..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Tax News. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tax News. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Januari 2024

Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2023 Lampaui Target APBN

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun 2023 mencapai Rp 1.869,2 triliun. Realisasi ini telah melampaui target yang ditetapkan dalam APBN maupun Perpres 75 Tahun 2023 sebesar 108,8% dari APBN 2023 dan 102,8% dari Perpres 75 Tahun 2023. Dari sisi tax rasionya hasil perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDb) tahun 2023 adalah 10,21%. Informasi ini disampaikan oleh Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Selasa (2 Januari 2024).

Adapun penerimaan pajak tahun 2023 ini tumbuh 8,9% dari tahun 2022 yang realisasinya sebesar Rp 1.716,8 triliun. Penerimaan pajak yang meningkat ini didukung oleh kinerja ekonomi domestik yang stabil serta keberhasilan aktivitas pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
Rincian penerimaan pajak tahun 2023 ini diperoleh dari:
  1. Pajak Penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas) sebesar Rp 68,8 triliun. Realisasinya tidak mencapai target dan hanya sebesar 96,0% dari target. PPh migas mengalami kontraksi sebesar 11,6% akibat penurunan harga komoditas.
  2. PPh non migas realisasinya mencapai Rp 993 triliun. Realisasi ini mencapai 101,5% dari target, dan tumbuh 7,9% dari periode sama tahun 2022.
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) realisasinya mencapai Rp 764,3 triliun atau 104,6% dari target. Realisasi ini juga tumbuh 11,2% dari periode sama tahun 2022
  4. Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak lainnya mencapai Rp 43,1 triliun atau sebesar 114,4% dari target. Realisasi ini juga tumbuh 39% dari periode sama tahun 2022.
Walaupun demikian, Sri Mulyani mengakui bahwa pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2023 mengalami perlambatan dibandingkan dengan tahun 2022. Hal ini disebabkan karena penurunan signifikan harga komoditas, penurunan impor dan tidak terulangnya kebijakan tax amnesty

Jumat, 24 November 2023

Tarif Efektif Rata-rata PPh Pasal 21 Akan Berlaku 1 Januari 2024

Direktorat Jenderal Pajak berencana akan melakukan simplifikasi (penyederhanaan) perhitungan PPh Pasal 21 bagi Orang Pribadi Pegawai dan Bukan Pegawai dengan menggunakan formula perhitungan tarif efektif rata-rata (TER). Rencananya penyederhanaan ini akan mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 2024. Dasar hukum penyederhanaan penghitungan PPh Pasal 21 ini akan diatur melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Berdasarkan konferensi pers secara daring yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, pada hari ini Jumat, 24 November 2023 menjelaskan bahwa sampai saat ini proses penyusunan atau dasar hukum untuk tetapkan tarif efektif rata-rata yaitu PP dalam proses dan insya Allah beberapa saat ke depan akan ditandatangani dan diterbitkan. "Dan aturan pelaksanaannya, PMK sudah kami siapkan dan insya Allah mulai masa Januari 2024 sekiranya semua bisa terlaksana dengan baik, tertandatangani dan terpublikasikan, mulai dapat kami jalankan dengan baik," kata Suryo Utomo.

Rencana penerapan tarif efektif rata-rata dalam menghitung PPh Pasal 21 ini dilatarbelakangi oleh kondisi saat ini dimana pemotong PPh Pasal 21 kerepotan dalam menghitung PPh Pasal 21 baik untuk pegawai maupun bukan pegawai, karena terdapat sekitar 400 skenario penghitungan pemotongan PPh Pasal 21. Sehingga sesuai dengan Reformasi Perpajakan yang terus dijalankan oleh Pemerintah, seiring dengan implementasi sistem perpajakan terintegrasi di Direktorat Jenderal Pajak, Coretax System, maka Pemerintah akan melakukan simplifikasi dalam penghitungan PPh Pasal 21.

Simplifikasi dalam penghitungan PPh Pasal 21 ini bertujuan untuk memberikan kemudahan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak terutama dalam menghitung PPh Pasal 21, yaitu dengan cara menerapkan Tarif Efektif Pemotongan PPh Pasal 21. Pengaturan ini akan dituankan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Untuk diketahui bahwa selama ini peraturan mengenai tata cara penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 diatur untuk:

A. Umum; yang diatur dalam:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21 Umum dan teknis tata cara penghitungannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Biaya Jabatan dan Biaya Pensiun.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.03/2016 tentang penetapan bagian penghasilan pegawai harian dan mingguan serta pegawai tidak tetap lainnya yang tidak dikenakan pemotongan PPh.

B. PNS (ASN)/TNI/Polri/Pejabat Negara; yang diatur dalam:

  1. PP Nomor 80 Tahun 2010 tentang tarif pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan dari APBN/APBD.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan PPh Pasal 21 PNS/TNI/Polri/Pejabat Negara.

Rencana Pengaturan Tarif Efektif PPh Pasal 21

Kelak simplifiasi penghitungan PPh Pasal 21 ini akan diatur melalui jenis peraturan:

  1. Peraturan Pemerintah, yang akan mengatur TER. TER akan berlaku untuk Pegawai kriteria Umum dan PNS/TNI/Polri/Pejabat Negara.
  2. Peraturan Menteri Keuangan, yang akan mengubah dan mengatur ulang tata cara penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana yang selama diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.03/2016.
  3. Pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 serta penyempurnaan administrasi pemotongan PPh Pasal 21 akan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Rencananya Tarif Efektif Rata-rata (TER) ini akan dibuat nilai persentase tarif efektif PPh untuk setiap lapisan tarif (tabel). TER ini akan terbagi menjadi:
  1. TER untuk Pegawai Tetap yang terbagi dalam 3 Tabel Tarif Bulanan berdasarkan PTKP yang terdiri dari sekitar 40 lapisan tarif/tabel. 
  2. TER untuk Bukan Pegawai yang terbagi dalam 1 Tabel Tarif yang terdiri dari 35 lapisan tarif.
  3. TER untuk Pegawai Harian yang terbagi dalam 2 kelompok tarif berdasarkan jumlah penghasilan bruto yaitu untuk kelompok penghasilan bruto yang kurang dari Rp 450.000 (dengan tarif harian 0%) dan kelompok penghasilan bruto lebih dari Rp 450.000 sampai dengan Rp 2.500.000 (dengan tarif 0,5%).
Rencananya mekanisme penghitungan PPh Pasal 21 kelak akan terbagi menjadi 2 jenis perhitungan yaitu:
  1. Untuk masa pajak Januari s.d. November yaitu mengalikan TER dengan Penghasilan Bruto setiap bulannya; dan
  2. Untuk masa pajak terakhir (Desember) yaitu dengan mengalikan tarif Pasal 17 UU PPh dengan jumlah penghasilan bruto dikurangi Biaya Jabatan/Pensiun, Iuran Pensiun dan PTKP.
(c) syafrianto.blogspot.com

Jumat, 21 April 2023

Waspada Ada Situs Phising Yang Tampilannya Sama Persis Dengan DJP Online Milik DJP

Hari ini penulis mendapatkan sebuah email dari Pembaca Setia Tax Learning, dimana Pembaca ini meneruskan email yang diterimanya dari email tidak dikenal yang menamakan diri sebagai Pajak_Indonesia yang menggunakan situs yang terdaftar di Spanyol *.es (dot es).

Gambar - Phising email

Email ini berisi pemberitahuan bahwa penerima email ini menerima pengembalian pajak dengan jumlah tertentu dan untuk menyelesaikan permintaan pengembalian tersebut, penerima email diminta untuk tombol "klaim sekarang" dan akan diarahkan ke situs yang tampilannya serupa dengan tampilan situs djponline milik Direktorat Jenderal Pajak dengan tampilan sebagai berikut:


 


Gambar - Situs DJP Online Scam

Hati-Hati Situs DJP Online Scam

Sekilas situs yang diarahkan oleh email tersebut di atas, tampak bahwa tampilan situs ini sama dengan tampilan dari situs resmi DJP Online. Namun jika kita cermati dengan seksama, maka tampak ada beberapa perbedaan pada situs DJP Online Scam ini.

Perbedaan pertama adalah terletak pada alamat url dimana Situs DJP Online Scam ini alamat url-nya berekstensi *.com (dot com). Walaupun alamat situsnya dibuat mirip yaitu djponline-pajak-go-id, namun ternyata ekstensi akhirnya adalah dot com. Jika situs DJP Online resmi tanda pemisah dari setiap suku kata url tersebut adalah titik (dot) sedangkan situs scam ini adalah dipisahkan dengan tanda - (tanda minus atau en dash).

Perbedaan kedua adalah kolom capcha (kode keamanan yang terletak di bawah field Kata Sandi), dimana kode capcha pada situs DJP Online Scam ini tidak dapat berubah setiap di-refresh. Kode capcha-nya selalu sama.

Perbedaan ketiga adalah pada situs DJP Online Scam, tidak muncul pop-up menu yang berisi pengumuman mengenai pemadanan NIK-NPWP.

Jadi apabila ada Wajib Pajak yang mencoba login dengan mengetikkan NPWP dan password (kata sandi) pada situs DJP Online Scam ini, maka dipastikan bahwa NPWP dan passwordnya akan dicuri oleh situs DJP Online Scam ini, sehingga oleh hacker pembuat situs scam ini dapat mengakses akun DJP Online Wajib Pajak yang bersangkutan dengan menggunakan NPWP dan password yang telah dicurinya ini.

Disarankan agar para Wajib Pajak dan Pembaca Setia Tax Learning untuk lebih berhati-hati dengan metode phising semacam ini, apalagi pada masa libur panjang memperingati Hari Raya Idul Fitri seperti tahun ini.

Penulis berpesan agar para Wajib Pajak  dan Pembaca Setia Tax Learning selalu memperhatikan memastikan situs DJP Online yang dibukanya ketika akan mengakses akun djponline untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang merayakannya. Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Sabtu, 29 Agustus 2020

Mulai 1 September 2020 Kunjungi Kantor Pajak Wajib Dapatkan Tiket Antrian Online Dahulu

Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) akan menerapkan kebijakan baru terkait layanan tatap muka di seluruh kantor yang berada di lingkungan Ditjen Pajak (yaitu KPP, Kanwil, dan Kantor Pusat DJP). Kebijakan baru yang akan mulai berlaku mulai 1 September 2020 ini yaitu bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung ke setiap kantor yang berada di lingkungan Ditjen Pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk mendapatkan tiket nomor antrian supaya dapat dilayani petugas di kantor pajak secara langsung/tatap muka.

Pendaftaran untuk mendapatkan nomor antrian dilakukan secara online yang terpusat dilakukan melalui situs https://kunjung.pajak.go.id. Pendaftaran untuk mendapatkan nomor antrian online ini berlaku untuk layanan tatap muka yang dilakukan di seluruh kantor pajak di lingkungan Ditjen Pajak. Layanan yang diberikan untuk tatap muka ini hanya diberikan khusus untuk jenis layanan yang saat ini belum dapat diberikan secara online.

Cara Mendapatkan Tiket Nomor Antrian

Untuk mendapatkan tiket nomor antrian ini, Wajib Pajak atau masyarakat dapat masuk ke situs https://kunjung.pajak.go.id. Kemudian bagian paling bawah sisi kiri dari laman tersebut, terdapat tombol "DAFTAR", klik tombol "DAFTAR" ini untuk melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor antrian.


Siapkan kartu identitas diri dan isi bagian formulir registrasi online tersebut secara lengkap sesuai dengan keperluan dan tujuan. Pada formulir registrasi online ini terdiri dari 4 tab sheet, yaitu identitas, penilaian kesehatan, layanan dan waktu, serta booking. Isi secara lengkap pada tab pertama sampai dengan ketiga.



Setelah semua terisi lengkap, maka akan dikirimkan notifikasi tiket nomor antrian ke email yang sudah diisikan pada form tersebut. Tiket nomor antrian ini beserta identitas diri yang didaftarkan ini yang harus ditunjukan kepada petugas pajak pada saat data ke kantor pajak sesuai dengan tujuan dan waktu yang telah terdaftar.

Para pengunjung diharapkan untuk hadir 10 menit sebelum jadwal waktu yang telah didaftarkan serta diharapkan juga untuk membuat janji terlebih dahulu melalui telepon/whatsapp/email untuk mendapatkan kesepakatan jadwal bagi pengunjung yang akan menemui pegawai tertentu.

Jika nomor tiket antrian ini hilang, calon pengunjung masih dapat mencari tiket ini pada laman kunjung.pajak.go.id tersebut dan klik tombol "CARI" pada bagian paling bawah sisi kiri, dengan cara memasukan nomor NIK/Paspor atau nomor tiket.

Rabu, 29 Januari 2020

Presiden Jokowi Telah Tanda Tangani Surat Presiden RUU Omnibus Perpajakan


Berdasarkan pemberitaan di beberapa media online hari ini disebutkan bahwa Presiden Jokowi mengakui telah menandatangani Surat Presiden (surpres) salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law, yaitu Omnibus Law Perpajakan. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh media online Tempo dan media online Liputan 6.

Dalam kedua laman tersebut diberitakan Presiden Jokowi (dalam diwawancarai saat meresmikan Terowongan Air Nanjung, di Ciamis, Jawa Barat, tanggal 29 Januari 2020) menyebutkan bahwa dirinya telah menandatangani Surat Presiden RUU Omnibus Law Perpajakan dan akan segera disampaikan oleh Menteri Keuangan sendiri kepada pimpinan DPR. Menteri Keuangan merencanakan akan menyerahkan surat presiden dan RUU Omnibus Law Perpajakan ini segera dalam minggu ini.

Selanjutnya Presiden juga akan segera menandatangani Surat Presiden terkait RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Ibu Kota Negara serta menyerahkannya kepada DPR.

Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno menyampaikan bahwa terkait dengan beredarnya draf omnibus law, Pratikno meminta agar publik menunggu. Dia mengklaim dokumen resmi belum rampung dan belum dikirim ke DPR.

Mengutip dari akun instragram Presiden Jokowi menyebutkan bahwa maksud dibuatnya Omnibus Law ini adalah dengan tujuan untuk menciptakan landasan hukum yang fleksibel, sederhana, kompetitif, dan responsif demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena saat ini Indonesia mengalami hiperregulasi yang membuat negara kita terjerat oleh aturan kompleks yang dibuat sendiri. Hal ini disebabkan karena saat ini regulasi yang berlaku di negara kita berjumlah kurang lebih 8.451 peraturan pusat dan 15.985 peraturan daerah.

Selasa, 07 Januari 2020

Realisasi Penerimaan Pajak 2019 Mencapai 84,4% dari Target

Realisasi penerimaan pajak tahun 2019 hanya mencapai 84,4% dari target yang semula ditetapkan dalam APBN 2019 yang sebesar Rp 1.577,56 triliun. Jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan Pemerintah selama tahun 2019 ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers pada tanggal 7 Januari 2020, adalah sebesar Rp 1.332,1 triliun.

Jika dibandingkan dengan penerimaan pajak tahun 2018, maka realisasi penerimaan pajak tahun 2019 ini hanya bertumbuh sebesar 1,4%. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan penerimaan pajak yang kecil ini terjadi sebagai akibat dari tekanan yang terjadi pada perekonomian sehingga berpengaruh pada fiskal dan ini terlihat dari penerimaan negara, terutama pajak.

Berikut ini rincian penerimaan pajak yang dicapai di tahun 2019 ini.



Jika dilihat dari perkembangan pencapaian penerimaan pajak sejak tahun 2013, maka terlihat bahwa selama ini Pemerintah belum berhasil melampaui target penerimaan yang ditetapkan setiap tahunnya. Berikut ini perkembangan pencapaian penerimaan pajak.

Jumat, 01 November 2019

Selamat Bertugas Pak Suryo Utomo Sebagai Direktur Jenderal Pajak

Pagi ini, 1 November 2019 pukul 09.00 bertempat di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani melantik Suryo Utomo sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru menggantikan Robert Pakpahan yang telah menjadi Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 30 November 2017, dan telah memasuki masa purnabakti pada tanggal 31 Oktober 2019 kemarin.

Pelantikan Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak ini bersamaan juga dengan pelantikan beberapa pejabat Eselon I dan Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan.

Profil Suryo Utomo

Sebagaimana kita ketahui bahwa Suryo Utomo yang dilantik sebagai Dirjen Pajak yang baru menggantikan Robert Pakpahan, sebelumnya adalah sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak.

Sebagaimana dikutip dari situs Kementerian Keuangan serta beberapa sumber lainnya, berikut ini adalah profil singkat Suryo Utomo.

Lahir di Semarang pada tanggal 26 Maret 1969. Menempuh pendidikan Sarjana Ekonomi di Universitas Diponegoro. Gelarnya diraih pada tahun 1992. Melanjutkan pendidikan Master of Business Taxation di University of Southern California, Amerika Serikat dan mendapatkan gelarnya pada tahun 1998. Gelar Doctor of Philosophy in Taxation diperolehnya dari University Kebangsaan Malaysia pada tahun 2019.

Mengawali karir Pegawai Negeri Sipil sebagai pelaksana di Kementerian Keuangan pada tahun 1993 di Sekretariat Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Pernah menjabat sebagai Kepala Seksi PPN Industri pada tahun 1998, sebagai Kepala Seksi Pajak Penghasilan Badan pada tahun 2002. Tahun 2002 dipromosikan menjadi Kepala Subdirektorat Pertambahan Nilai Industri, 2006 menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga, 2008 menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu. 28 Maret 2009 dipromosikan menjadi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I. Kemudian pada tahun 2010 menjadi Direktur Peraturan Perpajakan I. Lalu pada tanggal 31 Maret 2015 menjadi Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian, dan pada 1 Juli 2015 beliau dipercaya menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak.

Selamat bertugas untuk Pak Suryo Utomo sebagai Direktur Jenderal Pajak. Semoga dapat mengemban tugas ini sesuai dengan amanah yang diberikan dan selalu sukses.

Minggu, 10 Juni 2018

Situs Direktorat Jenderal Pajak di-hack (Diretas)

Malam ini Penulis mendapatkan bahwa situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pajak.go.id diretas/dibajak (hacked) oleh seseorang yang mengatasnamakan "Anonymous Arabe". Ketika dibuka tampilan depan pada situs pajak.go.id ini menampilkan gambar seorang pejuang Palestina membawa bendera Palestina dengan latar belakang sebuah mobil tentara. Kemudian muncul kata-kata bahwa situs ini "HACKED BY ANONYMOUS ARABE". Dan pada bagian bawahnya tercantum alamat situs dari hacker ini serta kata-kata dalam Bahasa Inggris tentang pesan untuk perjuangan Palestina.

Lebih lanjut, Penulis mencoba menelusuri beberapa subdomain dari situs resmi DJP ini, yaitu situs untuk layanan eBilling dan eFiling yang merupakan domain terpenting bagi Wajib Pajak untuk mengakses menu pembuatan setoran pajak dan pelaporan pajak secara online masih tetap seperti sedia kala dan tidak terpengaruh aksi dari hacker ini. Ini artinya bahwa hacker yang meretas situs DJP ini hanya meretas halaman utama dari situs pajak.go.id (hanya domain pajak.go.id yang diretas)

Berdasarkan penjelasan dari Direktorat P2Humas, Direktorat Jenderal Pajak, yang Penulis dapatkan dari pesan WhatsApp, disebutkan bahwa walaupun situs resmi DJP telah dibajak pada hari ini, Minggu, 10 Juni 2018, namun semua Database, fitur dan aplikasi dalam keadaan aman. Tidak perlu dikhawatirkan, data WP dinyatakan aman, karena tidak ada data wajib pajak di situs www.pajak.go.id. Meskipun demikian, DJP saat ini sedang melakukan re-start server pada Data Center DJP, dan setelah proses selesai situs pajak akan kembali normal. DJP berkomitmen utk terus meningkatkan sistem keamanan situs maupun sistem informasi DJP.

Memang pada akhir-akhir ini penulis sudah menemukan adanya beberapa sisipan halaman pada situs pajak.go.id yang ketika Penulis akses, maka antivirus yang penulis miliki langsung mendeteksi bahwa situs pajak.go.id telah disusupi dengan sejenis malware yang tertanam pada beberapa bagian dari halaman situs ini. Penulis menduga bahwa hacker ini berhasil mengambil alih administrator atas situs pajak.go.id ini melalui beberapa aplikasi gratis (freeware) yang dimanfaatkan oleh situs ini seperti salah satunya yaitu aplikasi untuk menampilkan laporan tahunan DJP dalam bentuk ePaper.

Harapan Penulis, agar tim web developer dan tim administrator dari situs pajak.go.id ini lebih berhati-hati dalam menggunakan program dan aplikasi web yang bersifat freeware, karena aplikasi tersebut biasanya ditanamkan dengan malware yang dapat mencuri data dari situs yang bersangkutan.

Kamis, 23 November 2017

Robert Pakpahan Calon Direktur Jenderal Pajak

Hari ini beredar kabar bahwa Menteri Keuangan mengusulkan calon Direktur Jenderal Pajak yang baru kepada Presiden Joko Widodo, untuk menggantikan Direktur Jenderal Pajak sebelumnya, Ken Dwijugestiadi, yang akan memasuki masa pensiunnya pada Desember 2017. Sebuah nama yang diisukan akan diusulkan sebagai calon Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) yang baru adalah Robert Pakpahan.

Sumber di lingkungan Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) memastikan jabatan Dirjen Pajak akan diputuskan melalui penunjukan langsung oleh Presiden Jokowi. Saat ini, nama calon petinggi Dirjen Pajak itu diajukan ke Tim Penilai Akhir (TPA). Robert Pakpahan saat ini menjabat sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko di Kementerian Keuangan. Bagaimana latar belakang dan pengalaman Robert Pakpahan ini akan diuraikan pada tulisan berikut yang datanya dihimpun dari berbagai sumber informasi.

Robert Pakpahan lahir pada tanggal 20 Oktober 1959 di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Ketertarikan Robert di bidang keuangan dan perpajakan membuatnya memutuskan masuk di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Ia kemudian lulus Diploma III Keuangan Spesialisasi Akuntansi STAN pada tahun 1981. Setelahnya pada tahun 1985 Robert lantas meneruskan studi Diploma IV di kampus yang sama hingga tamat pada 1987. Tak berhenti disitu, ia berhasil meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) in Economics dari University of North Carolina at Chapel Hill, USA pada tahun1998.

Sebelum didaulat sebagai dirjen, Robert pernah menjadi Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak pada tahun 2003 hingga tahun 2005. Mulai saat itu, kariernya di Direktorat Pajak pun menanjak. Sejak September 2005 Robert menduduki posisi Direktur Potensi dan Sistem Perpajakan hingga tahun 2006. Setelahnya, ia dipercaya sebagai Direktur Transformasi Proses Bisnis hingga 2011. Selanjutnya, Robert dilantik menjadi Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara pada tahun 2011.

Pada 27 November 2013 Robert dilantik menjadi Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan. Seiring dengan penyempurnaan organisasi, pada 12 Februari 2015 ia kemudian diangkat sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko di Kementerian Keuangan.

Pada November 2014 lalu, Robert sempat mengikuti tes penulisan makalah dalam rangka rekrutmen terbuka pimpinan tinggi madya sebagai Direktur Jenderal Pajak. Berbekal pengetahuan dan pengalamannya, Robert bisa dikatakan cukup menguasai perekonomian Indonesia baik secara mikro maupun makro. Meskipun bukan orang baru di Ditjen Pajak, angannya untuk mengabdi harus pupus akibat kondisi kesehatannya yang kurang baik pada saat itu sehingga ia menolak tawaran tersebut dan mengundurkan diri pada seleksi tahap kedua.

Berdasarkan rekam jejak karier, Robert pernah menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara. Robert Pakpahan juga menerima penugasan untuk beberapa jabatan antara lain, Komisaris Indonesia Infrastructure Finance (IIF), Anggota Dewan Direksi (mewakili negara-negara ASEAN) dan Ketua Komite Audit Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) - Asian Development Bank. Terakhir, menjadi Board of Trustee Member, Millennium Challenge Account.

Robert Pakpahan pernah diangkat sebagai Anggota Dewan Komisioner LPS. Kemudian, dia diangkat kembali oleh Presiden menjadi Anggota Dewan Komisioner LPS (ex officio Kementerian Keuangan).

Hingga saat ini, Robert juga menjabat sebagai jajaran direktur di Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) yang mewakili ASEAN sejak Maret 2014. Disamping menjabat sebagai Komisioner dari Indonesia Deposit Insurance Corporation, sejak April 2016 lalu ia juga didaulat menjadi Komisioner di Indonesia Infrastructure Finance.

Sumber:
- tirto.id
- CNN Indonesia
- kemenkeu.go.id

Rabu, 30 Maret 2016

Breaking News: Saat Ini Situs eFiling Overload, Lapor Pajak Online Terganggu

Program pelaporan pajak dengan menggunakan sistem eFiling tahun ini sangat gencar disosialisasikan. Respon dari masyarakat juga terlihat positif karena terlihat dengan sangat antusiasnya Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2015 dengan menggunakan sistem eFiling. Terlihat antrian pendaftaran untuk memperoleh EFIN, yaitu suatu kode nomor sebagai identifikasi untuk dapat mengaktifkan account masing-masing untuk mengakses eFiling ini.

Akibat cukup banyak Wajib Pajak yang melaporkan SPT Tahunannya dengan menggunakan sistem eFiling serta pelaksanaannya juga dilakukan secara serentak menjelang batas waktu pelaporan SPT tanggal 31 Maret 2016 mengakibatkan situs http://djponline.pajak.go.id agak sulit untuk diakses. Dan puncaknya adalah pagi ini, 30 Maret 2016. Sejak pagi sekitar pukul 08.00 hingga artikel ini diposting, situs http://djponline.pajak.go.id tidak dapat diakses.

Situs eFiling ini sempat menampilkan pesan "System Busy!!!", dengan isi pesan: "Mohon maaf, Sistem kami sedang sibuk. Mohon untuk mencoba kembali beberapa saat lagi. Terima Kasih ******* Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia" Menurut penulis hal ini pastilah disebabkan oleh server eFiling ini overload akibat user yang mengakses situs ini melebihi kapasitas.

Untuk para Wajib Pajak yang saat ini mengalami kendala seperti ini, mungkin jangan terlalu panik. Mudah-mudahan saja pihak Direktorat Jenderal Pajak dapat segera mengatasi kendala di server eFiling ini.

Memang menjadi dilema bagi Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Tahunan PPh tahun ini. Bagi yang melaporkan secara manual menggunakan hardcopy (kertas) akan ditolak oleh petugas penerima SPT. Namun dengan menggunakan eFiling, malah mendapat kendala tidak dapat mengakses situs eFiling. Padalah batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2015 tinggal 2 hari lagi.

Solusi:
Bagi Wajib Pajak yang masih belum menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2015 ini dan mendapatkan kendala untuk menyampaikan SPT Tahunan karena penyampaian secara manual menggunakan formulir kertas ditolak oleh pihak KPP dan situs eFiling juga tidak dapat diakses, maka disarankan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan melalui Kantor Pos dan Giro karena sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 serta Pasal 2 ayat (3) dan (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015 diatur bahwa penyampaian SPT dapat dilakukan secara langsung ke KPP, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat, atau melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Update:
Kabar gembira dari Direktorat Jenderal Pajak: Penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 2015 hingga 30 April 2016 Tidak Kena Denda
Jadi penulis menyarankan kepada para Wajib Pajak yang masih belum melaporkan SPT-nya untuk melaporkan menggunakan fasilitas eFiling ini. Karena selain mudah, efisien dan waktunya juga diperpanjang hingga 30 April 2016.

Selasa, 23 Februari 2016

Pemerintah Telah Menyampaikan Draft RUU Tax Amnesty ke DPR Untuk Dibahas

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang merupakan ketentuan yang ditunggu oleh hampir sebagian besar Wajib Pajak di Indonesia akhirnya telah diselesaikan oleh Pemerintah dan telah diajukan ke DPR untuk dibahas. Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung bahwa pada hari ini (23 Februari 2016) bahwa Pemerintah telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) atau yang dikenal sebagai Amanat Presiden (Ampres) dan draft RUU Tax Amnesty ke DPR. Pemerintah berharap bahwa DPR segera melakukan pembahasan atas usulan draft RUU Tax Amnesty ini.

RUU Tax Amnesty ini murni merupakan usulan dari pihak Pemerintah diharapkan dapat menjadi legitimasi bagi peningkatan penerimaan pajak. Tax Amnesty diharapkan dapat menjadi basis bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak. Dalam Tax Amnesty yang diusulkan oleh Pemerintah, yang diampuni adalah hanya pelanggaran pajak saja. Pengampunan ini tidak berlaku bagi tindak pidana lainnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh penulis dari beberapa sumber, disebutkan bahwa Surat Presiden mengenai penyampaian draft RUU Tax Amnesty telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada hari Jumat, 19 Februari 2016. Sebagaimana dalam konferensi pers yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di di Bandara Halim Perdana Kusuma pada hari Jumat, 19 Februari 2016 bahwa Presiden telah menandatangani Amanat Presiden ini. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Menko Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Panjaitan. Pembahasan RUU Tax Amnesty ini akan diserahkan ke Komisi XI DPR.

Dengan demikian, kita harapkan bahwa RUU Tax Amnesty ini segera disahkan oleh DPR.

Selasa, 14 April 2015

Pemerintah Siapkan Kebijakan Penghapusan Sanksi Pajak di Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Sebagai Akibat dari Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), Pembetulan SPT, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak untuk diusulkan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan sebagai Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

RPMK tersebut sesuai dengan program DJP yang mencanangkan tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak dengan moto Reach the Unreachable, Touch the Untouchable. Dengan nanti adanya kebijakan ini maka wajib pajak diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan pembetulan SPT beberapa tahun ke belakang dan kepadanya akan diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.

Jenis SPT yang dapat dilaporkan dan dibetulkan dalam RPMK itu adalah SPT Tahunan PPh Badan, SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, SPT Masa PPh, SPT Masa PPN dan SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.

RPMK tersebut mengacu pada Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya.

Sanksi Administrasi yang dimaksud dalam RPMK tersebut terbatas atas sanksi administrasi yang dikenakan sebagai akibat dari:

  1. keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk Tahun Pajak 2013 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya;
  2. keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan sebelumnya;
  3. keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya;
  4. pembetulan yang dilakukan oleh wajib pajak atas SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2013 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya;


yang dilakukan pada tahun 2015.

Bagi wajib pajak terdaftar yang telah menyampaikan SPT, bagi wajib pajak terdaftar namun belum menyampaikan SPT, dan bagi orang pribadi atau badan yang belum terdaftar sebagai wajib pajak dapat memperoleh fasilitas yang ada pada RPMK tersebut jika menyampaikan atau melakukan pembetulan SPT 1 (satu) tahun atau beberapa tahun kebelakang selama tahun 2015.

Sesuai RPMK ini, bagi wajib pajak yang telah menyampaikan SPT dan melakukan pembetulan atas SPT baik untuk 1 (satu) tahun maupun untuk beberapa tahun kebelakang selama tahun 2015, akan memperoleh fasilitas penghapusan sanksi bunga sebagai akibat pembetulan SPT dan penghapusan sanksi denda sebagai akibat belum dibuatnya faktur pajak, khusus untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kemudian, bagi wajib pajak yang belum menyampaikan SPT baik untuk 1 (satu) tahun maupun untuk beberapa tahun kebelakang dan menyampaikannya selama tahun 2015, akan memperoleh fasilitas penghapusan sanksi denda sebagai akibat dari keterlambatan penyampaian SPT, penghapusan sanksi bunga sebagai akibat dari keterlambatan pembayaran pajak, serta penghapusan sanksi denda sebagai akibat tidak dibuatnya faktur pajak, khusus untuk SPT Masa PPN.

Terakhir, bagi orang pribadi atau badan yang belum terdaftar sebagai wajib pajak namun mendaftarkan diri sebagai wajib pajak di tahun 2015, kemudian menyampaikan SPT baik untuk 1 (satu) tahun maupun untuk beberapa tahun kebelakang selama tahun 2015 juga akan memperoleh fasilitas penghapusan sanksi denda sebagai akibat dari keterlambatan penyampaian SPT, penghapusan sanksi bunga sebagai akibat dari keterlambatan pembayaran pajak, serta penghapusan sanksi denda sebagai akibat dari tidak dibuatnya faktur pajak, khusus untuk SPT Masa PPN.

Sumber: pajak.go.id

Rabu, 03 Oktober 2012

Perubahan Periodisasi Penetapan Kurs Menteri Keuangan

Saat ini Pemerintah sedang merencanakan aksi Sistem Logistik Nasional (Sislognas) dalam rangka implementasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan sebagai upaya untuk mengurangi potensi dwelling time di pelabuhan, maka mulai hari Rabu, 17 Oktober 2012 pukul 00.00 Kementerian Keuangan akan melakukan perubahan periodisasi penetapan kurs Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk (NDPBM) atau selama ini dikenal sebagai Kurs Menteri Keuangan.

Selama ini periodisasi penetapan kurs NDPBM ditetapkan dan berlaku mulai Senin sampai dengan Minggu. Maka setelah perubahan periodisasi yang dimulai pada tanggal 17 Oktober 2012 ini, maka periodisasi penetapan kurs NDPBM akan berlaku mulai Rabu sampai dengan Selasa.

Untuk masa transisi perubahan periodisasi maka kurs yang berlaku untuk hari Senin dan Selasa tanggal 15 dan 16 Oktober 2012 akan mengacu pada nilai kurs yang ditetapkan pada minggu sebelumnya yaitu periode 8 sampai dengan 14 Oktober 2012.

Dengan adanya perubahan periodisasi penetapan kurs ini diharapkan akan menjadi salah satu faktor yang dapat mengurangi potensi penundaan dan perpanjangan masa tunggu (delay) di lapangan sehingga diharapkan proses pre-clearence barang impor di pelabuhan dapat dilaksanakan lebih cepat dan akan meningkatkan perdagangan di Indonesia.

Informasi mengenai perubahan periodisasi penetapan kurs NDPBM ini disampaikan dalam Siaran Pers Kementerian Keuangan tanggal 1 Oktober 2012.

Kamis, 16 Agustus 2012

Pelantikan Pejabat Eselon II Kementerian Keuangan

Pagi ini, tanggal 16 Agustus 2012 bertempat di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan melantik 19 pejabat eselon II di Lingkungan Kementerian Keuangan. Ke-19 pejabat eselon II yang dilantik ini terdiri dari 2 orang dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, 16 orang dari Direktorat Jenderal Pajak dan 1 orang dari Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK).

Ke-16 pejabat eselon II yang dilantik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak adalah:
  1. Dedi Rudaedi, Ak. M.Sc. sebagai Sekretaris Ditjen Pajak (sebelumnya menjabat sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat)
  2. Dr. Drs. Poltak John Liberty Hutagaol, M.Ec.(Acc)., M.Ec.(Hons.), Ak. sebagai Direktur Peraturan Perpajakan II (sebelumnya menjabat sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Perpajakan)
  3. Drs. Kismantoro Petrus, Ak., M.B.A. sebagai Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung, Palembang)
  4. Dra. Lusiani, M.B.A. sebagai Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bagian Organisasi dan Tata Laksana Sekretariat Ditjen)
  5. R. Dasto Ledyanto, S.H., M.Si. sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikiasi dan Intensifikasi Pajak (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan Orang Pribadi Direktorat Peraturan Perpajakan II)
  6. Dr. Drs. Edi Slamet Irianto, M.Si. sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan Penegakan Hukum Perpajakan (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Potensi Perpajakan Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan)
  7. Puspita Wulandari, S.E., M.M., D.B.A. sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Transformasi Organisasi Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Manusia
  8. Drs. Herry Sumardjito, M.M. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus (sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Pajak)
  9. Drs. Muhamad Ismiransyah M. Zain, Ak., M.B.A. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Barat dan Jambi, Padang (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan)
  10. Drs. Jatnika, M.B.A. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung, Palembang (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Rekayasa Keuangan Direktorat Intelijen dan Penyidikan)
  11. Drs. Peni Hirjanti, Ak., M.B.A. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Bengkulu dan Lampung, Bandar Lampung (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Sumatera Barat dan Jambi, Padang)
  12. Drs. Dicky Hertanto, M.Sc. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Daerah Istimewa Yogyakarta
  13. Drs. Riza Noor Karim, Ak., M.B.A. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat (sebelumnya Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus)
  14. Drs. Eddy Marlan, Ak., M.B.A. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat, Pontianak (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah, Banjarmasin
  15. Mekar Satria Utama, S.E., M.P.Acc sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Tengah, Banjarmasin (sebelumnya menjabat sebagai Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia)
  16. Drs. Hestu Yoga Saksama, Ak., M.B.T. sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo dan Maluku Utara, Menada (sebelumnya menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan PTLL Direktorat Peraturan Perpajakan I).


Penulis mengucapkan selamat bertugas kepada para Pejabat Eselon II yang baru menempati posisi barunya (baik yang mutasi maupun promosi).

Kamis, 04 Agustus 2011

Fasilitas Tidak Kena PPN atas Jasa Angkutan Udara dan Telekomunikasi di Kawasan Bebas

Pemerintah kembali akan memberikan fasilitas perpajakan, khususnya untuk PPN, atas penyerahan Jasa Angkutan Udara (penerbangan) dan Jasa Telekomunikasi di Kawasan Bebas. Kebijakan pemberian fasilitas ini disampaikan melalui Siaran Pers Kementerian Keuangan Nomor 124/HMS/2011 tanggal 3 Agustus 2011.

Fasilitas perpajakan yang akan diberikan tersebut adalah berupa:

a. Fasilitas tidak dikenakan PPN atas Jasa Angkutan Udara

Fasilitas tidak dikenakan PPN atas Jasa Angkutan Udara untuk penyerahan jasa di dalam Kawasan Bebas atau yang semata-mata dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya. Sedangkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dari luar Kawasan Bebas (istilahnya: Tempat Lain Dalam Daerah Pabean) ke dalam Kawasan Bebas atau sebaliknya tetap dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan Pasal 4B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2009.

b. Fasilitas tidak dikenakan PPN atas Jasa Telekomunikasi

Sama halnya seperti fasilitas untuk Jasa Angkutan Udara, atas penyerahan Jasa Telekomunikasi di dalam Kawasan Bebas tidak dikenakan PPN. Sedangkan untuk:
  1. Penyerahan Jasa telekomunikasi dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean/Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas dikenakan PPN, kecuali penyerahan jasa telekomunikasi yang menggunakan jaringan berkabel (fix line) di Kawasan Bebas.
  2. Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean/Tempat Penimbunan Berikat dikenakan PPN.

Ketentuan ini masih menunggu disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah pengganti PP Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Selasa, 20 April 2010

Produk Ikan Bebas PPN, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Tidak Dikenakan Pajak

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mulai 1 April 2010 akan mengecualikan produk ikan segar. Demikian dikemukakan Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Catur Rini Widosari seusai konferensi pers di Jakarta, Kamis (1/4).

Dalam UU No 42/2009 disebutkan, kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging segar tanpa diolah, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Catur mengemukakan, dalam perumusan UU PPN Barang dan Jasa dan PPnBM dengan DPR, pihaknya telah menaruh perhatian mengenai daging segar.
Oleh karena itu, produk daging yang bebas PPN akan dirinci berupa ikan segar dalam aturan pelaksana UU tersebut "Adapun produk pakan dan ikan olahan tetap dikenakan PPN," ujar Catur.

Ia menambahkan, aturan pelaksana UU PPN Barang dan Jasa serta PPnBM berupa peraturan pemerintah. Saat ini sedang disiapkan dan diharapkan selesai pada akhir April 2010.

Pihaknya, kata Catur, telah berkoordinasi dengan Biro Hukum pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai penyusunan peraturan pemerintah itu. Sebelumnya, pemberlakuan PPN barang dan jasa mulai 1 April dikeluhkan sejumlah produsen perikanan.

Pengenaan pajak atas produk ikan utuh beku akan membebani biaya produksi sehingga pelaku usaha kesulitan meningkatkan daya saing serta mendorong harga jual ikan semakin mahal. Catur mengatakan, sepanjang aturan PP baru belum diterbitkan, produk PP barang strategis yang kini berlaku masih bisa diterapkan.

Beberapa Perubahan

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mochamad Tjiptardjo, dalam konferensi pers, mengemukakan, terdapat beberapa pokok perubahan aturan dalam UU PPN Barang dan Jasa serta PPnBM.

Perubahan itu di antaranya kenaikan batas atas tarif PPnBM dari 75 persen menjadi 200 persen. Namun, tarif tertinggi itu baru diterapkan jika benar-benar
diperlukan. "Dalam pelaksanaannya, kita belum akan menerapkan tarif batas atas 200 persen itu," ujar Tjiptardjo.

Adapun ekspor barang kena pajak tidak berwujud dan ekspor jasa kena pajak dikenakan .PPN sebesar nol persen. Kelompok jasa keuangan, seperti jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, juga tidak dikenakan PPN. Sementara itu, tidak dikenal lagi istilah faktur pajak standar dan faktur pajak sederhana, yang ada hanya faktur pajak.

Faktur pajak dibuat pada saat penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum penyerahan barang atau jasa, faktur pajak dibuat pada saat pembayaran. Insentif pajak ini diberlakukan pada saat Dirjen Pajak sedang disorot menyusul adanya kasus makelar pajak.


Sumber : Kompas

Selasa, 23 Februari 2010

Ditjen Pajak Butuh 18.000 Pegawai Baru

JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak kekurangan petugas sebanyak 8.000 hingga 18.000 orang lagi agar pelayanan kepada wajib pajak semakin maksimal. Kebutuhan petugas pajak itu semakin mendesak karena jumlah wajib pajak bisa melonjak dari 16 juta wajib pajak saat ini menjadi 25 juta hingga 30 juta wajib pajak pada tahun 2013.

Direktur Jenderal Pajak, Mohammad Tjiptardjo mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Senin (22/2/2010) saat berbicara dalam Talk Show tentang Membedah APBN 2010.


Menurut Tjiptardjo, dari 16 juta wajib pajak yang sudah terdaftar saat ini, sebanyak 14 juta diantaranya adalah wajib pajak orang pribadi. Meski demikian, setoran pajak dari wajib pajak badan (bagian yang lebih sedikit) justru menyumbangkan 85 persen dari total penerimaan pajak yang dihimpum Ditjen Pajak.

“Jumlah pegawai pajak yang ada saat ini mencapai 32.000 orang, bandingkan dengan wajib pajak yang sudah 16 juta orang, pasti kurang,” ungkapnya.

Ditjen Pajak berharap, program pembuatan Nomor Identifikasi Penduduk Tunggal yang akan dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri bisa segera terwujud. Dengan adanya nomor identifikasi tersebut, setiap wajib pajak bisa diketahui identitasnya, sekaligus kewajiban pajaknya.

“Dengan single identification number ini, semua orang bisa saja punya KTP (Kartu Tanda Penduduk) banyak namun sejak lahir, dia hanya akan memiliki satu nomor identifikasi,” cetus Tjiptardjo.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com

Jumat, 04 Desember 2009

RUU Tax Amnesty Tidak Dibahas Hingga 2014

RUU tentang Pengampunan Pajak (tax amnesty) tidak masuk dalam daftar RUU Program Legislasi Nasional (pro-legnas) 2010-2014.Sidang paripurna DPR menyepakati sebanyak 247 RUU (baik usulan pemerintah maupun DPR) yang akan dibahas dalam periode 5 tahun mendatang.

"Saya juga kaget kok RUU [tax amnesty) tidak masuk dalam daftar. Padahal yang jelas waktu itu sudah diusulkan Baleg (badan legislasi) | untuk diusulkan dalam proleg-nas," kata Andi Rahmat, anggota Komisi Xl DPR dari FPKS, seusai rapat paripurna DPR kemarin.

Dia mengaku belakangan dirinya terlalu sibuk mengurusi usulan hak angket bailout Bank Century sehingga tidak mengetahui perkembangan terakhir pembahasan daftar RUU di tingkat Baleg DPR.

Andi sebelumnya mengungkapkan DPR akan menginisiasi pembuatan RUU tersebut agar dimasukkan ke prolegnas 2010-2014. (Bisnis, 22 Oktober) "Saya asumsikan pemerintah yang tidak mau memasukkan itu (RUU tax amnesty] karena ingat saya sudah lama di dorong ke arah itu [pembuatan RUU)."

Namun, dirinya mengatakan masih terbuka peluang untuk membahas RUU tax amnesty dalam periode 5 tahun ini. "Tidak ada di daftar bukan berarti tidak masuk, masih ada kemungkinan masuk tentu lewat mekanisme di DPR," jelasnya.

Bisa berubah

Ketua DPR Marzuki Alie yang bertindak selaku pemimpin sidang paripurna mengatakan meski semua daftar RUU yang diusulkan tersebut sudah disepakati, apabila terjadi perubahan akan dibahas dalam sidang paripurna berikutnya.

"Kita terima dulu semua daftar RUU ini, kalau ada perubahan nanti dibahas di paripurna berikutnya," jelasnya sambil mengetok palu.Di pihak lain. Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo pernah mengungkapkan pemberian fasilitas pengampunan pajak tidak akan menjamin terjadinya peningkatan kepatuhan wajib pajak dan repatriasi modal.

"Taix amnesty yang kayak apa bentuknya? Dulu entah tahun berapa, kita pernah melaksanakannya tapi nggak berhasil. Waktu itu sedikit sekali animo masyarakat. Jadi nggak jaminan," katanya.

Sebenarnya tanpa tax amnesty sekalipun, menurutnya, peningkatan kepatuhan wajib pajak dan repatriasi modal dapat tercipta dengan sendirinya karena dalam UU Perpajakan saat ini sudah banyak memberikan insentif.

Selain itu, sambungnya, rezim internasional yang dipelopori oleh G-20 dan Organization for Economic Cooperation and Development saat ini gencar mengampanyekan anti kebijakan tax haven country.

Sumber : Bisnis Indonesia

Senin, 26 Oktober 2009

Kabar Baik untuk Agen

Sebuah pesan pendek mampir di handphone saya siang itu. Nama pengirimnya saya kenal sebagai seorang agen asuransi di sebuah perusahaan joint venture. "Puji Tuhan sudah terima surat keputusan Dirjen Pajak No. PER-57/PJ/2009 diputuskan pajak untuk agen asuransi bukan karyawan memakai norma penghitungan pajak. Selamat, sekali lagi terimakasih atas dukungannya untuk AAJI, MDRT dan IAAI." Meskipun tidak terkait dengan nasib saya, hati ini ikut bersorak. Saya bersama seorang teman wartawan dari media lain yang sedang mampir ke ruang kerja Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK Isa Rachmatarwata segera mengonfirmasi kebenaran berita tersebut.

Saat itu Biro Perasuransian juga belum mendapatkan kepastian berita tersebut. Meski demikian, Isa pun ikut menyatakan kegembiraan dan apresiasinya. "Itu menunjukkan dukungan yang diberikan Menteri Keuangan kepada industri-industri keuangan, seperti industri asuransi ini," ujarnya.

Keputusan itu tertampung dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-57/PJ/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Dirjen Pajak No. PER-31/ PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

Aturan itu ditandatangani Direktur Jenderal Pajak Mochammad Tjiptardjo pada 12 Oktober 2009. Dalam PER-31/PJ/2009 Pasal 3 c disebutkan bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan, termasuk petugas dinas luar asuransi.

Pada pasal 9 ayat 1 c disebutkan 50% dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.

Wajar saja keputusan ini disambut gembira seluruh kalangan industri asuransi. Perjuangan untuk mewujudkan reformasi pajak agen ini menempuh waktu yang cukup panjang, bahkan sudah digaungkan sejak Firdaus Djaelani masih menjabat sebagai Direktur Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan Depkeu.

"Saya sangat gembira dengan keputusan ini. Selama ini agen mengadu pada kami, mereka menangis dengan perlakuan pajak yang ada. Mereka seperti kerja bakti saja. Dengan ini saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Pak Isa dan Pak Firdaus," ujar Ketua AAJI Evelina F. Pietruchka dengan senyum mengembang.

Ruwetnya masalah perpajakan agen bermuara dari kondisi beberapa tahun yang lalu, saat asuransi masih menggunakan branch system di mana agen seperti karyawan mendapatkan gaji. Saat sudah menjadi sistem agency, sistem perpajakan yang berlaku masih menempatkan agen menjadi karyawan dan dikenakan tarif progresif.

Kondisi ini memberatkan karena dengan sistem agency, agen merupakan entrepreneur yang bekerja dengan komisi, tanpa mendapatkan gaji tetap dan tunjangan.

Padahal di sisi lain agen mengeluarkan biaya untuk menjalankan bisnis, transportasi, buku, seminar, maupun untuk memelihara hubungan baik dengan klien.

Pertemuan demi pertemuan dengan Ditjen Pajak digelar secara intensif. AAJI memperjuangkan mereka diperlakukan sebagai freelance seperti halnya agen properti. Jika kebijakan pajak berubah, diyakini target asosiasi menjaring 500.000 agen pada 2012 dan aset Rp500 triliun pada 2014 bisa tercapai.

Dengan munculnya aturan itu agen akhirnya bisa kembali tersenyum, terlebih lagi aturan norma 50% itu juga memberikan backdate masa berlaku mulai 1 Januari 2009. "Artinya pajak yang berlaku bagi agen itu dari 50% pendapatan, yang 50% lagi dianggap biaya. Jadi semakin besar income-nya, makin besar saving-nya," ujar Direktur Eksekutif AAJI Stephen Juwono.

Meski demikian, AAJI memberlakukan persyaratan khusus. Asosiasi minta pemberlakuan sistem perpajakan agen yang baru ini harus diikuti penjualan yang profesional oleh agen, tidak miss selling, dan tunduk pada kode etik keagenanan asosiasi dengan tidak melakukan bajak-membajak agen.

Asosiasi juga minta agen mematuhi aturan mengenai sertifikasi dan pro-gram continuing professional development (CPD). "Juga tidak complain mengenai harga (sertifikasi agen) karena biaya sudah dipotong pajak untuk agen. Untuk agen yang tidak mematuhi, AAJI berhak untuk melaporkan ke kantor pajak untuk tidak memberlakukan norma 50% kepada agen tersebut," tegas Stephen.

Dia menambahkan sistem pajak baru ini hanya berlaku untuk agen yang memiliki NPWP, sehingga asosiasi menghimbau agar tenaga pemasaran mempunyai kartu tersebut.

Direktur Utama Allianz Life Indonesia Jens Reisch juga menyatakan kegembiraannya atas putusan itu. Dia mengatakan perlakuan pajak yang baru ini akan mempermudah perusahaan memenuhi target rekrutmen agen baru dan agen juga lebih semangat bekerja sehingga produksi premi industri akan terdongkrak. "Baik jumlah agen maupun produksi premi saya perkirakan bisa terdongkrak 20%-30%," ujarnya.

Masih panjang perjuangan selanjutnya, bagaimana memberlakukan pajak yang lebih ringan untuk pemegang polis asuransi jiwa. Selamat berjuang!

Sumber : Bisnis Indonesia

Aturan Terkait:
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghitungan PPh Pasal 21 Agen Asuransi
- Penegasan Direktur Jenderal Pajak atas Perlakuan PPh bagi Agen Asuransi

Kamis, 15 Oktober 2009

Direktorat Keberatan dan Banding Dikeluarkan dari Ditjen Pajak

JAKARTA, KOMPAS.com- Direktorat Keberatan dan Banding Pajak akan dipisahkan dari Direktorat Jenderal Pajak. Itu dikarenakan adanya penumpukan kasus pajak di Pengadilan Pajak yang diperkirakan terjadi karena fungsi Direktorat Keberatan dan Banding Pajak untuk memeriksa keberatan pajak di tingkat pertama tidak berjalan.

"Kami berupaya agar kasus yang dilimpahkan ke Pengadilan Pajak tidak bertambah, antara lain dengan mengalihkan Direktorat Keberatan dan Banding Pajak ke luar dari Ditjen Pajak," kata Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia Nasution di Jakarta, Rabu (14/10).

Menurut Mulia, pihaknya berupaya mencari cara untuk menurunkan jumlah kasus yang dilimpahkan dari Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai ke Pengadilan Pajak. Salah satu caranya adalah dengan menambah jumlah hakim dan mempercepat penyelesaian setiap perkara.

Selain itu, sedang dilakukan pembicaraan antara Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan untuk mengurangi jumlah perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Pajak.

Perkara yang dilimpahkan ke pengadilan pajak menumpuk karena banyaknya penolakan perkara di level Ditjen Pajak atau Ditjen Bea dan Cukai. "Salah satunya adalah dengan memisahkan lembaga keberatan dari Ditjen Pajak atau Ditjen Bea dan Cukai," ujar Mulia.

Sebelumnya diketahui sekitar 9.400 kasus perpajakan dilaporkan menumpuk di Pengadilan Pajak Departemen Keuangan karena keterbatasan jumlah majelis yang bisa menyelesaikan perkaranya. Jumlah perkara yang menumpuk itu bertambah dibandingkan posisi Desember 2008 yang masih mencapai 7.008 kasus.

Sumber: Kompas