..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Undang-Undang Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Undang-Undang Pajak. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 April 2022

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Kompilasi versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris

Sejak reformasi perpajakan tahun 1983 hingga saat ini, ketentuan perpajakan di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan. Dalam perubahan terakhir, beberapa Undang-Undang Perpajakan sebelumnya dihimpun menjadi 1 (satu) Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau yang dikenal sebagai UU HPP.

Kronologis Undang-Undang Perpajakan yang diterbitkan sejak tahun 1983 hingga saat ini dapat dilihat pada artikel berikut ini.

1. Seri Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983

Pada tahun 1983, awal disusunnya Undang-Undang Perpajakan yang membawa perubahan sistem perpajakan di Indonesia, sehingga di tahun ini sering disebut juga sebagai tahun reformasi ketentuan perpajakan di Indonesia. Pada tahun 1983 ini diterbitkan beberapa Undang-Undang Perpajakan yang terdiri dari:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah(UU PPN)

2. Seri Undang-Undang Perpajakan Tahun 1985

Pada tahun 1985 kembali diterbitkan beberapa Undang-Undang Perpajakan yang terdiri dari:

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB)
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (UU BM)

3. Perubahan Undang-Undang Tahun 1991

Pada tahun 1991, Undang-Undang PPh diamandemen melalui:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

4. Perubahan Undang-Undang Tahun 1994

Pada tahun 1994, beberapa Undang-Undang Perpajakan diamandemen yaitu dengan:

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (UU PPh)
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN)
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB)


5. Perubahan Undang-Undang Tahun 2000

Pada tahun 2000, beberapa Undang-Undang Perpajakan diamandemen yaitu dengan:

  1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh)
  3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN)

6. Perubahan Undang-Undang Tahun 2007

Pada tahun 2007, Undang-Undang KUP diamandemen melalui:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

7. Perubahan Undang-Undang Tahun 2008

Pada tahun 2008, Undang-Undang PPh diamandemen melalui:
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

8. Perubahan Undang-Undang Tahun 2009

Pada tahun 2009, Undang-Undang KUP dan Undang-Undang PPN diamandemen melalui:

  1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
  2. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah(UU PPN)

9. Perubahan Undang-Undang Tahun 2020

Pada tahun 2020, beberapa Undang-Undang Perpajakan kembali diubah/diamandemen yaitu dengan:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (UU BM)
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja (yang merupakan gabungan dari berbagai Undang-Undang yang disebut sebagai omnibus law).

10. Perubahan Undang-Undang Tahun 2021

Terakhir pada tahun 2021, Undang-Undang KUP,PPh, dan PPN diamandemen kembali melalui:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).


Berikut ini adalah Kompilasi Undang-Undang Perpajakan sejak Undang-Undang Tahun 1983 hingga yang terakhir yang disajikan dalam Susunan Dalam Satu Naskah yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak.

 

Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga membuat Kompilasi Undang-Undang Perpajakan ini dalam versi Bahasa Inggris. Kompilasi Undang-Undang Perpajakan dalam Bahasa Inggris ini adalah berikut ini.

(c) 14042022 http://syafrianto.blogspot.com

Senin, 27 Desember 2021

Aturan Pelaksanaan Untuk Program Pengungkapan Sukarela 1 Januari 2022 s.d. 30 Juni 2022

Pemerintah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) akan menggelar Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau disebut juga sebagai Voluntary Disclosure Program. Program PPS yang di masyarakat ditafsirkan sebagai "Program Tax Amnesty Jilid Ke-2" akan berlangsung mulai 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022 diatur pada Bab V Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU HPP.

Sebagai petunjuk mengenai tata cara pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela ini, maka Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 tanggal 22 Desember 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaam Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Dalam Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Nomor SP-46/2021 tanggal 27 Desember 2021 disebutkan bahwa PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. Banyak manfaat yang akan diperoleh WP, di antaranya, terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP. PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanan, kepastian hukum dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP.

Kebijakan PPS ini terbagi menjadi 2 (dua) jenis kebijakan, yang secara garis besar dapat diringkas menjadi sebagai berikut.

Ringkasan Kebijakan Program Pengungkapan Sukarela


Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan mengikuti Kebijakan II, harus memenuhi syarat:

  1. tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020;
  2. tidak sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan.

Tata Cara Pengungkapan

Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps

SPPH yang diajukan ini dilengkapi dengan:

  1. SPPH induk;
  2. Bukti pembayaran PPh Final;
  3. Daftar rincian harta bersih
  4. Daftar utang;
  5. Pernyataan repatriasi dan/atau investasi.

Tambahan kelengkapan untuk peserta kebijakan II:

  1. Pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum);
  2. Surat permohonan pencabutan Banding, Gugatan, Peninjauan Kembali.


Peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, atau perubahan tarif.

Peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai 0. Peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS dan tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya. Pembayaran PPh Final untuk Pengungkapan Secara Sukarela ini dilakukan menggunakan Kode Akun Pajak PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran untuk:

  1. Kebijakan I adalah 427;
  2. Kebijakan II adalah 428
Pembayaran PPh Final untuk PPS ini tidak dapat dilakukan dengan proses Pemindahbukuan (Pbk).

Rabu, 03 November 2021

Sah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Menggantikan UU Perpajakan Yang Berlaku Saat Ini

Mulai 1 Januari 2022 beberapa ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini akan diubah dan diatur dengan 1 (satu) Undang-Undang yang baru disetujui oleh DPR dalam Rapat Paripurna tanggal 7 Oktober 2021 yang lalu. Undang-Undang yang akan menggantikan 7 (tujuh) Undang-Undang Perpajakan dan Cukai yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (selanjutnya dikenal sebagai UU HPP) yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 29 Oktober 2021 dan diundangkan juga pada tanggal 29 Oktober 2021 pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 246 Tahun 2021, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736.

Undang-Undang HPP ini di antaranya mengubah dan/atau menyesuaikan 7 (tujuh) Undang-Undang yang selama ini berlaku, yaitu:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
  4. Undang-Undang Cukai yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007;
  5. Undang-Undang Pengampunan Pajak yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016;
  6. Undang-Undang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Negara yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
  7. Undang-Undang Cipta Kerja yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Saat Mulai Berlaku UU Nomor 7 Tahun 2021

Terdapat beberapa ketentuan mengenai saat berlakunya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021, yaitu sebagai berikut.

Saat mulai berlakunya ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 yang diatur pada Pasal 17, yaitu:

  1. Ketentuan Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2021 (yaitu ketentuan yang semula diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan/UU PPh) mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022
  2. Ketentuan Pasal 4 UU Nomor 7 Tahun 2021 (yaitu ketentuan yang semula diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah/UU PPN) mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022
  3. Ketentuan Pasal 13 UU Nomor 7 Tahun 2021 (yaitu ketentuan tentang Pajak Karbon) mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp30.00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan setara.

Saat berlakunya ketentuan mengenai Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 11 UU Nomor 7 Tahun 2021 adalah mulai tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.

Kemudian pada Pasal 15 UU Nomor 7 Tahun 2021 mengatur bahwa pada saat ketentuan ini berlaku, maka semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang berkaitan dengan pengungkapan harta bersih, dinyatakan tidak berlaku sepanjang pengungkapan dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.

Pada Pasal 19 UU Nomor 7 Tahun 2021 mengatur bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (tanggal diundangkan adalah pada tanggal 29 Oktober 2021).



Berikut ini adalah daftar isi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang filenya diunggah di sini, beserta halaman dari masing-masing bagian tersebut.

Menimbang, Mengingat, Menetapkan, halaman 1 -3

Bab I – Isi Pasal 1, Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup, halaman 4 – 5
Umum. Bab I – Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup. Penjelasan halaman 105 - 107

Bab II – KUP. Isi Pasal 2, halaman 5 – 34
Bab II – KUP. Penjelasan halaman 108 – 142

Bab III – PPh. Isi Pasal 3, halaman 35 – 64
Bab III – PPh. Penjelasan halaman 142 – 186

Bab IV – PPN. Isi Pasal 4, halaman 65 – 80
Bab IV – PPN. Penjelasan halaman 186 – 206

Bab V – Program Pengungkapan Sukarela (PPS) WP. Isi Pasal 5 – 12, halaman 80 – 94
Bab V – Program Pengungkapan Sukarela (PPS) WP. Penjelasan halaman 206 – 214

Bab VI – Pajak Karbon. Isi Pasal 13, halaman 95 – 97
Bab VI – Pajak Karbon. Penjelasan halaman 214 – 218

Bab VII – Cukai. Isi Pasal 14, halaman 97 – 100
Bab VII – Cukai. Penjelasan halaman 218 – 223

Bab VIII – Ketentuan Peralihan. Isi Pasal 15, halaman 100
Bab VIII – Ketentuan Peralihan. Penjelasan halaman 223

Bab IX – Ketentuan Penutup. Isi Pasal 16 – 19, halaman 101 – 104
Bab IX – Ketentuan Penutup. Penjelasan halaman 224

Download:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021

Jumat, 08 Oktober 2021

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Telah Disahkan DPR

Dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ke-7 masa persidangan I tahun sidang 2021-2022 yang digelar pada tanggal 7 Oktober 2021, DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang HPP yang akan berlaku mulai 1 Januari 2022 dan 1 April 2022 ini dimaksudkan sebagai kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis dilakukan melalui pengaturan atas Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon dan Cukai.

Undang-Undang HPP ini di antaranya mengubah dan/atau menyesuaikan 7 (tujuh) Undang-Undang yang selama ini berlaku, yaitu:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
  4. Undang-Undang Cukai yang saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007;
  5. Undang-Undang Pengampunan Pajak yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016;
  6. Undang-Undang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Negara yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
  7. Undang-Undang Cipta Kerja

serta menambahkan ketentuan mengenai pajak karbon yang merupakan ketentuan pajak baru.

Berikut ini penulis bagikan link untuk men-download Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disetujui oleh DPR pada tanggal 7 Oktober 2021. Agar draft Rancangan Undang-Undang ini hanya dijadikan sebagai bahan untuk mempelajarinya saja, dan sebaiknya Pembaca Setia Tax Learning tetap menunggu Undang-Undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dan telah diundangkan dalam Lembaran Negara.

Download:
Draft Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Kamis, 30 September 2021

Siap-siap! Tax Amnesty Jilid 2 Akan Dimulai tanggal 1 Januari 2022

Pada hari ini 30 September 2021 dalam Pembahasan Tingkat I, DPR dan Pemerintah telah menyepakati pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) akan diajukan dalam Sidang Paripurna DPR untuk disetujui. Dalam pembahasan RUU KUP ini yang saat ini disepakati berubah menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie sekaligus Pimpinan Panja RUU HPP mengungkapkan bahwa pembahasan RUU HPP sudah selesai dibahas pada tingkat I dan RUU tersebut sudah diparaf oleh pimpinan komisi, kapoksi, dan wakil pemerintah.

Salah satu ketentuan yang diatur dalam RUU HPP yang telah disepakati dalam Pembahasan Tingkat I dan menjadi perhatian utama dari sebagian besar masyarakat adalah ketentuann mengenai Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Jilid ke-2. Berdasarkan informasi yang telah beredar, disebutkan bahwa ketentuan mengenai "Tax Amnesty Jilid Ke-2" ini diatur pada Bab V mengenai Program Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.

Tax Amnesty yang diatur dalam RUU HPP pada dasarnya masih serupa dengan ketentuan Pengampunan Pajak yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2016. Namun dalam RUU HPP, istilah Pengampunan Pajak ini sudah diubah namanya menjadi "Pengungkapan Harta Bersih". Secara garis besar "Pengungkapan Harta Bersih" terbagi menjadi 2 skema, yaitu:

  1. skema Pengungkapan Harta Bersih untuk Harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015; dan
  2. skema  Pengungkapan Harta Bersih untuk Harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember 2020.

Program Pengungkapan Harta Bersih ini akan dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.

Sama halnya seperti Program Pengampunan Pajak (Juli 2016 s.d. Maret 2017), dalam Program Pengungkapan Harta Bersih yang diatur dalam RUU HPP ini juga ada ketentuan mengenai syarat untuk mengalihkan Harta Bersih yang diungkapkan yang berada di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta syarat untuk menginvestasikan harta bersih pada jenis-jenis investasi di dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Batas waktu untuk mengalihkan Harta Bersih yang berada di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditentukan paling lambat tanggal 30 September 2022.

Sedangkan batas waktu untuk menginvestasikan Harta Bersih ini ke jenis-jenis investasi yang telah ditentukan ditentukan paling lambat tanggal 30 September 2023.

Mari kita nantikan pengesahan RUU HPP ini dalam Sidang Paripurna DPR mendatang sehingga dapat diundangkan menjadi Undang-Undang.

Senin, 05 Oktober 2020

DPR Telah Mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (yang disebut juga sebagai Omnibus Law) dalam Rapat Paripurna sore ini 5 Oktober 2020. Wakil Ketua DPR Azis Syamsudin mengetuk palu tanda pengesahan setelah mendapatkan persetujuan dari seluruh peserta rapat.

Berdasarkan pemaparan dari Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas dalam rapat Paripurnna tersebut, diketahui bahwa RUU Cipta Kerja ini telah dibahas sejak tanggal 20 April 2020 hingga 3 Oktober 2020 melalui 64 kali rapat yang dilakukan oleh Baleg bersama Pemerintah dan DPD (yang terdiri dari 56 kali rapat panja, 6 kali rapat tim perumus/tim sinkronisasi, 2 kali rapat kerja).

Dalam Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020 ini, 9 Fraksi di DPR menyampaikan pandangan mereka terhadap RUU Cipta Kerja ini, dimana 7 Fraksi menyetujui RUU ini serta 2 Fraksi menolak RUU ini yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat.

Sedangkan yang mewakili Pemerintah dalam Rapat Paripurna ini yaitu Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto yang dalam kesempatan pemarapan menyebutkan bahwa RUU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja dan akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan Pemerintah. Menurut Airlangga: "Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja. UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi".

RUU Cipta Kerja ini terdiri dari 15 Bab dan 186 pasal dan terdapat pula ketentuan yang mengatur mengenai perpajakan.

Ketentuan Perpajakan dalam UU Cipta Kerja

Kluster Perpajakan dalam UU Cipta Kerja ini diatur dalam Bab VI Kemudahan Berusaha, Bagian Ketujuh mulai Pasal 111, Pasal 112 dan Pasal 113 untuk jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.

Pasal 111 mengatur ketentuan mengenai Pajak Penghasilan yang mengubah beberapa pasal yang telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Pasal-pasal UU PPh yang diubah dan diatur dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja ini adalah:

  1. Pasal 2,
  2. Pasal 4, dan
  3. Pasal 26

Pasal 112 mengatur ketentuan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan mengubah beberapa pasal yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN). Pasal-pasal UU PPN yang diubah dan diatur dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja ini adalah:

  1. Pasal 1A,
  2. Pasal 4A,
  3. Pasal 9, dan
  4. Pasal 13

Pasal 113 mengatur ketentuan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan mengubah beberapa pasal yang telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP). Pasal-pasal UU KUP yang diubah dan diatur dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja ini adalah:

  1. Pasal 8,
  2. Pasal 9,
  3. Pasal 11
  4. Pasal 13,
  5. Pasal 13A (dihapus),
  6. Pasal 14,
  7. Pasal 15,
  8. Pasal 17B,
  9. Pasal 19,
  10. Pasal 27A (dihapus),
  11. Pasal 27B (menambahkan pasal baru),
  12. Pasal 38, dan
  13. Pasal 44B

 

Ketentuan Pajak Daerah dalam UU Cipta Kerja

Pada bagian kluster perpajakan dalam UU Cipta Kerja ini juga mengubah beerapa ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 (UU PDRD) yang diatur dalam Pasal 114. Pasal-pasal dalam UU PDRD yang diubah dan dicantumkan di Pasal 114 UU Cipta Kerja ini adalah:

  1. Pasal 141,
  2. Pasal 144 (dihapus),
  3. Pasal 156A (menambahkan pasal baru),
  4. Pasal 156B (menambahkan pasal baru),
  5. Pasal 157 ayat (5a) (menambahkan ayat baru),
  6. Pasal 158,
  7. Pasal 159, dan
  8. Pasal 159A (menambahkan pasal baru)

(c) syafrianto.blogspot.com


Download:

Naskah Akademik RUU Cipta Kerja

Draft RUU Cipta Kerja (yang disetujui di Rapat Paripurna DPR dan kirim ke Presiden) 

Rabu, 30 September 2020

Download Draft dan Ringkasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai 2020 (Bagian 2)

<< Baca Bagian Sebelumnya

Pihak Yang Terutang Bea Meterai

Pihak Yang Terutang Bea Meterai adalah:

  1. Dokumen yang dibuat sepihak, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima Dokumen.
  2. Dokumen yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing-masing pihak atas Dokumen yang diterimanya.
  3. Dikecualikan dari nomor 1 dan 2, Dokumen berupa surat berharga, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga.
  4. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, Bea Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan Dokumen.
  5. Dokumen yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas Dokumen.

Ketentuan mengenai pihak yang terutang Bea Meterai ini tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau menentukan mengenai pihak yang membayar Bea Meterai.

Pemungut Bea Meterai

Pemungut Bea Meterai yanng terutang atas Dokumen dapat dilakukan oleh pemungut Bea Meterai. Ketentuan mengenai penetapan pemungut Bea Meterai ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Pemungut Bea Meterai wajib:

  1. memungut Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tertentu dari Pihak Yang Terutang;
  2. menyetorkan Bea Meterai ke kas negara; dan
  3. melaporkan pemungutan dan penyetoran Bea Meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.

Pemungut Bea Meterai yang tidak melaksanakan kewajiban pemungutan ini, diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam surat ketetapan pajak tersebut sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor, ditambah sanksi administrasi sebesar 100% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor.

Pemungut Bea Meterai yang terlambat menyetorkan Bea Meterai dan/atay tidak atau terlambat melaporkan pemunguta dan penyetoran Bea Meterai, diterbitkan surat tagihan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Ketentuan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Bea Meterai ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Pembayaran Bea Meterai

Pembayaran Bea Meterai yang terutang pada Dokumen dilakukan dengan menggunakan Meterai atau surat setoran pajak. Meterai yang dimaksud di sini adalah berupa: Meterai tempel; Meterai elektronik; atau Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan merupakan Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya. Untuk membuat Meterai dalam bentuk lain, maka setiap orang wajib memperoleh izin untuk membuatnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Bea Meterai yang terutang ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sedangkan untuk pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pemeteraian Kemudian

Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:

  1. Dokumen yang bersifat perdata yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar; dan/atau
  2. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan

Pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian merupakan Pihak Yang Terutang Bea Meterai sebagaimana yang sudah diuraikan pada paragraf pertama di atas.

Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian untuk Dokumen yang bersifat perdata yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar adalah sebesar jumlah Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administratif sebesar 100% dari jumlah Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan adalah sebesar jumlah Bea Meterai yang terutang atas Dokumen tersebut.

Larangan Bagi Pejabat Yang Berwenang

Pejabat yang berwenang dalam menjalankan tugas atau jabatannya, dilarang:

  1. menerima, mempertimbangkan, atau menyimpan Dokumen yang terutang Bea Meterai yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;
  2. melekatkan Dokumen yang terutang Bea Meterai yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar pada Dokumen lain yang berkaitan;
  3. membuat salinan, tembusan, rangkap, atau petikan dari Dokumen yang terutang Bea Meterai yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar; dan/atau
  4. memberikan keterangan atau catatan pada Dokumen yang terutang Bea Meterai yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar.

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut di atas bagi Pejabat akan dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Fasilitas Pembebasan Dari Pengenaan Bea Meterai

Bea Meterai yang terutang dapat diberikan fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai, baik untuk sementara waktu maupun untuk selamanya, untuk:

  1. Dokumen yang terutang Bea Meterai yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka percepatan proses penanganan dan pemulihan kondisi sosial ekonomi suatu daerah akibat bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam;
  2. Dokumen yang terutang Bea Meterai yang menyatakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial yang tidak bersifat komersial;
  3. Dokumen yang terutang Bea Meterai dalam rangka mendorong atau melaksanakan program pemerintah dan/atau kebijakann lembaga yang berwenang di bidang moneter atau jasa keuangan; dan/atau
  4. Dokumen yang terutang Bea Meterai yang terkait pelaksanaan perjanjian internasional yang telah mengikat berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang perjanjian internasional atau berdasarkan asas timbal balik.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberiann fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai ini diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Kedaluwarsa

Bea Meterai yang terutang menjadi kedaluwarsa setelah jangka waktu 5 tahun sejak saat terutang.

Ketentuan Pidana

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000, bagi setiap orang yang:

  1. meniru atau memalsukan Meterai yang dikeluarkann oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakai Meterai tersebut sebagai Meterai asli, tidak dipalsu, atau sah; atau
  2. dengan maksud yang sama dengan nomor 1 di atas, membuat Meterai dengan menggunakan cap asli secara melawan hukum, termasuk membuat Meterai elektronik dan Meterai dalam bentuk lain secara melawan hukum.

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000, bagi setiap orang yang memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia:

  1. Meterai dipalsu atau dibuat secara melawan hukum seolah-olah asli, tidak dipalsu, dan dibuat secara tidak melawan hukum; atau
  2. barang yang dibubuhi Meterai sebagaimana dimaksud pada nomor 1, seolah-olah barang tersebut asli, tidak dipalsu dan dibuat secara tidak melawan hukum.

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000, bagi setiap orang yang:

  1. menghilangkan tanda yang gunanya untuk menunjukkan suatu Meterai tidak dapat dipakai lagi pada Meterai Pemerintah Republik Indonesia yang telah dipakai dengan maksud untuk memakai atau meminta orang lain memakainya seolah-olah Meterai tersebut belum dipakai;
  2.  dengan maksud yang sama sebagaimana dimaksud pada angka 1, menghilangkan tanda tangan, ciri, atau tanda saat dipakainya Meterai Pemerintah Republik Indonesia yang telah dipakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dibubuhkan di atas atau pada Meterai tersebut; atau
  3. memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Meterai yang tandanya, tanda tangannya, ciri atau tanggal dipakainya dihilangkan, seolah-olah Meterai tersebut belum dipakai.

Ketentuan Peralihan

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar yang dibuat sebelum Undang-Undang ini berlaku, Bea Meterainya tetap terutang dan dibayar berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
  2. Meterai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan peraturan pelaksanaannya yang masih tersisa, masih dapat digunakan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini mulai berlaku dan tidak dapat ditukarkan dengan uang atau dalam bentuk apa pun.
  3. Meterai tempel yang digunakan untuk melakukan pembayaran Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf b, dapat digunakan dengan nilai total Meterai tempel yang dibubuhkan pada Dokumen paling sedikit Rp9.000,00 (sembilan ribu rupiah).

Masa Berlaku Undang-Undang Bea Meterai

Undang-Undang Bea Meterai ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.


Download:

Naskah Akademik RUU Bea Meterai

RUU Bea Meterai

 

Download Draft dan Ringkasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai 2020 (Bagian 1)

Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai pengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 telah disetujui oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang pada tanggal 29 September 2020. Mulai 1 Januari 2021, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Metearai akan digantikan dengan Undang-Undang yang baru disahkan ini.

Undang-Undang Bea Meterai yang baru disahkan ini terdiri dari 12 Bab dan 32 Pasal, antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:

Asas dan Tujuan Pengaturan Bea Meterai

Ketentuan dan pengaturan Bea Meterai dilaksanakan berdasarkan asas:

  1. kesederhanaan;
  2. efisiensi;
  3. keadilan;
  4. kepastian hukum; dan
  5. kemanfaatan

Sedangkan tujuan dari diaturnya ketentuan mengenai bea meterai adalah untuk:

  1. mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera;
  2. memberikan kepastian hukum dalam pemungutan Bea Meterai;
  3. menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat;
  4. menerapkan pengenaan Bea Meterai secara lebih adil; dan
  5. menyelaraskan ketentuan Bea Meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Objek Bea Meterai

Bea Meterai dikenakan atas:

  1. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dan
  2. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Untuk jenis-jenis dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata, meliputi:

  1. surat perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
  2. akta notaris beserta grosse salinan dan kutipannya;
  3. akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
  4. surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
  6. Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
  7. Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah), yang menyebutkan penerimaan uang atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; dan
  8. Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bea Meterai dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen sebagaimana disebutkan di atas.

Tarif Bea Meterai

Tarif Bea Meterai ditetapkan dengan tarif tetap sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).

Besarnya batas nilai nominal pada dokumen yang menjadi objek Bea Meterai serta tarif Bea Meterai ini dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR.

Dokumen yang Tidak Dikenai Bea Meterai

Jenis dokumen yang tidak dikenai Bea Meterai adalah dokumen yang berupa:

  1. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang, seperti: surat penyimpanan barang; konosemen; surat angkutan penumpang dan barang; bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat-surat jenis ini.
  2. segala bentuk ijazah;
  3. tanda terima pembayarann gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
  4. tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  6. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
  7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan pennyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
  8. surat gadai;
  9. tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dann dalam bentuk apa pun; dan
  10. Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonnesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.


Saat Terutang Bea Meterai

Bea Meterai terutang pada saat:

  1. Dokumen dibubuhi tanda tangan, untuk: surat perjanjian beserta rangkapnya; akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya; akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
  2. Dokumen selesai dibuat, untuk: surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
  3. Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen tersebut dibuat, untuk: surat keterangan/pernyataan atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya; Dokumen lelang; dan surat yang menyatakan jumlah uang.
  4. Dokumen diajukan ke pengadilan, untuk Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
  5. Dokumen digunakan di Indonesia yang dibuat di luar negeri.

Menteri Keuangan dapat menentukan saat lain terutangnya Bea Meterai. Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan saat lain terutangnya Bea Meterai ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang Bea Meterai - Tarif Naik Jadi Rp 10.000

Kemarin, 29 September 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Bea Meterai menjadi Undang-Undang. Dalam Rapat Paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, sebanyak 8 Fraksi yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP menyetujui RUU bea meterai untuk disahkan menjada UU. Hanya 1 Fraksi, yaitu Fraksi PKS yang menyatakan tidak setuju dengan alasan bahwa kenaikan bea meterai berpotensi semakin melemahkan daya beli masyarakat dan menjadi beban baru bagi perekonomian. Fraksi PKS berpendapat bahwa perluasan dokumen dan tarif tunggal Rp10.000 serta batasan nilai dokumen hanya di atas Rp5 juta menjadi tidak senafas dengan penurunan PPh Badan melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang sudah disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

Dalam laporan yang dibacakan oleh Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto, menyebutkan bahwa RUU Bea Meterai terdiri atas 12 bab dan 32 pasal. RUU Bea Meterai yang resmi disahkan itu akan menggantikan UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

Undang-Undang Bea Meterai yang akan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2021 ini mengatur antara lain:

  1. Besaran bea meterai ditentukan menjadi satu tarif. tarif Bea Meterai yang awalnya Rp6.000 dan Rp3.000 ditetapkan diubah menjadi tarif tunggal sebesar Rp10.000.
  2. Batasan jumlah nominal uang untuk dokumen yang menyatakan jumlah uang, yang dikenakan bea materai naik menjadi nominal di atas Rp5 juta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 RUU ini.
  3. Dokumen yang dikenakan bea meterai adalah untuk dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata; dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan; untuk dokumen perdata meliputi surat perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya, akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya; akta pejabat pembuat akta tanah beserta salinan dan kutipannya, surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang; serta dokumen lain yang ditetapkan pemerintah.

 



Rabu, 24 Februari 2010

Materi Seminar Online UU PPN 2009

Guna memberikan pencerahan kepada para Pembaca Setia Tax Learning serta memberikan kemudahan dalam mempelajari UU PPN yang baru (UU Nomor 42 Tahun 2009), dan sebagai salah satu misi dari blog Tax Learning ini yaitu Belajar Pajak Online, maka penulis buatkan slide mengenai perubahan-perubahan UU PPN (slide ini diperoleh dari DJP dan diedit lagi oleh penulis) dan telah diposting di Forum Tax Learning yang berada di Facebook. Para Pembaca Setia Tax Learning dapat mengakses metode "seminar online" melalui link berikut ini.

Sedangkan untuk Pembaca yang menginginkan file di Facebook tersebut dapat disimpan di komputer masing-masing, maka berikut penulis sajikan file tersebut dan dapat di-download di sini.

Senin, 16 November 2009

Program Persandingan UU PPN Baru dan Lama

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang membutuhkan program Persandingan UU PPN yang terbaru (UU Nomor 42 Tahun 2009) dengan UU PPN sebelumnya (UU Nomor 18 Tahun 2000) serta arsip UU PPN sebelumnya (UU Nomor 8 Tahun 1983 dan UU Nomor 11 Tahun 1994) dapat men-download program tersebut pada link berikut ini. (link ini sudah di-update, jika program masih belum dapat dijalankan, segera hubungi penulis).

Program ini merupakan sumbangan dari rekan Penulis yaitu Saudara Agus I. dan disusun oleh Bidang P2Humas di Kanwil DJP Jakarta Pusat (Heri Suherlan).

Catatan: Penulis sudah meng-update link database penyimpanan di Google Drive supaya dapat lebih mudah untuk diakses.

Kamis, 29 Oktober 2009

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM

Undang-Undang PPN yang telah disahkan oleh DPR tanggal 16 September 2009 lalu, telah ditandatangani Presiden Republik Indonesia dan telah diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tanggal 15 Oktober 2009 dan telah dicantumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150 Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 5069.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM ini secara resmi akan diberlakukan sejak 1 April 2010.


Download:
- Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

- Undang-Undang Lama: UU Nomor 18 Tahun 2000

Artikel Terkait:
- Undang-Undang PPN telah Disahkan DPR
- Aturan Pelaksana dari UU Nomor 42 Tahun 2009

Jumat, 09 Oktober 2009

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Agustus 2009 saat ini telah dicatatkan dalam Lembaran Negara dan telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditandatangani tanggal 15 September 2009.



Selasa, 21 April 2009

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Jumat, 10 Oktober 2008

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh

Undang-Undang (UU) PPh akhirnya telah diundangkan dengan telah didaftarkannya dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 4893.
Undang-Undang yang diberi nomor 36 Tahun 2008 ini telah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 23 September 2008 dan mulai akan diberlakukan sejak 1 Januari 2009.
Berikut ini disajikan UU Nomor 36 Tahun 2008 tersebut yang dapat di-download pada link di bawah ini:
  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan - Batang Tubuh
  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan - Penjelasan
(c) syafrianto 10102008