..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Penyidikan Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penyidikan Pajak. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Januari 2013

Kebijakan Baru Mengenai Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan

Untuk menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Wajib Pajak sehingga akan dilakukan tindakan penyidikan selama ini diawali dengan serangkaian Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan selama ini, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, menggunakan metode yang hampir sama dengan tata cara pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan Wajib Pajak.

Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan selama ini umumnya dilakukan dengan menyampaikan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak yang menjadi sasaran pemeriksaan Bukti Permulaan. Namun dalam ketentuan baru mengenai tata cara pemeriksaan Bukti Permulaan, pemeriksaan dapat juga dilakukan secara tertutup melalui kegiatan intelijen.

Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan bukti permulaan yang baru dan akan mulai berlaku tanggal 1 Februari 2013 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Dalam ketentuan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013, pelaksanaan Pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dilakukan:
-secara terbuka; atau
-secara tertutup

Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak. Sedangkan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak.

Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilakukan secara terbuka dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut terkait dengan:
-permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP; atau
-tindak lanjut dari Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.

Kamis, 30 Agustus 2012

Perubahan Ketentuan Tata Cara Penghentian Penyidikan

Proses Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh pihak Penyidik Pajak terhadap Wajib Pajak yang diindikasikan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 44B Undang-Undang KUP. Penghentian Penyidikan ini dilakukan berdasarkan atas permintaan Menteri Keuangan kepada Jaksa Agung sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Penghentian penyidikan ini dilakukan dengan pertimbangan untuk Kepentingan Penerimaan Negara dan hanya dapat dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan tersebut.

Prosedur dan tata cara penghentian penyidikan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Selama ini Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tata cara penghentian penyidikan adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.03/2009 (artikelnya baca di sini) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2011. Sejak tanggal 7 Agustus 2012, kedua Peraturan Menteri Keuangan ini dicabut dan digantikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.03/2012 tanggal 7 Agustus 2012 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
uProsedur dan tata cara penghentian penyidikan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah sebagai berikut.

Pengajuan Permohonan Tertulis dari Wajib Pajak
Proses penghentian penyidikan ini diawali dengan pengajuan permohonan secara tertulis dari Wajib Pajak kepada Menteri Keuangan dengan memberikan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan Tertulis yang diajukan oleh Wajib Pajak (formatnya sesuai dengan contoh pada Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.03/2012) ini harus dilampiri dengan pernyataan tertulis yang berisi pengakuan bersalah dan bukti tertulis mengenai penyerahan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account (formatnya sesuai dengan contoh pada Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.03/2012).

Besarnya jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account ini adalah jumlah kerugian pada pendapatan negara sebesar:
  1. jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan; atau
  2. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak,
ditambah jumlah sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara tersebut. Jumlah ini dihitung berdasarkan berita acara pemeriksaan ahli yang dilakukan sebelum pengajuan permintaan penghentian penyidikan oleh Menteri Keuangan pada Jaksa Agung.

Untuk mengetahui besarnya jumlah kerugian negara tersebut, Wajib Pajak harus meminta informasi secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dan pihak Direktorat Jenderal Pajak wajib memberikan informasi tertulis mengenai kerugian pada pendapatan negara beserta besarnya sanksi administrasi.

Jaminan Pelunasan dalam Bentuk Escrow Account
Escrow account sebagai jaminan pelunasan atas jumlah kerugian pada pendapatan negara dibuat berdasarkan perjanjian pengelolaan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk dan diketahui oleh bank pembuka escrow account. Bentuk dan isi perjanjian pengelolaan escrow account ini ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak dan paling sedikit harus memuat hal-hal mengenai:
  1. identitas para pihak dan bank pembuka escrow account;
  2. waktu dan tempat perjanjian;
  3. jumlah jaminan pelunasan;
  4. biaya escrow account;
  5. prosedur pencairan jaminan; dan
  6. penyelesaian perselisihan.

Biaya yang timbul sehubungan dengan pembukaan dan pengelolaan escrow account ditanggung oleh Wajib Pajak demikian juga dengan penghasilan yang diterima dari escrow account tersebut menjadi hak Wajib Pajak.

Prosedur yang Dilakukan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak Dalam Rangka Permintaan Penghentian Penyidikan
Setelah menerima permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan menyampaikan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk meneliti dan memberikan pendapat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Atas permintaan dari Menteri Keuangan ini, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan hasil penelitian dan pendapat secara tertulis kepada Menteri Keuangan yang paling sedikit memuat:
  1. nama Wajib Pajak;
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. nama tersangka;
  4. kedudukan/jabatan tersangka;
  5. Masa Pajak dan/atau Tahun Pajak;
  6. tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan;
  7. tahapan perkembangan Penyidikan;
  8. jumlah kerugian pada pendapatan negara;
  9. jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account; dan
  10. pendapat dari Direktur Jenderal Pajak.

Setelah mempertimbangkan hasil penelitian dan pendapat dari Direktur Jenderal Pajak, Menteri Keuangan memutuskan untuk menyetujui atau menolak permohonan Wajib Pajak untuk penghentian penyidikan ini.

Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui permohonan Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memerintahkan Wajib Pajak agar mencairkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account untuk melunasi sejumlah kerugian pada pendapatan negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Setelah menerima SSP, Menteri Keuangan menyampaikan surat permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung disertai dengan SSP dimaksud.

Dalam hal Menteri Keuangan menolak permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak.

Keputusan Penghentian Penyidikan dari Jaksa Agung
Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan berdasarkan permintaan Menteri Keuangan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak surat permintaan penghentian Penyidikan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan. Keputusan dari Jaksa Agung ini disampaikan secara tertulis kepada Menteri Keuangan.

Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung berupa menerima permintaan penghentian Penyidikan, keputusan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Menteri Keuangan kepada Wajib Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal keputusan dari Jaksa Agung berupa menolak permintaan penghentian Penyidikan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
-Keputusan dari Jaksa Agung tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Menteri Keuangan kepada Wajib Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak dan dijadikan dasar bagi Direktur Jenderal Pajak untuk mengembalikan jaminan pelunasan yang telah dicairkan; dan
-proses Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan terhadap Wajib Pajak dilanjutkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal berkas permintaan penghentian Penyidikan dikembalikan oleh Kejaksaan Agung untuk dilengkapi dan/atau diperbaiki, Menteri Keuangan menyampaikan kembali surat permintaan penghentian Penyidikan kepada Jaksa Agung dan jangka waktu 6 (enam) bulan bagi Jaksa Agung untuk dapat menghentikan Penyidikan dimulai sejak tanggal surat permintaan tersebut disampaikan.

Saat Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Ini
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.03/2012 ini berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu sejak tanggal 7 Agustus 2012.

(c) http://syafrianto.blogspot.com

Rabu, 26 Oktober 2011

Ditjen Pajak Telah Menjalin Kerjasama Dengan PPATK untuk Cegah Tindak Pidana Perpajakan





Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) masih menghadapi kendala dalam membongkar tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui kegiatan pencucian uang (money laundering). Hal ini disebabkan karena akses untuk mendapatkan data mengenai transaksi keuangan di perbankan sulit untuk diperoleh akibat adanya Undang-Undang tentang Kerahasiaan Bank. Akibat sulitnya otoritas pajak dalam memperoleh data transaksi keuangan melalui perbankan, menyebabkan banyak tindak pidana perpajakan yang dilakukan melalui transaksi perbankan. Sebenarnya tindak pidana perpajakan adalah merupakan salah satu tindakan awal dari tindak pidana pencucian uang (tindak pidana asal/predicate crime). Oleh karena itu, antara kegiatan pencucian uang dengan tindak pidana perpajakan memiliki korelasi yang sangat erat.

Saat ini masalah tindakan pidana pencucian uang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dalam ketentuan ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah ditunjuk sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan analisis atas kegiatan transaksi keuangan yang diperoleh dari berbagai instansi termasuk perbankan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan. Namun selama ini, dalam melakukan analisis atas transaksi keuangan yang mencurigakan ini, PPATK tidak memiliki akses untuk mendapatkan data dari Ditjen Pajak atas informasi yang dilaporkan dalam SPT Tahunan/Masa yang disampaikan akibat adanya ketentuan kerahasiaan Wajib Pajak sesuai ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Walaupun demikian, selama ini antara Ditjen Pajak dengan PPATK telah terjalin kerjasama secara tidak formal, dimana apabila ada data transaksi keuangan yang mencurigakan hasil analisis PPATK yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana perpajakan, maka pihak PPATK akan mengirimkan data tersebut ke Ditjen Pajak untuk ditindaklanjuti.

Untuk lebih meningkatkan pengawasan terhadap adanya tindakan pidana pencucian uang dan tindak pidana di bidang perpajakan, maka Ditjen Pajak dan PPATK telah menjalin kerjasama melalui penandatangan kesepakatan kerjasama/Memorandum of Understanding (MoU) antara Ditjen Pajak dan PPATK dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana di bidang perpajakan. MoU yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany dan Kepala PPATK Yunus Husein pada tanggal 19 Oktober 2011 di Gedung PPATK, Jakarta ini diharapkan dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian dan menurunkan tingkat kriminalitas.

Dengan ditandatanganinya MoU ini maka diharapkan antara Ditjen Pajak dan PPATK dapat meningkatkan sinergi dan keterpaduan, baik dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Ruang lingkup yang diatur dalam MoU ini meliputi:
  1. pertukaran data dan/atau informasi,
  2. perumusan peraturan perundang-undangan,
  3. penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan,
  4. pengembangan sistem teknologi informasi,
  5. penugasan pegawai Ditjen Pajak pada PPATK, dan
  6. kajian, sosialisasi, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan.
Apabila kita cermati atas ruang lingkup dari kerjasama ini, maka hal yang baru yang cukup berperan dalam melakukan pengungkapan tindak pidana perpajakan oleh Ditjen Pajak adalah adanya kerjasama dengan PPATK dalam hal penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan serta penugasan pegawai Ditjen Pajak pada PPATK. Dengan adanya kedua ruang lingkup kerjasama ini akan semakin memudahkan bagi Ditjen Pajak dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana perpajakan karena akses untuk menganalisis transaksi keuangan di perbankan yang selama ini dilakukan oleh PPATK sudah dapat diakses oleh Ditjen Pajak karena adanya kerjasama ini.

Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan adanya MoU ini mengakibatkan Undang-Undang tentang jaminan kerahasiaan bank menjadi hilang? Jika menurut penulis, sebenarnya jaminan kerahasiaan bank tetap berlaku sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. UU Nomor 25 Tahun 2003 memberi wewenang kepada PPATK hanya untuk melakukan analisis atas kegiatan transaksi keuangan yang mencurigakan. Dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2003 menegaskan bahwa ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya tidak berlaku bagi penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Pada Pasal 10A UU Nomor 25 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa semua dokumen dan/atau keterangan yang diperoleh pejabat atau pegawai PPATK dalam rangka analisis ini wajib dijaga kerahasiaannya.

Sebenarnya selama ini ketentuan mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan tidak berlaku apabila akan digunakan untuk kepentingan perpajakan. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 2 ayat (4) huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tanggal 7 September 2000.

Jadi kekhawatiran yang muncul di masyarakat saat ini bahwa dengan adanya MoU antara Ditjen Pajak dan PPATK saat ini otomatis akan membuka semua rahasia bank sebagaimana yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Kerahasiaan bank hanya akan dibuka apabila ternyata dari transaksi keuangan yang terjadi melalui perbankan dicurigai memiliki potensi tindak pidana (baik tindak pidana di bidang perpajakan maupun tindak pidana pencucian uang). Memang benar bahwa dengan adanya kerjasama ini akan membuat pengawasan yang selama ini dilakukan oleh masing-masing pihak, baik DJP maupun PPATK, atas tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat dapat dikoordinasikan lebih baik dengan data yang lebih terintegrasi. Hal ini akan meningkatkan kinerja Ditjen Pajak dalam mengungkap tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Jadi janganlah khawatir dengan adanya MoU ini, karena sesuai dengan semboyan di dunia perbankan: “Kalau bersih, kenapa harus risih?


Sumber: Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Tanggal 19 Oktober 2011 atau dokumennya asli di sini.

Rabu, 29 September 2010

Tata Cara Pengembangan dan Analisis IDLP

IDLP adalah singkatan dari Informasi, Data, Laporan dan Pengaduan. Istilah ini dapat kita temukan dalam Pasal 43A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). IDLP yang diterima oleh Direktur Jenderal Pajak akan dianalisis dan dikembangkan melalui serangkaian kegiatan untuk menemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan. Apabila hasil pengembangan dan analisis terhadap IDLP tersebut dapat mengindikasikan adanya bukti permulaan tentang suatu tindak pidana di bidang perpajakan, maka terhadap IDLP ini dapat dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Prosedur dan tata cara pengembangan dan analisis IDLP ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2010 tanggal 4 Agustus 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan.

Dalam Pasal 1 ketentuan ini diatur mengenai definisi dan istilah sehubungan dengan penanganan IDLP.

Pada Pasal 2 ketentuan ini diatur mengenai unit/kantor yang menerima IDLP serta cara penanganan dan penerusan IDLP ke unit lainnya.

Sedangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diatur mengenai pengadministrasian IDLP yang diterima oleh masing-masing unit.

Proses pengembangan dan analisis IDLP diatur dalam Pasal 5. Hasil dari analisis IDLP akan ditindaklanjuti yang terbagi menjadi 3 (tiga) Kelompok, yaitu:
  1. Kelompok A, dimana IDLP ditindaklanjuti dengan usul Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  2. Kelompok B, dimana IDLP akan ditindaklanjuti dengan melakukan pemeriksan khusus;
  3. Kelompok C, dimana IDLP akan ditindaklanjuti dengan mengarsipkan sementara dan akan diproses kembali apabila di kemudian hari terdapat IDLP baru yang berhubungan atau mengirimkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau seharusnya terdaftar untuk dapat dimanfaatkan.

Pengembangan dan analisis IDLP harus dilaksanakan sesuai standar analisis IDLP. Standar analisis IDLP ini meliputi:
1. Standar Analis IDLP
2. Standar Pelaksanaan Analisis

Petunjuk teknis Tata Cara Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis IDLP ini akan diatur kemudian.

PER-38/PJ/2010 ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 4 Agustus 2010, serta sekaligus mencabut ketentuan mengenai pengembangan dan analisis IDLP yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-272/PJ./2002.

Selasa, 22 Desember 2009

Prosedur Pembuatan Jaminan Escrow Account Untuk Penghentian Penyidikan

Penyidikan pajak yang sedang dilakukan oleh Penyidik Pajak terhadap Wajib Pajak yang diindikasikan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dihentikan untuk kepentingan penerimaan negara berdasarkan permintaan dari Menteri Keuangan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Syarat penghentian ini hanya dapat dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan ditambah dengan sanksi berupa denda sebesar 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Aturan Pelaksanaan dari Pasal 44B ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.03/2009.

Salah satu prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah Wajib Pajak harus membuat jaminan pelunasan utang pajak dengan menggunakan escrow account (Pasal 8). Selanjutnya tata cara pembuatan escrow account ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2009 tanggal 17 Desember 2009.

Dalam PER-65/PJ/2009 ini diatur mengenai mekanisme pembuatan escrow account yaitu sebagai berikut:

Persyaratan Pengajuan Permohonan Penghentian Penyidikan
Dalam rangka pengajuan permohonan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, Wajib Pajak harus membuat jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account yang berisi uang sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan ditambah dengan sanksi berupa denda sebesar 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Prosedur Pembuatan Escrow Account
Escrow account dibuat berdasarkan perjanjian pengelolaan escrow account antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak dan diketahui oleh bank pembuka escrow account.

Dalam rangka membuat perjanjian pengelolaan escrow account, Direktur Jenderal Pajak dapat diwakili oleh Direktur Intelijen dan Penyidikan atau Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak yang bertindak untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak.

Bentuk dan isi perjanjian pengelolaan escrow account ditentukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Isi perjanjian pengelolaan ini paling sedikit memuat:
-identitas para pihak dan bank pembuka escrow account
-waktu dan tempat perjanjian
-jumlah jaminan pelunasan
-biaya escrow account
-prosedur pencairan jaminan; dan
-penyelesaian perselisihan.

Biaya yang timbul sehubungan dengan pembukaan dan pengelolaan escrow account ini ditanggung oleh Wajib Pajak, demikian juga dengan pengahsilan yang timbul sehubungan dengan escrow account ini (misalkan bunga) menjadi hak Wajib Pajak.

Kamis, 03 September 2009

Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan

Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Untuk mendapatkan adanya bukti permulaan tentang dugaan telah terjadi tindakan pidana di bidang perpajakan ini, maka dilakukanlah Pemeriksaan Bukti Permulaan oleh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau dapat juga dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil pada unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan yang diberi tugas oleh Menteri Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sesuai dengan Pasal 43A ayat (2) Undang-Undang KUP.

Ketentuan mengenai Pemeriksaan Bukti Permulaan ini diatur dalam Pasal 43A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007.
Dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-47/PJ/2009 tanggal 1 September 2009.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa petunjuk pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diatur dalam PER-47/PJ/2009 ini adalah sebagai berikut:

Definisi dan Pengertian
Definisi atas istilah-istilah yang ditemui dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini diatur dalam Pasal 1.

Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan
Usul Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan oleh:
  1. Sub Direktorat Intelijen Perpajakan berdasarkan Laporan Kegiatan Intelijen yang terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan disampaikan kepada Direktur Intelijen dan Penyidikan;
  2. Sub Direktorat Rekayasa Keuangan berdasarkan pengembangan dan analisis IDLP disampaikan kepada Direktur Intelijen dan Penyidikan;
  3. Sub Direktorat Pemeriksaan Bukti Permulaan berdasarkan pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Direktur Intelijen dan Penyidikan;
  4. Sub Direktorat Penyidikan berdasarkan pengembangan Penyidikan disampaikan kepada Direktur Intelijen dan Penyidikan; dan
  5. Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak berdasarkan pengembangan dan analisis Informasi, Data, Laporan, atau Pengaduan (IDLP), Pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau pengembangan Penyidikan disampaikan kepada Kanwil DJP.

Instruksi Pemeriksaan Bukti Permulaan
Instruksi Pemeriksaan diterbitkan berdasarkan usul Pemeriksaan Bukti Permulaan, oleh:
  1. Direktur Jenderal Pajak, khusus untuk usul Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan melalui Pemeriksaan Ulang.
  2. Direktur Intelijen dan Penyidikan, atas usul-usul dari Sub Direktorat Intelijen Perpajakan, Sub Direktorat Rekayasa Keuangan, Sub Direktorat Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Sub Direktorat Penyidikan.
  3. Kepala Kantor Wilayah DJP, atas usul dari Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak.

Jangka Waktu Penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan harus diselesaikan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh Wajib Pajak. Apabila jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi, Pemeriksa Bukti Permulaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum jatuh tempo wajib menyampaikan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian kepada penerbit Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan melampirkan Laporan Kemajuan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Persetujuan atas permohonan perpanjangan ini sudah harus diputuskan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan penerbit Surat Perintah Bukti Permulaan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak permohonan diterima.
Perpanjangan jangka waktu yang dapat diberikan adalah untuk yang pertama kali maksimal selama 2 (dua) bulan dan yang kedua kali juga maksimal 2 (dua) bulan.

Hasil/Tindak Lanjut dari Pemeriksaan Bukti Permulaan
Hasilnya dapat berupa:
- usul penyidikan; atau
- tindakan lainnya.
Tindakan lainnya ini dapat berupa:
  1. penerbitan surat ketetapan pajak dalam hal WP melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A UU KUP;
  2. penerbitan surat ketetapan pajak dalam hal WP badan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud 29 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP, tetapi tidak ditemukan Bukti Permulaan bahwa WP melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
  3. pembuatan laporan kepada pihak lain yang berwenang apabila ditemukan Bukti Permulaan yang mengandung adanya unsur tindak pidana selain di bidang perpajakan;
  4. pembuatan laporan sumir apabila WP mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UU KUP; atau
  5. pembuatan laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, WP yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan, WP orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia.

Usul Penyidikan
Dalam hal keputusan tindak lanjut yang diambil berupa penyidikan, Direktur Intelijen dan Penyidikan membuat usulan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk diterbitkan instruksi penyidikan.
(c) http://syafrianto.blogspot.com


Download:
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-47/PJ/2009
- Lampiran PER-47/PJ/2009

Artikel Terkait:
Tata Cara Penghentian Penyidikan

Selasa, 01 September 2009

Tata Cara Penghentian Penyidikan

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 mengenai tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, maka Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.03/2009 tanggal
18 Agustus 2009 mengenai Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
Dalam peraturan ini ditegaskan bahwa untuk kepentingan penerimaan negara, maka atas permintaan dari Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pajak terhadap Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan dari Menteri Keuangan tersebut. Penghentian penyidikan ini hanya dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan ini dihitung berdasarkan:
  1. jumlah kerugian pada pendapatan negara yang tercantum dalam berkas perkara dalam hal penghentian penyidikan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum; atau
  2. jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung oleh Penyidik atau ahli yang dituangkan dalam laporan kemajuan dalam hal penghentian penyidikan dilakukan pada saat penyidikan masih berjalan.

Wajib Pajak yang akan memperoleh penghentian penyidikan ini harus mengajukan permohonan secara tertulis keapda Menteri Keuangan dengan memberikan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilampirkan dengan pernyataan yang berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan melunasi (format suratnya dapat dilihat pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.03/2009 ini).

Tata cara dan prosedur untuk memproses permohonan penghentian penyidikan dari Wajib Pajak yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.03/2009.

Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan yang telah dikeluarkan oleh Jaksa Agung ini disampaikan kepada Penyidik Pajak melalui Menteri Keuangan. Setelah menerima surat ini, Penyidik Pajak harus menghentikan kegiatan penyidikan dan memberitahukan kepada tersangka atau keluarganya dan kepada Penuntut Umum melalui Kepolisian selaku Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Download:
Ketentuan ini telah dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.03/2012

Artikel Terkait:
- Prosedur Pembuatan Jaminan Escrow Account Untuk Penghentian Penyidikan