..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Tax Amnesty. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tax Amnesty. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Juli 2022

Catatan atas Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS)

Program Pengungkapan Sukarela atau yang disingkat sebagai PPS secara resmi telah berakhir pada tanggal 1 Juli 2022 pukul 00.00 WIB. Hasil yang telah dicapai serta realisasi penerimaan negara yang diperoleh dari PPS ini telah diumumkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani bersama dengan Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan pada tanggal 1 Juli 2022 pukul 16.00 di Auditorium Chakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP.. Berikut ini adalah realisasi yang telah dicapai dalam PPS tersebut.

Peserta PPS

Total jumlah peserta PPS adalah sebanyak 247.918 Wajib Pajak (WP) yang terbagi menjadi 82.456 surat keterangan dari Kebijakan I dan 225.603 surat keterangan dari Kebijakan II. Untuk diketahui bahwa satu WP dapat mengikuti dua kebijakan sekaligus serta dapat mengikuti PPS lebih dari satu kali.

Berikut ini disajikan data mengenai jumlah WP yang mengikuti PPS, jumlah harta yang diungkap serta jumlah PPh yang disetorkan yang bersumber dari Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Nomor SP-37/2022.

Lapisan Harta Bersih Yang Diungkap

Dari seluruh WP yang mengikuti PPS ini, dapat dikelompokkan jumlah WP tersebut berdasarkan jumlah harta bersih yang diungkap yang terdiri dari:

  1. Jumlah Harta bersih dengan rentang Rp 0 sampai dengan Rp 10 juta adalah sebanyak 38.870 WP (15,68%)
  2. Jumlah Harta bersih dengan rentang lebih dari Rp 10 juta sampai dengan Rp 100 juta adalah sebanyak 82.747 WP (33,38%)
  3. Jumlah Harta bersih dengan rentang lebih dari Rp 100 juta sampai dengan Rp 1 miliar adalah sebanyak 75.110 WP (30,30%)
  4. Jumlah Harta bersih dengan rentang lebih dari Rp 1 miliar sampai dengan Rp 10 miliar adalah sebanyak 41.239 WP (16,63%)
  5. Jumlah Harta bersih dengan rentang lebih dari Rp 10 miliar sampai dengan Rp 100 miliar adalah sebanyak 9.263 WP (3,73%)
  6. Jumlah Harta bersih dengan rentang lebih dari Rp 100 miliar sampai dengan Rp 1 triliun adalah sebanyak 705 WP (0,28%)
  7. Jumlah Harta bersih di atas Rp 1 triliun adalah sebanyak 11 WP (0,00%)

Jenis Harta Yang Diungkap

Jenis harta yang diungkap oleh WP peserta PPS dalam urutan lima besar adalah terdiri dari:

  1. Uang Tunai sebesar Rp 263,15 triliun
  2. Setara Kas Lainnya sebesar Rp75,43 triliun
  3. Tabungan sebesar Rp59,97 triliun,
  4. Deposito sebesar Rp36,44 triliun,
  5. Tanah/Bangunan sebesar Rp26,35 triliun

Jenis Usaha WP Peserta PPS

Jumlah harta bersih yang diungkap oleh WP peserta PPS per Jenis Usaha dalam urutan lima besar adalah terdiri dari:

  1. Pengusaha/pegawai swasta sebesar Rp300,04 triliun
  2. Jasa perorangan lainnya sebesar 59,16 triliun
  3. Perdagangan eceran sebesar Rp13,66 triliun
  4. Pegawai Negeri Sipil sebesar Rp9,72 triliun
  5. Real estate sebesar Rp9,48 triliun

Kantor Pelayanan Pajak Tempat WP Peserta PPS Terdaftar

Jumlah harta bersih yang diungkap oleh WP peserta PPS per Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tempat WP terdaftar dalam urutan lima besar adalah terdiri dari:

  1. KPP Wajib Pajak Besar Empat sebanyak Rp 12,93 triliun
  2. KPP Pratama Jakarta Pluit sebesar Rp6,57 triliun
  3. KPP Pratama Surabaya Mulyorejo sebesar Rp5,38 triliun
  4. KPP Pratama Jakarta Grogol Petamburan sebesar Rp4,97 triliun
  5. KPP Pratama Jakarta Kembangan sebesar Rp4,48 triliun

Realisasi PPS dan sandingan Hasil Tax Amnesty per wilayah

Dalam siaran pers ini juga disajikan persandingan antara realisasi PPS dengan hasil Tax Amnesty yang dibagi per wilayah yaitu sebagai berikut.

  

Di bagian akhir dari konferensi pers, Menteri Keuangan mengingatkan bahwa setelah periode PPS ini berakhir, untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan, pengawasan dan penegakan hukum di DJP akan dilaksanakan dengan berdasarkan basis data yang lebih kuat. Diharapkan WP dapat melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar.

Menteri Keuangan menegaskan bahwa "Program ini adalah yang terakhir, dengan demikian semua data yang diperoleh akan menjadi database DJP. Bukan dalam rangka memberikan ketakutan, tapi saya ingin menyampaikan bahwa kita akan menjalankan Undang-Undang secara konsisten, secara transparan dan akuntabel sebagai bentuk gotong royong membangun Indonesia.

Rabu, 05 Januari 2022

Tutorial Cara Input dan Lapor SPPH Program Pengungkapan Sukarela (PPS)

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang di masyarakat lebih dikenal sebagai "Tax Amnesty Kedua" telah mulai digelar sejak tanggal 1 Januari 2022 dan akan berlangsung hingga tanggal 30 Juni 2022. PPS yang diatur pada pada Bab V Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak yang masih terdapat kekurangan dalam melaporkan Hartanya dalam SPT Tahunan PPh untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan tersebut secara sukarela.

PPS ini terbagi menjadi 2 (dua) kebijakan yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Kebijakan 1 yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak orang pribadi maupun badan yang telah mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) pada tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017 untuk mengungkapkan harta yang diperoleh pada tahun 2015 atau sebelumnya yang belum/kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) untuk Pengampunan Pajak; dan
  2. Kebijakan 2 yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak orang pribadi untuk mengungkapkan harta yang diperoleh dari tahun 2016 sampai dengan 2020 masih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun 2020.
Saat ini Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan aplikasi bagi Wajib Pajak untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH). Formulir SPPH ini dibuat dengan menggunakan formulir PDF yang dapat di-download melalui akun djponline. Formulir SPPH ini diisi secara offline, kemudian diupload dengan menggunakan koneksi internet. Setelah formulir ini sudah di-upload, kemudian Wajib Pajak dapat melaporkan (submit) SPPH melalui akun djponline.

Bagi Pembaca Setia Tax Learning yang akan mengajukan SPPH untuk mengikuti PPS ini, maka berikut ini penulis sediakan video tutorial cara membuat dan melaporkan SPPH secara online. Video tutorial ini diperoleh oleh penulis dari Direktorat Jenderal Pajak.





Selamat mengikuti PPS.

Senin, 27 Desember 2021

Aturan Pelaksanaan Untuk Program Pengungkapan Sukarela 1 Januari 2022 s.d. 30 Juni 2022

Pemerintah melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP) akan menggelar Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau disebut juga sebagai Voluntary Disclosure Program. Program PPS yang di masyarakat ditafsirkan sebagai "Program Tax Amnesty Jilid Ke-2" akan berlangsung mulai 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022 diatur pada Bab V Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU HPP.

Sebagai petunjuk mengenai tata cara pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela ini, maka Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 tanggal 22 Desember 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaam Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Dalam Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Nomor SP-46/2021 tanggal 27 Desember 2021 disebutkan bahwa PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. Banyak manfaat yang akan diperoleh WP, di antaranya, terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap WP. PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanan, kepastian hukum dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP.

Kebijakan PPS ini terbagi menjadi 2 (dua) jenis kebijakan, yang secara garis besar dapat diringkas menjadi sebagai berikut.

Ringkasan Kebijakan Program Pengungkapan Sukarela


Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan mengikuti Kebijakan II, harus memenuhi syarat:

  1. tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020;
  2. tidak sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan.

Tata Cara Pengungkapan

Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps

SPPH yang diajukan ini dilengkapi dengan:

  1. SPPH induk;
  2. Bukti pembayaran PPh Final;
  3. Daftar rincian harta bersih
  4. Daftar utang;
  5. Pernyataan repatriasi dan/atau investasi.

Tambahan kelengkapan untuk peserta kebijakan II:

  1. Pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum);
  2. Surat permohonan pencabutan Banding, Gugatan, Peninjauan Kembali.


Peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, atau perubahan tarif.

Peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai 0. Peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS dan tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya. Pembayaran PPh Final untuk Pengungkapan Secara Sukarela ini dilakukan menggunakan Kode Akun Pajak PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran untuk:

  1. Kebijakan I adalah 427;
  2. Kebijakan II adalah 428
Pembayaran PPh Final untuk PPS ini tidak dapat dilakukan dengan proses Pemindahbukuan (Pbk).

Selasa, 31 Juli 2018

Pengawasan Wajib Pajak Pasca Tax Amnesty

Dalam rangka memastikan kepatuhan Wajib Pajak setelah periode Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), maka saat ini Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan yang lebih intensif terhadap Wajib Pajak baik Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak maupun Wajib Pajak yang telah mengikuti Pengampunan Pajak. Pengawasan ini dilakukan dengan dukungan data dan/atau informasi internal maupun eksternal pada sistem informasi. Sebagai pedoman dalam rangka menjalankan Pengawasan terhadap Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak, maka sebelumnya telah diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-20/PJ/2017.

Untuk menyempurnakan aturan mengenai pengawasan Wajib Pajak pasca Pengampunan Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak kembali menebitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2018 tanggal 19 Juli 2018 tentang Pengawasan Wajib Pajak Pasca Periode Pengampunan Pajak.

Kebijakan Umum

Pengawasan Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak dilakukan melalui pengawasan dalam rangka Pengampunan Pajak dan pengawasan secara umum.

1. Pengawasan dalam rangka Pengampunan Pajak

Pengawasan ini dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:
  1. tidak mengikuti Pengampunan Pajak atas ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai Harta berdasarkan data eksternal dan/atau data internal yang disediakan oleh sistem informasi; dan
  2. mengikuti Pengampunan Pajak atas pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak untuk masa/tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir; dan ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai harta yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan selain ketidaksesuaian karena adanya perbedaan nilai, pelunasan uang tebusan dan Laporan Wajib Pajak terkait Pengampunan Pajak.
2. Prioritas pengawasan Wajib Pajak

Prioritas pengawasan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak dilakukan terlebih dahulu terhadap:

  1. ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai Harta, bagi Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak; dan
  2. pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak untuk masa/tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir, bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak.

Pengawasan secara umum ini dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pengawasan Wajib Pajak dalam bentuk permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan dan kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak, dengan dukungan data dan/atau informasi internal maupun eksternal pada sistem informasi.

Senin, 12 Maret 2018

Laporan Tahunan Tax Amnesty Dapat Disampaikan Secara Online

Kabar gembira bagi para Wajib Pajak yang telah mengikuti Program Tax Amnesty dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan Laporan Tahunan Deklarasi Harta di Dalam Negeri atau Laporan Tahunan Repatriasi dan Investasi Harta di Dalam Negeri. Mulai saat ini Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan kanal khusus bagi Wajib Pajak yang akan melaporkan Laporan Tahunan ini secara online.

Jadi Wajib Pajak tidak perlu repot-repot lagi datang ke KPP untuk sekedar melaporkan Laporan Tahunan ini, namun cukup membuka menu eFiling pada account masing-masing melalui situs djponline.pajak.go.id, melalui menu "eReporting".

Wajib Pajak cukup mengupload file excel yang juga sudah disediakan pada menu tersebut (atau file excel ini dapat di download pada artikel yang telah penulis posting di sini).

Berikut ini adalah gambar menu eReporting tersebut.





Untuk mengupload data yang akan dilaporkan, maka Wajib Pajak harus mengisi dahulu data-data terkait harta tambahan yang dilaporkan dalam Tax Amnesty:
-Untuk Laporan Penempatan Harta Tambahan Dalam Wilayah NKRI, templatenya dapat diunduh di sini.

Kamis, 08 Maret 2018

Wajib Pajak UMKM Tidak Perlu Sampaikan Laporan Tahunan Tax Amnesty

Kabar gembira untuk Wajib Pajak yang UMKM yang telah mengikuti Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Karena Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2018 tanggal 6 Maret 2018 tentang Perubahan Peraturan Direktur Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pengawasan Harta Tambahan Dalam Rangka Pengampunan Pajak yang salah satu ketentuannya adalah membebaskan Wajib Pajak peserta Program Pengampunan Pajak termasuk kategori UMKM dari kewajiban menyampaikan Laporan Tahunan Pengampunan Pajak. Yang dimaksud dengan Wajib Pajak dengan kategori UMKM adalah Wajib Pajak yang ketika menyampaikan Surat Pernyataan Harta Pengampunan Pajak menggunakan tarif untuk Uang Tebusan sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2016, yaitu tarif khusus bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha sampai dengan Rp 4.800.000.000 pada Tahun Pajak Terakhir atau yang biasa dikenal istilah sebagai Wajib Pajak UMKM.

Selain Wajib Pajak UMKM, bagi Wajib Pajak yang dalam Surat Keterangan semata-mata hanya mendeklarasikan Harta tambahan yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tidak diwajibkan untuk memenuhi kewajiban menyampaikan laporan tahunan Pengampunan Pajak.

Harta yang harus dilaporkan dalam Laporan Tahunan ini hanyalah harta yang dideklarasikan di dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Deklarasi Dalam Negeri) atau harta dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Repatriasi).

Sedangkan apabila Wajib Pajak juga mendeklarasikan harta di luar wilayah Negera Kesatuan Republik Indonesia serta tidak dialihkan dan diinvestasikan ke Indonesia (Deklarasi di Luar Negeri), maka harta yang di Deklarasikan di Luar Negeri ini juga tidak perlu dilaporkan dalam Laporan Tahunan.

Cara Penyampaian Laporan Tahunan

Dalam PER-07/PJ/2018 ini juga ditegaskan mengenai cara penyampaian Laporan Tahunan Pengampunan Pajak. Penyampaian Laporan Tahunan ini disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar dengan cara:
  1. Disampaikan secara langsung ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar
  2. melalui pos dengan amplop tertutup dengan bukti pengiriman surat, yang ditujukan ke Kantor Pelayanan Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar; 
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan amplop tertutup dengan bukti pengiriman surat, yang ditujukan ke Kantor Pelayanan Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar; atau 
  4. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi;
Penyampaian Laporan Tahunan ini disampaikan dalam bentuk:
  1. formulir kertas (hardcopy) dan salinan digital (softcopy), bagi Wajib Pajak yang menyampaikan secara langsung ke KPP atau dikirimkan ke KPP melalui pos/jasa ekspedisi; atau
  2. dokumen elektronik, apabila disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.

Sabtu, 03 Maret 2018

Laporan Tahunan Tax Amnesty

Wajib Pajak yang pada masa pemberlakuan Program Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) telah mengikutinya dengan menyampaikan Surat Pernyataan Harta Pengampunan Pajak dan telah memperoleh Surat Keteragan Pengampunan Pajak (SKPP), maka wajib menyampaikan Laporan Tahunan atas Harta yang dideklarasikan di Dalam Negeri ataupun atas Harta di Luar Negeri yang direpatriasi (dilaporkan untuk dipindahkan) ke Dalam Negeri.

Kedua jenis laporan ini wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak (sesuai dengan jenis Pengampunan Pajak yang dilakukannya apakah Deklarasi Dalam Negeri atau Repatriasi) secara berkala setiap tahun selama 3 (tiga) tahun sejak Harta tambahan yang dialihkan telah seluruhnya disetorkan atau dialihkan ke dalam Rekening Khusus dengan menggunakan format yang telah diatur secara khusus dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017.

Untuk pelaporan tahun pertama, batas waktu menyampaikan Laporan Tahunan ini adalah:
1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah tanggal 31 Maret 2018.
2. Bagi Wajib Pajak Badan adalah tanggal 30 April 2018.

Kewajiban penyampaian laporan pengalihan dan realisasi investasi Harta tambahan (bagi Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan dan menyatakan akan mengalihkan Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan/atau penempatan Harta tambahan (Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan dan mengungkapkan Harta tambahan yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia) berlaku bagi seluruh Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan. Kewajiban penyampaian Laporan Tahunan ini juga tidak berlaku bagi Wajib Pajak UMKM yang artikelnya dapat di baca di sini.

Laporan Tahunan yang harus disampaikan oleh Wajib Pajak yang telah mendapatkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak dengan adanya harta yang dideklarasi di dalam NKRI atau harta di Luar Negeri yang direpatriasi ke dalam NKRI formatnya adalah sebagai berikut:
  1. Laporan Penempatan Harta Tambahan Dalam Wilayah NKRI (bagi yang Deklarasi dalam NKRI)
  2. Laporan Pengalihan dan Realisasi Investasi Harta Tambahan (bagi yang Repatriasi ke dalam NKRI)

Persyaratan Penyampaian Laporan Tahunan Pengampunan Pajak

Laporan Tahunan Pengampunan Pajak yang harus disampaikan ini wajib:

  1. ditandatangani; dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi harus ditandatangani sendiri dan tidak dapat dikuasakan dan dalam hal Wajib Pajak Badan, ditandatangani oleh pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan atau kuasanya.
  2. mencantumkan informasi Harta tambahan.
  3. disampaikan oleh Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk dengan melampirkan surat kuasa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pengampunan Pajak.
  4. disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) dan salinan digital (softcopy), dalam hal disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung; atau dokumen elektronik, dalam hal disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.

Wajib Pajak UMKM Tidak Wajib Menyampaikan Laporan Tahunan

Bagi Wajib Pajak yang ketika menyampaikan Surat Pernyataan Harta Pengampunan Pajak menggunakan tarif untuk Uang Tebusan sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2016, yaitu tarif khusus bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha sampai dengan Rp 4.800.000.000 pada Tahun Pajak Terakhir atau yang biasa dikenal istilah sebagai Wajib Pajak UMKM tidak wajib menyampaikan Laporan Tahunan Pengampunan Pajak. Ketentuan selengkapnya baca di sini.

Catatan:
Dalam beberapa pesan di media sosial yang menyatakan adanya selebaran yang ditempel di beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menyatakan bahwa Syarat penyampaian Laporan Penempatan Harta Tambahan (laporan tahunan TA):

  1. Copy Surat Keterangan Tax Amnesty
  2. Copy NPWP & KTP wajib pajak
  3. Surat Kuasa (jika dikuasakan)
  4. Copy KTP & NPWP penerima kuasa (jika dikuasakan)
  5. Kertas Laporan TA ditandatangani (hardcopy)
  6. CD/flashdisk berisi, Laporan TA dalam bentuk excel (format DJP)
  7. Batas waktu laporan 31 Maret 2018

Penulis tidak setuju dengan persyaratan nomor 1 dan 2 di atas yaitu untuk fotokopi Surat Keterangan Tax Amnesty dan fotokopi NPWP dan KTP Wajib Pajak, karena kedua persyaratan ini tidak tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017 khususnya di Pasal 4.

Apabila ada KPP yang mewajibkan persyaratan bagi Wajib Pajak yang akan menyampaikan laporan tahunan ini wajib melampirkan dengan fotokopi Surat Keterangan Tax Amnesty dan fotokopi NPWP dan KTP dan kebetulan Wajib Pajak tidak membawanya (karena memang dalam peraturannya tidak dipersyaratkan), tentulah hal ini akan menyulitkan Wajib Pajak karena hanya untuk melakukan pelaporan ini harus bolak balik akibat persyaratan tambahan yang diminta. Apalagi sejak awal sudah ditegaskan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak bahwa Surat Keterangan Pengampunan Pajak tersebut sangat bersifat rahasia dan tidak dapat diberikan kepada siapapun bahkan kepada petugas pajak yang tidak berkompeten, maka tentu Wajib Pajak akan tidak bersedia menyampaikan fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak.

Saran Penulis adalah apabila memang pihak Direktorat Jenderal Pajak akan mewajibkan untuk melampirkan fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak, maka sebaiknya janganlah disampaikan seperti ini namun haruslah melalui Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak secara resmi.

Akibat Bagi Wajib Pajak Yang Tidak Menyampaikan Laporan Tahunan Pengampunan Pajak

Bagi Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan tahunan Pengampunan Pajak sesuai ketentuan di atas, maka pihak KPP dapat menerbitkan Surat Peringatan. Atas Surat Peringatan yang disampaikan oleh KPP ini wajib ditanggapi dengan menyampaikan laporan tahunan dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal pengiriman surat peringatan dari KPP. Apabila setelahnya Wajib Pajak masih tidak menanggapi surat peringatan ini dan tidak menyampaikan laporan tahunan, maka terhadap Wajib Pajak ini dapat dilakukan pemeriksaan pajak.

Berikut ini adalah slide sosialisasi tentang kewajiban penyampaian laporan tahunan ini yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak, dapat download di sini.

Saat ini penyampaian Laporan Tahunan Pengampunan Pajak ini dapat dilakukan secara online melalui menu DJP Online. Artikel terkait ini silakan baca di sini.

Selasa, 21 November 2017

Tidak Ada Pengampunan Pajak Jilid Kedua

Beberapa hari ini beredar rumor bahwa Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) akan melakukan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Jilid Kedua. Rumor ini beredar baik melalui pemberitaan di media massa, media sosial atau pesan yang beredar luas. Bahkan kabar mengenai Program Pengampunan Pajak Jilid Kedua ini dikaitkan dengan terbitnya ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 serta adanya rencana dari Menteri Keuangan untuk mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016. Akibatnya timbul keresahan di sebagian kalangan masyarakat mengenai kebijakan ini.

Untuk memberikan informasi yang sebenarnya terkait dengan rumor tentang Pengampunan Pajak Jilid Kedua ini, maka Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Siaran Pers Nomor 39/2017 tanggal 21 November 2017. Dalam Siaran Pers ini ditegaskan bahwa:

Pemerintah melalui perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak yang memiliki harta yang belum dilaporkan baik dalam SPT Tahunan 2015 maupun dalam Surat Pernyataan Harta, untuk secara sukarela mengungkapkan sendiri harta tersebut dengan membayar pajak penghasilan final sesuai tarif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017, sepanjang Ditjen Pajak belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak. Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan secara sukarela maka tidak ada pengenaan sanksi sesuai Pasal 18 UU Pengampunan Pajak.

Dengan adanya penegasan perlakuan perpajakan dalam PMK yang baru ini, Pemerintah memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang secara sukarela mengungkapkan harta yang belum pernah dilaporkan. Pada saat yang bersamaan, Ditjen Pajak tetap konsisten menjalankan penegakan kepatuhan sesuai PP 36/2017 dalam hal telah menemukan data dan informasi harta yang tidak dilaporkan, yaitu dengan menerbitkan SP2 Pajak tanpa menunggu Wajib Pajak mengungkapkan/melaporkan harta tersebut.

Dengan demikian perlakuan ini tidak dapat disamakan dengan program Pengampunan Pajak yang berlaku pada 1 Juli 2016 – 31 Maret 2017. Secara spesifik perbedaan dari perlakuan dalam perubahan PMK 118/PMK.03/2016 ini dibandingkan dengan program Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut:
No.
Aspek Perpajakan
Perubahan PMK 118/PMK.03/2016
Pengampunan Pajak
1.
Tarif
12,5% - 30%
(PP36/2017)
0,5% - 10%
(UU Pengampunan Pajak)
2.
Dilakukan pemeriksaan/penyidikan
Ya
Tidak
3.
Penghentian pemeriksaan/penyidikan
Tidak (Wajib Pajak yang telah diterbitkan SP2 Pajak tidak dapat lagi melakukan pengungkapan sukarela)
Ya
4.
Penghapusan sanksi apabila membayar pokok tunggakan pajak yang terutang dalam SKP
Tidak
Ya
5.
Pembebasan PPh atas pengalihan saham, tanah dan bangunan
Tidak
Ya

Rabu, 15 November 2017

Untuk Memudahkan Peserta Amnesti Pajak Mengurus SKB, Aturan Terkait SKB Segera Direvisi

Sehubungan semakin dekatnya batas waktu pemberian fasilitas pembebasan PPh atas pengalihan tanah dan bangunan 31 Desember 2017, maka Menteri Keuangan akan segera melakukan revisi atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016. Hal ini sebagaimana yang telah diumumkan Plh. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat melalui Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Nomor 37/2017 tanggal 15 November 2017.

Pokok dari Siaran Pers ini adalah bahwa untuk keperluan penandatanganan Surat Pernyataan Notaris antara Nominee dan Wajib Pajak serta proses balik nama di Badan Pertanahan Nasional, Wajib Pajak dapat menggunakan SKB PPh atau fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak. Ketentuan ini sejalan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pengampunan Pajak.

Sehubungan dengan penyampaian fotokopi Surat Keterangan Pengampunan Pajak dimaksud, para pihak yang terkait dalam proses balik nama, wajib merahasiakan dan menjaga keamanan data Wajib Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 23 Undang-Undang Pengampunan Pajak.

Berdasarkan data Ditjen Pajak, terdapat sekitar 151 ribu Wajib Pajak yang berpotensi memanfaatkan fasilitas SKB PPh. Hingga tanggal 14 November 2017 baru 29 ribu Wajib Pajak (19%) yang mengajukan permohonan SKB. Dari jumlah tersebut sebanyak 80% permohonan diterima sedangkan sisanya ditolak, terutama karena masalah persyaratan formal yang tidak dipenuhi dan adanya perbedaan data.

Untuk menghindari antrian di akhir tahun Ditjen Pajak mengimbau seluruh Wajib Pajak yang bermaksud memperoleh fasilitas pembebasan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diberikan fasilitas Pengampunan Pajak untuk segera mengajukan permohonan SKB ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar.

Kamis, 30 Maret 2017

Peraturan Tentang Tata Cara Pelaporan Harta Tambahan Pengampunan Pajak

Wajib Pajak yang telah mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dan telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak selanjutnya perlu menyampaikan laporan berkala berupa Laporan:
  1. pengalihan dan realisasi investasi Harta tambahan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi Wajib Pajak yang melakukan repatriasi harta tambahan; atau
  2. penempatan Harta tambahan bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan (deklarasi) Harta tambahan yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017 tanggal 29 Maret 2017 yang mengatur tentang Tata Cara Pelaporan dan Pengawasan Harta Tambahan Dalam Rangka Pengampunan Pajak untuk memberikan penegasan mengenai bagaimana tata cara pelaporan Harta Tambahan ini.

Laporan berkala yang harus disampaikan oleh Wajib Pajak selama 3 tahun tersebut di atas harus disampaikan:
  1. untuk penyampaian laporan tahun pertama paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017 (dalam hal ini berarti 31 Maret 2018 untuk WP OP atau 30 April 2018 untuk WP Badan).
  2. untuk penyampaian laporan tahun kedua paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 (dalam hal ini berarti 31 Maret 2019 untuk WP OP atau 30 April 2019 untuk WP Badan).
  3. untuk penyampaian laporan tahun ketiga paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2019 (dalam hal ini berarti 31 Maret 2020 untuk WP OP atau 30 April 2020 untuk WP Badan).

Rabu, 29 Maret 2017

Laporan Tahunan Penempatan Harta Pertama Dilaporkan Tahun 2018

Malam ini Direktur P2 Humas, Hestu Yoga Saksama, menyampaikan siaran pers mengenai pelaksanaan Amnesti Pajak. Salah satu hal yang disampaikan yang cukup penting untuk diketahui adalah mengenai Wajib Pajak yang mengikuti program Amnesti Pajak wajib untuk menyampaikan laporan penempatan harta (bagi harta deklarasi dalam negeri) dan/atau laporan pengalihan dan realisasi investasi (bagi harta repatriasi) secara berkala setiap tahun selama tiga tahun. Laporan pertama disampaikan paling lambat pada 31 Maret 2018 untuk Wajib Pajak orang pribadi, atau 30 April 2018 untuk Wajib Pajak badan.

Sebelumnya Suryo Utomo, Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak tetap membuka seluas-luasnya pelayanan Amnesti Pajak hingga hari terakhir pada tanggal 31 Maret 2017. Sejak tanggal 27 Maret 2017, Direktorat Jenderal Pajak membuka kantor sampai jam 21.00 waktu setempat untuk pemberian layanan Amnesti Pajak. Sedangkan pada tanggal 31 Maret 2017, Direktorat Jenderal Pajak akan membuka kantor hingga pukul 24.00 waktu setempat.

Dalam hal pencapaian yang telah raih dalam pelaksanaan Amnesti Pajak, disampaikan bahwa hingga kemarin, jumlah penerimaan dari Amnesti Pajak sudah mencapai Rp 123,64 Triliun yang terdiri dari uang tebusan Amnesti Pajak 110,01 Triliun, pembayaran tunggakan terkait Amnesti Pajak 12,56 Triliun, dan pembayaran Bukti Permulaan 1,06 Triliun. Dari jumlah tersebut, postur Wajib Pajak terbanyak yang membayar uang tebusan Amnesti pajak adalah Wajib Pajak non UMKM yaitu Rp 88 Triliun, disusul berturut-turut Wajib Pajak UMKM sebesr Rp 7 Triliun, oleh Wajib Pajak Badan Non UMKM sebesar Rp 13 Triliun, dan oleh Wajib Pajak Badan UMKM sebesar Rp 0,5 Triliun.

Sedangkan jumlah Surat Pernyataan Harta (SPH) yang disampaikan dalam rangka Amnesti Pajak adalah 831.976 SPH. Padahal Wajib Pajak peserta Amnesti Pajak adalah 832.631, sehingga ada Wajib Pajak yang menyampaikan lebih dari satu SPH atau dengan kata lain mengikuti Amnesti Pajak lebih dari sekali.

Dari jumlah SPH tersebut, total harta yang dideklarasikan adalah Rp 4668,77 Triliun dan menjadi basis pajak baru ke depannya. Komposisi dari harta yang terdapat dalam SPH adalah total deklarasi dalam negeri sebesar Rp 3.495 Triliun, deklarasi luar negeri sebesar Rp 1.027 T, dan repatriasi sebesar Rp 142 Triliun. Harta yang direpatriasi paling banyak berasal dari Singapura, Cayman Island, Hong Kong, BVI, dan China, sedangkan harta yang dideklarasi di luar negeri paling banyak berasal dari Singapura, BVI, Hongkong, Cayman Island, dan Australia.

Selain memberikan update terkait Amnesti Pajak, Suryo juga menjelaskan terkait isu yang beredar bahwa apabila wajib pajak tidak menyampaikan laporan penempatan harta (bagi harta deklarasi dalam negeri) dan/atau laporan pengalihan dan realisasi investasi (bagi harta repatriasi) secara berkala setiap tahun selama tiga tahun maka Amnesti Pajaknya akan batal. Hal ini salah belaka.

Dikutip dari: pajak.go.id

Peraturan yang mengatur tentang Laporan Tahunan Penempatan Harta Pengampunan Pajak ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017. Ketentuan ini dapat dibaca dan didownload di sini.

Selasa, 28 Maret 2017

Hari Ini Kantor Pajak Tetap Buka Layanan Walau Libur Nyepi

Hari ini, Selasa 28 Maret 2017 adalah merupakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939 yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari libur Nasional. Walaupun ditetapkan sebagai hari libur nasional, namun demi mensukseskan program Amnesti Pajak (Tax Amnesty) dan batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2016 yang keduanya akan segera berakhir tanggal 31 Maret 2017, maka Direktorat Jenderal Pajak menginstruksikan kepada seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kanwil Wilayah (Kanwil) DJP (kecuali untuk unit kerja yang berada di wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat) untuk membuka layanan pada hari ini.

Instruksi ini dituangkan dalam Surat Direktur P2Humas Nomor S-234/PJ.09/2017 tanggal 27 Maret 2017 tentang Pemberitahuan Penambahan Layanan. Dalam surat ini diberitahukan bahwa pada hari ini tanggal 28 Maret 2017, Direktorat Jenderal Pajak membuka layanan untuk penyampaian Amnesti Pajak dan Penyampaian SPT Tahunan PPh mulai pukul 08.00 sampai dengan 21.00 waktu setempat.

Namun pemberian layanan tambahan di tanggal 28 Maret 2017 ini dikecualikan untuk unit kerja yang berada di wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat.

Dengan demikian, bagi Pembaca Setia Tax Learning yang masih belum menyampaikan Amnesti Pajak dan SPT Tahunan PPh Tahun 2016, maka segeralah gunakan kesempatan untuk menyampaikannya pada hari ini hingga 4 hari ke depan sampai dengan 31 Maret 2017. Namun penulis menyarankan untuk menghindari antrian yang lama, maka sebaiknya bagi yang ingin menyampaikan SPT Tahunan PPh, agar menyampaikannya secara online melalui eFiling. Untuk melakukan hal ini, maka hari ini dapat digunakan kesempatan untuk meminta EFIN (yaitu nomor identitas khusus bagi Wajib Pajak untuk dapat mengakses layanan eFiling) ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat dengan membawa formulir aktivasi EFIN yang telah diisi dan dilampiri dengan fotokopi KTP dan NPWP.

Penyampaian SPT secara eFiling sangatlah mudah, efisien, efektif dan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam sehari.

Penulis juga mengucapkan kepada rekan-rekan segenap umat Hindu yang merayakan Nyepi, Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939.

Selasa, 07 Maret 2017

Penegasan Pengisian SPT Tahunan PPh Terkait Dengan SPH Pengampunan Pajak

Untuk memberikan penegasan lebih detail kepada Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan Harta Pengampunan Pajak (yang telah mengikuti Pengampunan Pajak) tentang bagaimana cara mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh terkait dengan Wajib Pajak yang telah mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-150/PJ.03/2017 tanggal 1 Maret 2017.

Dalam surat ini ditegaskan beberapa hal bagi Wajib Pajak yang telah mengikut program Pengampunan Pajak, antara lain:

1. Saat Pengakuan Harta dan Utang

Tambahan harta dan utang yang membentuk nilai harta bersih yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) dan telah diterbitkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP) diperlakukan sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang baru Wajib Pajak sesuai tanggal SKPP. Dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan, maka nilai harta bersih dimaksud dicatat sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca dan aktiva berwujud dan/atau tidak berwujud tidak dapat disusutkan dan/atau diamortisasi untuk tujuan perpajakan.

2. Pelaporan Harta dan Utang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Pelaporan harta utang dalam SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh SKPP adalah sebagai berikut:
  1. seluruh harta dan utang dalam SPH sertaharta dan utang yang diperoleh pada tahun 2016, dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi;
  2. harta pada lampiran A1 SPH dilaporkan pada tabel "Harta pada Akhir Tahun" sebagai berikut: tahun perolehan diisi dengan tahun perolehan yang sebenarnya; harga perolehan untuk kas dan setara kas diisi dengan nilai nominal pada akhir Tahun Pajak; harta selain kas diisi dengan harga perolehan harta pada saat harta dimaksud diperoleh;
  3. Utang pada lampiran A2 SPH dilaporkan pada tabel "Kewajiban/Utang pada Akhir Tahun" sebagai berikut: tahun peminjaman diisi dengan tahun peminjaman yang sebenarnya; jumlah diisi dengan sisa utang pada akhir Tahun Pajak yang bersangkutan yang masih harus dilunasi (termasuk utang bunga);
  4. Harta pada Lampiran B1, C1, D1 SPH dilaporkan pada tabel "Harta pada Akhir Tahun" sebagai berikut: terhadap harta pada C1 yang direpatriasi ke dalam NKRI, pada SPT diisi dengan harta yang diperoleh setelah pengalihan tersebut yang diperkenankan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; tahun perolehan diisi dengan tahun SKPP diterbitkan; harga perolehan untuk harta berupa kas atau setara kas diisi dengan nilai nominal pada akhir Tahun Pajak. Dalam hal harta berupa kas atau setara kas ini dalam bentuk mata uang selain Rupiah, nilai nominal dihitung dengan kurs pada akhir Tahun Pajak; harta selain kas diisi dengan nilai wajar harta dala mata uang rupiah sesuai lampiran B1, C1, D1 SPH.
  5. Utang pada lampiran B2, C2, D2 SPH dilaporkan pada tabel "Kewajiban/Utang pada Akhir Tahun" sebagai berikut: tahun peminjaman diisi dengan tahun SKPP diterbitkan; jumlah diisi dengan sisa utang pada akhir Tahun Pajak yang bersangkutan yang masih harus dilunasi (termasuk utang bunga);
  6. Keterangan seperti lokasi harta dan nomor dokumen pada SPH dicantumkan dalam kolom Nama Harta atau kolom Keterangan pada tabel "Harta pada Akhir Tahun".

Perhatian: Ada Perubahan Pada Formulir untuk Tax Amnesty

Beberapa hari terakhir ini Penulis menemui banyak Wajib Pajak yang ingin mengikuti program Tax Amnesty mengalami kekecewaan karena berkas Surat Pernyataan Harta (SPH) beserta lampiran yang disampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ditolak oleh petugas penerima maupun peneliti Amnesti Pajak di beberapa KPP.

Setelah diusut, ternyata petugas penerima atau peneliti Amnesti Pajak yang menolak berkas SPH yang disampaikan Wajib Pajak adalah karena bentuk formulir yang diisi oleh Wajib Pajak tersebut adalah masih menggunakan formulir lama berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK03/2016. Pedoman teknis pengisian Formulir SPH dan lampiran sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini (sesuai Pasal 50 PMK 118/PMK.03/2016) diatur lebih lanjut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2016

Namun sejak tanggal 19 Desember 2016, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2016 yang mengubah PER-07/PJ/2016. Ternyata perubahan yang dilakukan pada PER-26/PJ/2016 ini bukan saja mengubah pedoman teknis pengisian, namun juga mengubah bentuk Formulir SPH dan salah satu lampiran surat pernyataan.

Akibat dari perubahan inilah, yang mengakibatkan banyak Wajib Pajak yang harus bolak balik karena formulir SPH yang disampaikan masih menggunakan bentuk formulir lama. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis bahkan ada Wajib Pajak yang sampai bolak balik 3 kali karena petugas KPP yang memberikan informasi tidak menyeluruh dan Wajib Pajak ini menjadi kesal atas hal tersebut.

Untuk mengantisipasi kesalahan penggunaan bentuk formulir ini, maka berikut ini penulis sajikan formulir SPH beserta Lampirannya yang terbaru sesuai dengan PER-26/PJ/2016 yang dapat didownload di sini.

Bagian formulir yang mengalami perubahan adalah: SPH dan Surat Pernyataan Tidak Mengalihkan Harta Tambahan Yang Telah Berada di NKRI ke Luar Negeri.

Kamis, 29 Desember 2016

Tax Amnesty Periode Kedua Akan Berakhir 31 Desember 2016

Pelaksanaan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) periode kedua akan berakhir 2 hari lagi yaitu pada tanggal 31 Desember 2016. Sebagaimana kita ketahui bahwa Tax Amnesty yang berlaku sejak 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017 dalam pelaksanaannya terbagi menjadi 3 periode. Pada periode kedua ini, tarif uang tebusan yang diterapkan untuk Tax Amnesty periode kedua ini adalah:
  1. 3% untuk harta yang dideklarasi di Dalam Negeri dan direpatriasi ke Dalam Negeri bagi non UMKM.
  2. -6% untuk harta yang dideklarasi di Luar Negeri dan tidak dibawa ke Dalam Negeri bagi non UMKM.
  3. 0,5% untuk harta yang dideklarasi di DN/LN dan repatriasi bagi UMKM dengan jumlah total harta sampai dengan Rp 10 miliar.
  4. 2% untuk harta yang dideklarasi di DN/LN dan repatriasi bagi UMKM dengan jumlah total harta lebih dari Rp 10 miliar.
Sehubungan akan berakhirnya periode kedua pelaksanaan Tax Amnesty ini, maka Pemerintah akan memaksimalkan pelayanan kepada Wajib Pajak terkait pelaksanaan Tax Amnesty ini, maka Menteri Keuangan telah meminta kepada Bank/Pos Persepsi untuk memperpanjang jam layanan loket penyetoran penerimaan Negara pada:
  1. tanggal 30 Desember 2016 minimal hingga pukul 21.00 waktu setempat; dan
  2. tanggal 31 Desember 2016 minimal hingga pukul 15.00 waktu setempat.
Untuk kepastian mengenai waktu layanan yang diberikan oleh Bank/Pos Persepsi ini, maka Wajib Pajak diharapkan untuk melakukan konfirmasi kepada pihak Bank/Pos Persepsi terkait terlebih dahulu untuk memastikan jam layanan pada kedua hari tersebut. Direktorat Jenderal Pajak sendiri akan memberikan layanan penerimaan Surat Pernyataan Harta (SPH) Pengampunan Pajak pada tempat khusus (Kantor Pusat DJP, Kanwil DJP, dan Tempat Khusus Lainnya):
  1. tanggal 29 dan 30 Desember 2016 hingga pukul 21.00 waktu setempat; dan
  2. tanggal 31 Desember 2016 hingga pukul 23.59 waktu setempat.
Di tempat khusus untuk pelayanan penerimaan SPH Pengampunan Pajak ini dapat menerima SPH yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang terdaftar di seluruh Indonesia. Hingga saat ini lebih dari 563 ribu Wajib Pajak telah mengikuti Tax Amnesty. Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang hingga saat ini masih belum mengikuti program Tax Amnesty ini dan berminat untuk mengikutinya, maka penulis menyarankan agar segera memanfaatkan kesempatan ini hingga tanggal 31 Desember 2016 sebelum tarif uang tebusannya naik.

Selamat Tahun Baru 1 Januari 2017

Rabu, 14 Desember 2016

Mahkamah Konstitusi Menolak Gugatan Terhadap UU Pengampunan Pajak

Mahkamah Konstitusi hari ini (14 Desember 2016) menolak permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam pembacaan putusannya, Ketua Majelis MK, Arief Hidayat, menyebutkan bahwa "Mahkamah menolak permohonan pemohon untuk keseluruhannya".

Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ini diundangkan, beberapa kelompok masyarakat langsung mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang ini. Ada 4 kelompok masyarakat yang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang ini, yaitu:
  1. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia yang diajukan melalui Berkas Permohonan No. 116/PAN.MK/VII/2016 tanggal 13 Juli 2016
  2. Yayasan Satu Keadilan yang diajukan melalui Berkas Permohonan No. 117/PAN.MK/2016 tanggal 13 Juli 2016
  3. Leni Indrawati, Hariyanto dan Wahyu Mulyana Putra yang diajukan melalui Berkas Permohonan No. 118/PAN.MK/2016 tanggal 20 Juli 2016
  4. Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Dewan Pimpinan Pusat Partai Buruh (DPP PB) yang diajukan melalui Berkas Permohonan No. 129/PAN.MK/VII/2016 tanggal 28 Juli 2016

Setelah melakukan persidangan sejak 4 bulan lalu, maka pada hari ini, 14 Desember 2016, Majelis MK memutuskan untuk menolak permohonan uji materi dari ke-4 kelompok masyarakat tersebut untuk seluruhnya. Hasil putusan atas keempat permohonan ini tertuang dalam Putusan MK:
  1. Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016
  2. Putusan Nomor 58/PUU-XIV/2016
  3. Putusan Nomor 59/PUU-XIV/2016
  4. Putusan Nomor 63/PUU-XIV/2016

Sabtu, 01 Oktober 2016

Catatan atas Pelaksanaan Pengampunan Pajak Periode Pertama

Pelaksanaan Pengampunan Pajak Periode Pertama telah berakhir kemarin tanggal 30 September 2016. Selama 3 bulan pelaksanaannya, para Petugas Pajak, Wajib Pajak dan pihak-pihak yang terkait dalam membantu Wajib Pajak menyiapkan Surat Pernyataan Harta Pengampunan Pajak (seperti konsultan pajak, akuntan publik, konsultan jasa akuntansi, karyawan dan staf Wajib Pajak dan lainnya) telah bersusah payah dalam menyiapkan dan memberikan pelayanan penerimaan penyampaian Surat Pernyataan Harta Pengampunan Pajak. Bahkan sampai harus bekerja dengan tambahan waktu (lembur) seperti yang dialami oleh para Petugas di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, karyawan dan staf Wajib Pajak dan para konsultan pajak.

Hingga 30 September 2016, secara bersama-sama antara Pemerintah (khususnya seluruh jajaran pegawai di Direktorat Jenderal Pajak) dan Wajib Pajak berhasil mewujudkan program Pengampunan Pajak untuk periode pertama ini dengan capaian yang cukup menggembirakan. Walaupun diwarnai dengan beberapa kekurangan dalam memberikan pelayanan kepada para Wajib Pajak yang akan menyampaikan Surat Pernyataan Harta, proses pelaksanaan Pengampunan Pajak ini dapat dikatakan berhasil. Berikut ini adalah data realisasi penerimaan Pengampunan Pajak hingga 30 September 2016 yang penulis peroleh dari Dashboard Amnesti Pajak di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak:

Realisasi penerimaan berdasarkan Surat Setoran Pajak yang diterima adalah:
  1. Uang Tebusan Pengampuan Pajak sebesar Rp 93,74 triliun
  2. Setoran Penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan sebesar Rp 0,35 triliun
  3. Pembayaran Tunggakan Pajak sebesar Rp 3,06 triliun
  4. Sehingga totalnya adalah sebesar Rp 97,16 triliun

Sedangkan realisasi berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH) yang telah disampaikan:
  1. Jumlah Surat Pernyataan Harta (SPH) sebanyak 372.110 SPH
  2. Jumlah Wajib Pajak yang menyampaikan SPH sebanyak 366.768 WP
  3. Jumlah Harta sebesar Rp 3.620,47 triliun
  4. Jumlah Tebusan berdasarkan SPH yang diterima sebesar Rp 89,15 triliun
Penulis memberikan apresiasi dan penghargaan yang besar atas kesungguhan rekan-rekan di jajaran Direktorat Jenderal Pajak selama 3 bulan ini membuka pelayanan penerimaan SPH bahkan pada hari Sabtu dan Minggu, serta di hari-hari terakhir bahkan di beberapa kantor membuka pelayanan hingga tengah malam. Di bawah tekanan tinggi seperti kendala sulitnya mengupload file Daftar Harta dan Utang ke dalam server Amnesti Pajak, membludaknya Wajib Pajak yang akan menyampaikan SPH, harus bekerja di luar jam kerja, hingga komplain dari Wajib Pajak atas pelayanan yang diberikan kepada mereka.

Mulai hari ini hingga 31 Desember 2016 kita memasuki periode kedua Pengampunan Pajak. Setelah itu masih ada periode ketiga (terkahir) yang akan berakhir pada tanggal 31 Maret 2017. Semoga dalam setengah tahun ke depan ini, Direktorat Jenderal Pajak dapat terus memperbaiki segala kekurangan yang timbul pada periode pertama, sehingga proses Pengampunan Pajak selanjutnya akan lebih lancar dan target yang dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pajak ini juga akan tercapai.

Jumat, 30 September 2016

Periode Pertama Tax Amnesty Berakhir Hari Ini

Hari ini, Jumat, 30 September 2016 adalah hari terakhir bagi Wajib Pajak yang akan menyampaikan Surat Pernyataan Harta (SPH) untuk mengikuti Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) periode pertama. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016, mulai tanggal 1 Oktober 2016 penyampaian SPH sudah memasuki periode kedua, dimana besarnya tarif Uang Tebusan akan naik menjadi:
  1. Untuk deklarasi Dalam Negeri dan Repatriasi, tarif uang tebusannya adalah 3%;
  2. Untuk deklarasi Luar Negeri, tarif uang tebusannya adalah 6%

Beberapa hari terakhir beredar kabar di masyarakat bahwa periode pertama tax amnesty diperpanjang hingga tanggal 31 Desember 2016. Namun kabar yang beredar ini sebenarnya adalah kabar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena sebenarnya batas waktu penyetoran Uang Tebusan dan Penyampaian Surat Pernyataan Harta untuk periode pertama adalah tetap pada tanggal 30 September 2016. Hanya saja apabila Wajib Pajak yang menyampaikan SPH hingga tanggal 30 September 2016 dan ternyata mengalami beberapa kendala dan kekurangan dokumen yang harus disampaikan (seperti surat pernyataan atau dokumen pendukung), maka dokumen-dokumen ini dapat disusulkan dan kepada Wajib Pajak hanya diberikan tanda terima sementara dahulu.

Oleh sebab itu, bagi Wajib Pajak yang ingin mengikuti program tax amnesty periode pertama, maka perlu dicatat bahwa batas waktu penyetoran dan penyampaian SPH adalah hari ini tanggal 30 September 2016. Sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak pada hari ini akan tetap melayani Wajib Pajak hingga pukul 23.59 waktu setempat dengan catatan apabila antrian Wajib Pajak yang melaporkan masih sangat panjang.

Jumat, 12 Agustus 2016

Jenis Asuransi Yang Harus Dilaporkan Sebagai Harta

Saat ini hampir seluruh masyarakat di Indonesia sangat antusias dengan Program Amnesti Pajak (Pengampunan Pajak) yang sedang berjalan. Antusiasme yang timbul dari masyarakat untuk mengikuti Program Amnesti Pajak ini adalah akibat masih banyaknya Wajib Pajak yang kurang melaporkan harta yang dimilikinya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi mereka. Akibat dari kurang dilaporkannya harta di dalam SPT tersebut dapat mengakibatkan bahwa Wajib Pajak tersebut akan dianggap kurang melaporkan penghasilannya apabila suatu saat nanti diketemukan adanya harta yang belum dilaporkan oleh pihak aparat pajak (fiskus).

Kekurangan pelaporan harta yang dilakukan oleh Wajib Pajak ini sebagian mungkin disebabkan oleh faktor kesengajaan dari Wajib Pajak sendiri untuk tidak melaporkan hartanya karena berniat untuk menyembunyikan penghasilannya supaya tidak dikenakan pajak, atau dapat juga disebabkan karena adanya faktor ketidakmengertian dari Wajib Pajak akan kriteria dan definisi harta yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Pembayaran Asuransi Sebagai Harta

Beberapa waktu ini Penulis banyak sekali mendapatkan pertanyaan dari Pembaca Setia Tax Learning mengenai apakah asuransi yang mereka miliki adalah termasuk sebagai harta dan harus dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi pada bagian Harta. Karena ternyata saat ini hampir sebagian besar Wajib Pajak tidak menyadari bahwa ada jenis asuransi yang dimilikinya tersebut adalah merupakan harta dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.

Pada tulisan berikut ini, penulis akan mengulas mengenai jenis asuransi apakah yang dapat dikategorikan sebagai harta dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Penegasan Asuransi sebagai Harta

Memang dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, tidak menjelaskan mengenai definisi harta, namun hanya mencontohkan jenis-jenis harta. Sejak tahun pajak 2014, barulah dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun 2014 ditetapkan adanya kelompok-kelompok harta berdasarkan kode harta yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014. Namun kelompok-kelompok harta yang ditetapkan ini juga tidak menyebutkan adanya harta yang berupa asuransi. Sehingga biasanya jika ada harta berbentuk asuransi, oleh Penulis dikelompokkan ke dalam kode harta 039 yaitu Investasi Lainnya.

Jenis-Jenis Asuransi

Berdasarkan penelusuran Penulis dari beberapa artikel di internet, jenis-jenis asuransi yang ada terdiri dari (sumber: https://www.cermati.com/artikel/jenis-jenis-asuransi-di-indonesia-apa-saja, http://www.artikel.web.id/asuransi/jenis-jenis-asuransi-di-indonesia.html dan https://www.cermati.com/artikel/asuransi-jiwa-terbaik-apa-dan-bagaimana-memilihnya):

1. Asuransi Jiwa

Asuransi Jiwa terbagi menjadi jenis asuransi yang akan memberikan pembayaran pada saat tertanggung meninggal dunia atau jenis asuransi yang memungkinkan tertanggung untuk mengklaim dana sebelum meninggal dunia.

2. Asuransi Kesehatan

Asuransi kesehatan merupakan produk asuransi yang menangani masalah kesehatan tertanggung karena suatu penyakit serta menanggung biaya proses perawatan. Umumnya, penyebab sakit tertanggung yang biayanya dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi adalah cedera, cacat, sakit, hingga kematian karena kecelakaan.

3. Asuransi Kendaraan

Asuransi kendaraan adalah jenis asuransi untuk perlindungan kendaraan bermotor dari risiko kehilangan, kerusakan mobil tertanggung maupun mobil pihak ketiga yang diakibatkan oleh mobil tertanggung.

4. Asuransi kepemilikan Rumah Dan Properti

Asuransi jenis ini akan memberikan perlindungan kepada pemilik rumah untuk melindungi diri dan aset miliknya yang bisa berupa rumah atau properti pribadi. Asuransi ini memberikan proteksi terhadap kehilangan atau kerusakan yang mungkin terjadi pada barang-barang tertentu milik pribadi tertanggung. Asuransi ini juga melindungi dan memberikan keringanan bilamana rumah atau properti tertanggung lainnya mengalami musibah seperti kebakaran.

5. Asuransi Pendidikan

Asuransi jenis ini akan memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik terutama pada aset pendidikan anak. Biaya premi yang harus dibayarkan tertanggung kepada perusahaan asuransi berbeda-beda sesuai dengan tingkatan pendidikan yang ingin didapatkan nantinya.

6. Asuransi Bisnis

Asuransi ini merupakan layanan proteksi terhadap kerusakan, kehilangan, maupun kerugian dalam jumlah besar yang mungkin terjadi pada bisnis seseorang. Asuransi ini memberikan penggantian dari kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran, ledakan, gempa bumi, petir, banjir, angin ribut, hujan, tabrakan, hingga kerusuhan. Perusahaan asuransi biasanya menawarkan berbagai macam manfaat dari asuransi bisnis seperti perlindungan terhadap karyawan sebagai aset bisnis, perlindungan investasi dan bisnis, asuransi jiwa menyeluruh untuk seluruh karyawan, hingga paket perlindungan asuransi kesehatan bagi karyawan.

7. Asuransi Umum

Asuransi umum atau general insurance merupakan proteksi terhadap resiko atas kerugian maupun kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum pada pihak ketiga. Jaminan asuransi umum ini sifatnya jangka pendek (biasanya sekitar satu tahun).

8. Asuransi Perjalanan

Manfaat dan perlindungan yang akan diperoleh dari asuransi ini antara lain mendapat proteksi dan penanggungan biaya untuk kecelakaan yang menimpa pembeli premi, santunan kecelakaan pribadi, tanggungan biaya pengobatan darurat, pemulangan jenazah, evakuasi medis, hingga proteksi terhadap barang-barang bawaan yang memiliki resiko hilang atau rusak.

Dari keseluruhan jenis-jenis asuransi tersebut di atas, pada umumnya asuransi terbagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu asuransi yang bersifat sebagai expense (biaya) dan asuransi yang bersifat sebagai investasi.

Ciri-ciri asuransi yang berbentuk biaya adalah pihak tertanggung yang mengikuti asuransi tersebut membayarkan premi asuransi hanyalah untuk jaminan apabila terjadi suatu kejadian sesuai dengan yang ditanggung oleh asuransi tersebut. Ketika terjadi kejadian, maka perusahaan asuransi akan membayarkan klaim asuransi kepada Tertanggung maupun Ahli Warisnya. Peserta asuransi jenis ini tidak akan memperoleh pembayaran apapun apabila tidak mengalami kejadian sesuai yang ditanggung oleh asuransi tersebut. Contoh asuransi jenis biaya ini adalah asuransi kesehatan, asuransi perjalanan, asuransi umum, asuransi bisnis, asuransi rumah/properti, asuransi kendaraan bermotor.

Sedangkan ciri-ciri asuransi yang berbentuk investasi, biasanya premi yang dibayarkan oleh peserta asuransi sebagian akan dialokasikan sebagai premi untuk tanggungan asuransi serta sebagaian lagi akan ditempatkan sebagai investasi yang kelak ketika asuransi tersebut telah jatuh tempo, pihak Tertanggung (peserta asuransi) akan memperoleh return (pengembalian) dari investasi yang telah ditanamkan dalam asuransi tersebut yang biasanya disebut sebagai unit link. Contoh asuransi jenis investasi ini antara lain: asuransi pendidikan, asuransi jiwa, asuransi kesehatan berbentuk unit link.

Simpulan

Jika melihat dari jenis dan manfaat yang akan diperoleh dari asuransi, maka untuk asuransi yang berbentuk investasi dapat dikategorikan sebagai Harta dan perlu dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya. Porsi pembayaran premi asuransi yang dialokasikan sebagai investasi harus diakui sebagai harta dan dilaporkan dalam Bagian Harta pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Sedangkan pembayaran premi asuransi untuk jenis biaya tidak perlu diakui sebagai harta, karena dengan sendirinya pembayaran premi asuransi tersebut akan menjadi hangus (hanya sebagai biaya saja) apabila tidak ada kejadian yang dialami oleh pihak Tertanggung.

Namun apabila pihak Tertanggung mengalami kejadian sesuai dengan risiko yang ditanggung oleh asuransi tersebut dan memperoleh klaim asuransi, maka atas pembayaran klaim asuransi tersebut akan diakui sebagai Penghasilan yang bukan merupakan objek Pajak Penghasilan.
(c) http://syafrianto.blogspot.co.id

Jumat, 05 Agustus 2016

Instruksi Penghentian Pemeriksaan Untuk Mendukung Pelaksanaan Pengampunan Pajak

Dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, maka pada tanggal 3 Agustus 2016 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan instruksi terkait dengan pemeriksaan pajak melalui Instruksi Nomor Ins-03/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Dalam instruksi yang ditujukan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, seluruh Kepala Kantor Wilayah Direktoran Jenderal Pajak, dan seluruh Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk:

Tidak menerbitkan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan dan/atau Surat Perintah Pemeriksaan baru sejak tanggal 3 Agustus 2016 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017, kecuali atas Pemeriksaan SPT Lebih Bayar Restitusi atau Pemeriksaan yang terkait dengan pelayanan kepada Wajib Pajak.

Terhadap Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan yang telah diterbitkan namun pemeriksaannya belum dimulai, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) diminta untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Mengusulkan pembatalan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan;
  2. Pembatalan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak sesuai tata cara yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan;
  3. Penandatanganan pembatalan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan ini dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan terhadap Instruksi Pemeriksaan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan; serta Kepala Kantor Wilayah DJP terhadap Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan yang diterbitkan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Pajak, Kepala UP2 memberikan informasi kepada Wajib Pajak tentang kebijakan Pengampunan Pajak.

Dalam hal Wajib Pajak yang sedang diperiksa ini mengikuti kebijakan Pengampunan Pajak, pelaksanaan Pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai tata cara yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengampunan Pajak.

Laporan Penghentian Pemeriksaan dalam rangka Pengampunan Pajak dihitung sebagai kinerja pemeriksaan Tim Pemeriksa Pajak dengan perhitungan bobot konversi laporan sebesar 100% dari bobot konversi sesuai ketentuan dalam Surat Edaran yang mengatur mengenai Rencana, Strategi, dan Pengukuran Kinerja Pemeriksaan.

Uang tebusan yang diperoleh dari Wajib Pajak yang Pemeriksaannya dibatalkan atau dihentikan dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak dihitung sebagai kenerja Pemeriksaan.

Instruksi ini berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2016 hingga 31 Maret 2017.