama dan mengacu pada ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN (terdapat 7 syarat minimal informasi yang harus tercantum dalam Faktur Pajak).
  3. Tanda tangan secara elektronik pada Faktur Pajak (berupa OCR code)
  4. e-Faktur dibuat dengan menggunakan mata uang Rupiah. Untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang menggunakan mata uang selain Rupiah, maka terlebih dahulu harus dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan e-Faktur.
  5. Atas e-Faktur yang salah dalam pengisian atau transaksi yang dibatalkan, maka PKP harus membuat e-Faktur pengganti atau e-Faktur pembatalan melalui aplikasi atau sistem elektronik yang telah disediakan Direktorat Jenderal Pajak.
  6. PKP dapat mengajukan pencetakan ulang atau permintaan data e-Faktur atas hasil cetak e-Faktur atau atas data e-Faktur yang rusak/hilang melalui aplikasi atau sistem elektronik yang telah disediakan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
  7. Bila terjadi keadaan tertentu yang menyebabkan PKP tidak dapat membuat e-Faktur, PKP diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy). Setelah keadaan tertentu ini berakhir, maka PKP harus mengunggah (upload) semua data Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) ke sistem aplikasi yang ditentukan/disediakan oleh Ditjen Pajak.
  8. e-Faktur tidak diwajibkan untuk dicetak dalam bentuk kertas (hardcopy)
  9. e-Faktur yang dibuat oleh PKP dan telah dilaporkan dengan cara mengunggah (upload) ke Ditjen Pajak akan memperoleh persetujuan dari Ditjen Pajak sepanjang Nomor Seri Faktur Pajak yang digunakan untuk penomoran e-Faktur tersebut sesuai dengan jatah nomor Seri Faktur Pajak yang telah diberikan oleh Ditjen Pajak. e-Faktur yang tidak mendapatkan persetujuan dari Ditjen Pajak bukan merupakan Faktur Pajak.
  10. Sama halnya dengan PKP yang membuat Faktur Pajak yang berbentuk kertas (hardcopy), untuk pembuatan e-Faktur, terlebih dahulu PKP harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan jatah Nomor Seri Faktur Pajak yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014.

Apabila mulai 1 Juli 2014 ini ada di antara Pembaca Setia Tax Learning yang menerima Faktur Pajak dari 45 PKP yang telah ditunjuk untuk membuat e-Faktur (sesuai KEP-136/PJ/2014), ternyata tidak ada tanda tangan pada Faktur Pajak tersebut, tidak usah khawatir bahwa Faktur Pajak tersebut cacat, karena memang e-Faktur tersebut tidak perlu ditandatangani, hanya ada barcode yang tercetak di sisi kiri bagian bawah (sebelah kolom penandatangan faktur pajak).

Berikut adalah contoh hasil cetakan e-Faktur.

(c) http://syafrianto.blogspot.com

Sabtu, 19 Juli 2014

Batas Waktu Setor dan Lapor Pajak di Juli 2014

Batas waktu pelaporan SPT Masa PPh dan PPN untuk masa Juni 2014 yang jatuh tempo pada tanggal 20 Juli 2014 dan 31 Juli 2014 kembali bertepatan dengan hari Libur. Tanggal 20 Juli 2014 yang merupakan tanggal batas waktu untuk menyampaikan SPT Masa PPh masa Juni 2014 (baik PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 4 ayat (2) dan PPh Pasal 25 bagi yang setorannya adalah nihil) bertepatan dengan hari Minggu.

Sedangkan batas waktu penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN untuk masa Juni 2014 pada tanggal 31 Juli 2014 adalah bertepatan dengan Hari Cuti Bersama Nasional. Bahkan sejak hari Senin, 28 Juli 2014 hingga 3 Agustus 2014 adalah merupakan hari Libur Nasional dan Cuti Bersama yang bertepatan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri, serta Hari Sabtu dan Minggu.

Praktis waktu untuk melaporkan SPT Masa untuk masa Juli 2014 yang harus dilakukan oleh para Wajib Pajak yang akan semakin singkat dan perlu diperhatikan lebih cermat.

Walaupun penulis sudah sering mengulas mengenai batas waktu penyetoran dan pelaporan SPT Masa apabila tanggal batas waktu penyetoran dan pelaporan jatuh pada hari libur, namun karena di bulan ini akan kita alami kembali bahwa tanggal batas waktu penyetoran dan pelaporan SPT Masa jatuh pada hari libur maka penulis akan kembali mengingatkan mengenai dasar hukum dan perlakuannya melalui artikel berikut ini.

Batas Waktu Penyetoran Pajak

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya."

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, menegaskan bahwa Hari libur nasional yang dimaksud ini adalah termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah hari libur apabila jatuh tempo pembayaran PPh atau PPN bertepatan dengan hari libur. Yang termasuk sebagai hari libur menurut ketentuan perpajakan ini adalah hari Sabtu, hari Minggu, Hari Libur yang ditetapkan secara Nasional oleh Pemerintah dan cuti bersama yang berlaku secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Batas Waktu Pelaporan SPT Masa PPh dan PPN

Ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:

Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.”

Sama halnya seperti ketentuan untuk penyetoran pajak, definisi dari hari libur nasional ini dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 yaitu termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sama halnya seperti perlakuan untuk pembayaran atau penyetoran pajak, maka pelaporan pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya setelah hari libur apabila jatuh tempo pembayaran PPh atau PPN bertepatan dengan hari libur.

Perlakuan Penyetoran dan Pelaporan SPT Masa di bulan Juli 2014 yang Bertepatan dengan Hari Libur

Berdasarkan ketentuan yang telah diuraikan di atas, dengan demikian maka batas waktu untuk melakukan penyetoran dan pelaporan pajak untuk masa pajak Juni 2014 yang harus dilakukan pada bulan Juli 2014 ini supaya tidak terlambat dan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda keterlambatan adalah sebagai berikut.

1. Pelaporan SPT Masa PPh

Untuk pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26, SPT Masa PPh Pasal 23/26, SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) dan SSP lembar ketiga PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak yang setoran PPh Pasal 25-nya Nihil, paling lambat pelaporannya adalah pada hari Senin tanggal 21 Juli 2014.

2. Penyetoran Kurang Bayar sesuai SPT Masa PPN masa Juni 2014

Untuk melakukan penyetoran atau pembayaran PPN yang kurang bayar berdasarkan perhitungan pada SPT Masa PPN masa Juni 2014 dapat dilakukan paling lambat pada hari Senin tanggal 4 Agustus 2014.

3. Pelaporan SPT Masa PPN masa Juni 2014

Untuk melakukan pelaporan SPT Masa PPN masa Juni 2014 dapat dilakukan paling lambat pada hari Senin tanggal 4 Agustus 2014.

Jadi untuk para Pembaca Setia Tax Learning, tidak perlu khawatir apabila hari Jumat kemarin masih belum sempat melaporkan SPT Masa PPh, maka besok Senin tanggal 21 Juli 2014 masih dapat melaporkan SPT Masa PPh masa Juni 2014 secara tepat waktu. Sedangkan apabila hingga hari Jumat tanggal 25 Juli 2014 nanti masih belum sempat untuk menyetorkan atau melaporkan SPT Masa PPN, maka setelah Libur Hari Raya Idul Fitri, masih dapat melakukan penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN yaitu pada tanggal 4 Agustus 2014.

Walaupun masih ada kesempatan ini, namun penulis tetap menyarankan agar SPT Masa PPN masa Juni 2014 sudah dapat dilaporkan serta kekurangan bayar PPN-nya telah disetorkan paling lambat sebelum libur Hari Raya Idul Fitri, supaya liburan dan perayaan Hari Raya Idul Fitrinya akan tenang.

Bersama ini, penulis mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1435 H untuk Pembaca Setia Tax Learning yang merayakannya. Mohon maaf lahir dan batin.

Hasil Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode Juni 2014

Badan Penyelenggara Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) telah mengumumkan hasil ujian Periode 1 tahun 2014 yang ujiannya telah dilaksanakan pada tanggal 14 dan 15 Juni 2014.

Berikut adalah hasil dari USKP tersebut untuk USKP A, USKP B, dan USKP C yang telah diumumkan dalam situs ikpi.or.id.


Bagi peserta yang pada periode ini masih belum lulus dan harus mengulang, maka kesempatan mengulang USKP ini khusus akan diselenggarakan dalam 2 periode yaitu periode September 2014 dan Oktober 2014.

Untuk Ujian periode 2 dan 3 ditahun 2014 ini, di-KHUSUSKAN HANYA MENGULANG (tidak menerima pendaftaran peserta baru)

PERIODE II (SEPTEMBER) 2014

• Tanggal Pendaftaran : 4 – 10 Agustus 2014
• Waktu Pendaftaran : 09.00 WIB – 16.00 WIB
• Tanggal Ujian : 6 – 7 September 2014
• Kota Pendaftaran dan Kota Ujian: Jakarta, Medan, dan Surabaya

PERIODE III (OKTOBER) 2014

• Tanggal Pendaftaran : 29 September - 4 Oktober 2014
• Waktu Pendaftaran : 09.00 WIB – 16.00 WIB
• Tanggal Ujian : 18 - 19 Oktober 2014
• Kota Pendaftaran dan Kota Ujian: akan diumumkan lebih lanjut.