..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Pemeriksaan Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemeriksaan Pajak. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Juni 2017

Peraturan Menteri Keuangan Tentang Akses Informasi Keuangan Oleh Ditjen Pajak

Menteri Keuangan telah menerbitkan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaporan informasi keuangan, prosedur identifikasi rekening, kewajiban dokumentasi lembaga keuangan, sanksi bagi lembaga keuangan yang tidak patuh, kerahasiaan informasi keuangan yang diterima Ditjen Pajak, serta ancaman pidana bagi petugas Ditjen Pajak yang tidak memenuhi ketentuan kerahasiaan.

Peraturan Menteri Keuangan ini bagaimana akses pertukaran informasi dapat dijalankan untuk kepentingan perpajakan dalam negeri dan pelaksanaan perpajakan internasional. Mekanisme penyampaian informasi dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu secara otomatis tanpa dilakukan permintaan dan dengan cara informasi baru disampaikan apabila ada permintaan.

Untuk penyampaian informasi secara otomatis dilakukan untuk informasi yang terekam dalam satu periode waktu dan mulai berlaku untuk pelaksanaan transmisi di tahun 2018 atas saldo dan keadaan di tahun 2017. Bentuk informasi yang disampaikan dapat dalam bentuk elektronik maupun non-elektronik. Penyampaian yang sifatnya otomatis ini disampaikan terlebih dahulu oleh lembaga keuangan melalui OJK sebelum disampaikan ke Ditjen Pajak.

Informasi yang harus disampaikan oleh lembaga keuangan ke Ditjen Pajak ini antara lain:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan (untuk laporan pertama adalah saldo per 31 Desember 2017); dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Batasan saldo minimal yang secara otomatis harus disampaikan oleh lembaga jasa keuangan kepada Ditjen Pajak adalah nasabah dengan saldo minimal Rp 200 juta. Memang ada perbedaan batasan nilai minimal yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini dengan standar yang digunakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang sebesar USD 250,000. Namun nilai batasan saldo sebesar Rp 200 juta ini diterapkan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Sedangkan untuk nasabah asing batasan nilai saldonya tetap sesuai dengan kesepakatan OECD yaitu sebesar USD 250,000.

Berikut ini adalah ringkasan batasan nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan:
1. Untuk Nasabah Asing
  1. Bagi rekening keuangan yang dimiliki entitas dan telah dibuka sebelum 1 Juli 2017, yang wajib dilaporkan adalah dengan agregat saldo lebih dari USD 250,000.
  2. Bagi rekening keuangan lainnya: tanpa batasan saldo minimal

2. Untuk Nasabah Lokal
  1. Sektor Perbankan: yang dimiliki oleh orang pribadi dengan agregat saldo paling sedikit Rp 200 juta; sedangkan untuk yang dimiliki oleh entitas, tanpa batasan saldo minimal
  2. Sektor Perasuransian: nilai pertanggungan paling sedikit Rp 200 juta
  3. Sektor Perkoperasian: dengan agregat saldo paling sedikit Rp 200 juta
  4. Sektor Pasar Modal dan Perdagangan Berjangka Komoditi: tanpa batasan saldo minimal
Update 8 Juni 2017: ketentuan mengenai batas minimal saldo rekening sebesar Rp 200 juta ini telah direvisi dan diubah menjadi minimal Rp 1 miliar

Jadwal pelaksanaan dari ketentuan Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan adalah sebagai berikut:

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 31 Mei 2017.

Download:
- Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017

Artikel Terkait:
- Ditjen Pajak Telah Diberi Akses Luas Atas Data Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya
- Batas Rekening Yang Dilaporkan ke Ditjen Pajak adalah USD 250,000

Sabtu, 20 Mei 2017

Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Ketentuan Akses Data Perbankan Oleh Ditjen Pajak

Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017, sebagian masyarakat di Indonesia menjadi was-was dan khawatir akibat dari ketentuan mengenai akses data perbankan yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) melalui Perppu ini.

Secara sepintas, apabila membaca isi dari Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini, seakan-akan bahwa saat ini Ditjen Pajak memiliki wewenang yang begitu luas. Sebagaimana diketahui oleh masyarakat, sebelum Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini berlaku, Ditjen Pajak hanya dapat mengakses data rekening bank milik Wajib Pajak setelah mendapatkan izin dari Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun pada Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini, seolah memberikan wewenang yang begitu luas kepada Ditjen Pajak untuk memperoleh informasi keuangan secara berkala dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan.

Namun sebenarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini tidak sembarangan memberikan wewenang kepada Ditjen Pajak dalam mengakses dan menggunakan data keuangan tersebut. Berikut ini akan penulis sampaikan beberapa hal yang perlu diketahui terkait dengan ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini.

Nasabah/Masyarakat yang Dimaksud Dalam Ketentuan Ini Yang Menjadi Objek Pelaporan

Nasabah dari Lembaga Keuangan atau Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang dapat dilaporkan profil keuangannya ialah Warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang bekerja atau berbisnis di Indonesia.

Lembaga/Intsitusi Yang Diwajibkan Menyampaikan Data Keuangan ke Ditjen Pajak

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini menegaskan bahwa lembaga dan institusi yang wajib untuk menyampaikan data keuangan kepada Ditjen Pajak secara berkala terdiri dari:
  1. Lembaga Jasa Keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian
  2. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, yaitu lembaga jasa keuangan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan
  3. Entitas Lainnya yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan, adalah adalah badan hukum (legal person) seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum (legal arrangement) seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, namun memenuhi kriteria sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Informasi Yang Harus Dilaporkan ke Ditjen Pajak

Laporan yang berisi informasi keuangan yang wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini paling sedikit memuat:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Rekening Keuangan Yang Bagaimana Yang Harus Dilaporkan

Rekening Keuangan yang harus dilaporkan oleh Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan Entitas Lainnya kepada Ditjen Pajak adalah rekening bagi bank, sub rekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi lembaga jasa keuangan lainnya dan entitas lain.

Namun tidak semua rekening keuangan yang harus dilaporkan oleh Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan Entitas Lainnya kepada Ditjen Pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a Perppu Nomor 1 Tahun 2017 disebutkan bahwa laporan yang wajib disampaikan adalah untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan.

Rekening Keuangan yang wajib dilaporkan yang merupakan rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan yaitu hanya berlaku bagi nasabah yang memiliki saldo rekening USD 250.000 (dua ratus lima puluh ribu dollar AS) ke atas atau setara dengan Rp 3,3 miliar (kurs 13.300).

Batasan saldo rekening sebesar USD 250,000 ini adalah merupakan ketentuan internasional yang ditetapkan dalam kebijakan pertukaran otomatis data informasi keuangan internasional atau Automatic Exchange of Information (AEoI).

Selasa, 16 Mei 2017

Ditjen Pajak Telah Diberi Akses Luas Atas Data Perbankan dan Lembaga Keuangan Lainnya

Dalam rangka memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dan untuk memenuhi komitmen keikutsertaan Indonesia dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information) maka Pemerintah pada tanggal 8 Mei 2017 telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang ditetapkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak diberi kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Perjanjian internasional di bidang perpajakan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional antara lain Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement), Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), termasuk perjanjian yang bersifat teknis atau merupakan pelaksanaan teknis atas suatu perjanjian induk, antara lain Persetujuan Bilateral/Multilateral Antar-Pejabat Yang Berwenang Dalam Rangka Pertukaran Informasi Rekening Keuangan Secara Otomatis (Bilateral/Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Financial Account Information) dan Persetujuan Antar-Pemerintah Untuk Mengimplementasikan Undang-Undang Kepatuhan Perpajakan Rekening Keuangan Asing (Intergovernmental Agreement for Foreign Account Tax Compliance Act/FATCA) yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini berlaku.

Kewajiban Lembaga Jasa Keuangan

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini mewajibkan lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lainnya untuk menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak:
  1. Laporan yang berisi informasi keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan untuk setiap rekening keuangan yang diidentifikasikan sebagai rekening keuangan yang wajib dilaporkan; dan
  2. Laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,
yang lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dimaksud selama satu tahun kalender.

Yang termasuk sebagai Lembaga jasa keuangan lainnya sebagai ketentuan ini adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. Sedangan yang dimaksud sebagai “entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan” adalah badan hukum (legal person) seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum (legal arrangement) seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, namun memenuhi kriteria sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.

Laporan yang berisi informasi keuangan yang wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak ini paling sedikit memuat:
  1. identitas pemegang rekening keuangan;
  2. nomor rekening keuangan;
  3. identitas lembaga jasa keuangan;
  4. saldo atau nilai rekening keuangan; dan
  5. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Dalam rangka penyampaian laporan ini lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain wajib melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Prosedur identifikasi rekening keuangan ini paling sedikit meliputi kegiatan melakukan:
  1. verifikasi untuk menentukan negara domisili untuk kepentingan perpajakan bagi pemegang rekening keuangan, baik orang pribadi maupun entitas;
  2. verifikasi untuk menentukan pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 merupakan pemegang rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  3. verifikasi untuk menentukan rekening keuangan yang dimiliki oleh pemegang rekening keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan rekening keuangan yang wajib dilaporkan;
  4. verifikasi terhadap entitas pemegang rekening keuangan untuk menentukan pengendali entitas dimaksud merupakan orang pribadi yang wajib dilaporkan; dan
  5. dokumentasi atas kegiatan yang dilakukan dalam rangka prosedur identifikasi rekening keuangan, termasuk menyimpan dokumen yang diperoleh atau digunakan.

Wewenang Menteri Keuangan Dalam Melakukan Pertukaran Informasi Keuangan Dengan Negara Lain

Berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan, Menteri Keuangan berwenang melaksanakan pertukaran informasi keuangan dan/atau informasi dan/atau bukti atau keterangan dengan otoritas yang berwenang di negara atau yurisdiksi lain.

Tuntutan Pidana atau Perdata

Dalam melakukan tugas atau memenuhi kewajiban terkait dengan ketentuan dalam Perppu ini,
  1. Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan;
  2. Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan;
  3. Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain;
tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.

Perppu Nomor 1 Tahun 2017 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan (tanggal 8 Mei 2017).

Download:
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017

Artikel Terkait:
Batas Rekening Yang Dilaporkan ke Ditjen Pajak adalah USD 250,000

Jumat, 05 Agustus 2016

Instruksi Penghentian Pemeriksaan Untuk Mendukung Pelaksanaan Pengampunan Pajak

Dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, maka pada tanggal 3 Agustus 2016 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan instruksi terkait dengan pemeriksaan pajak melalui Instruksi Nomor Ins-03/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Dalam instruksi yang ditujukan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, seluruh Kepala Kantor Wilayah Direktoran Jenderal Pajak, dan seluruh Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk:

Tidak menerbitkan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan dan/atau Surat Perintah Pemeriksaan baru sejak tanggal 3 Agustus 2016 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017, kecuali atas Pemeriksaan SPT Lebih Bayar Restitusi atau Pemeriksaan yang terkait dengan pelayanan kepada Wajib Pajak.

Terhadap Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan yang telah diterbitkan namun pemeriksaannya belum dimulai, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) diminta untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Mengusulkan pembatalan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan;
  2. Pembatalan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak sesuai tata cara yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan;
  3. Penandatanganan pembatalan Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan ini dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan terhadap Instruksi Pemeriksaan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan; serta Kepala Kantor Wilayah DJP terhadap Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan yang diterbitkan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Pajak, Kepala UP2 memberikan informasi kepada Wajib Pajak tentang kebijakan Pengampunan Pajak.

Dalam hal Wajib Pajak yang sedang diperiksa ini mengikuti kebijakan Pengampunan Pajak, pelaksanaan Pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai tata cara yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengampunan Pajak.

Laporan Penghentian Pemeriksaan dalam rangka Pengampunan Pajak dihitung sebagai kinerja pemeriksaan Tim Pemeriksa Pajak dengan perhitungan bobot konversi laporan sebesar 100% dari bobot konversi sesuai ketentuan dalam Surat Edaran yang mengatur mengenai Rencana, Strategi, dan Pengukuran Kinerja Pemeriksaan.

Uang tebusan yang diperoleh dari Wajib Pajak yang Pemeriksaannya dibatalkan atau dihentikan dalam rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak dihitung sebagai kenerja Pemeriksaan.

Instruksi ini berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2016 hingga 31 Maret 2017.

Jumat, 24 Juli 2015

Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Tahun 2015 Dalam Mendukung Tahun Pembinaan Wajib Pajak

Tahun 2015 yang telah dicanangkan sebagai tahun pembinaan Wajib Pajak (TPWP) dimana salah satu aturan pendukung yang diterbitkan oleh Pemerintah adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tentang Pengurangan atau Penghapusan sanksi Administrasi atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak. Untuk mendukung program ini, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran yang mengatur mengenai kebijakan pelaksanaan pemeriksaan pajak di tahun 2015 ini melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2015 tanggal 7 Juli 2015 tentang Pelaksanaan Pemeriksaan Tahun 2015 Dalam Rangka Mendukung Tahun Pembinaan Wajib Pajak.

Dalam Surat Edaran ini, Kepala KPP yang akan/telah menerbitkan surat perintah pemeriksaan diminta untuk melaksanakan Kebijakan Pemeriksaan atas Instruksi Pemeriksaan Khusus yang terbit sebelum Surat Edaran ini namun belum diterbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) atau yang telah diterbitkan SP2 tetapi Surat Pemberitahuan Pemeriksaan belum disampaikan kepada Wajib Pajak, dengan ketentuan, terhadap Wajib Pajak yang telah diinstruksikan dilakukan Pemeriksaan Khusus yang belum diterbitkan SP2 atau yang sudah terbit SP2 tetapi Surat Pemberitahuan Pemeriksaan belum disampaikan kepada Wajib Pajak, sebelum pemeriksaan dilanjutkan, Kepala UP2 diminta untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak tersebut agar memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015, dalam hal: (a) Dalam hal UP2 adalah KPP, pemberian kesempatan tersebut dilakukan dengan menyampaikan surat panggilan oleh Kepala KPP kepada Wajib Pajak; (b) Dalam hal UP2 adalah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, pemberian kesempatan tersebut dilakukan dengan menyampaikan surat panggilan oleh Kepala KPP kepada Wajib Pajak dengan tempat pemanggilan di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
  2. Terhadap Wajib Pajak yang memenuhi panggilan dan memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 diusulkan untuk dilakukan pembatalan instruksi/penugasan/persetujuan pemeriksaan.
  3. Hasil pemanggilan Wajib Pajak dan kesanggupan Wajib Pajak untuk memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tersebut dituangkan pada berita acara pemanggilan Wajib Pajak dengan contoh sebagaimana format terlampir dan digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan pembatalan instruksi/penugasan/persetujuan pemeriksaan.
  4. Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi panggilan atau memenuhi panggilan tetapi tidak memanfaatkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015, maka instruksi/penugasan/persetujuan pemeriksaan tetap dilanjutkan.

Rabu, 28 Mei 2014

Fokus Pemeriksaan Pajak Tahun 2014

Salah satu langkah untuk menjabarkan misi yang harus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam menghimpun penerimaan Negara secara optimal sebagaimana yang telah dijabarkan dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2012-2014 adalah peningkatan efektivitas pengawasan. Salah satu bentuk pengawasan adalah melalui kegiatan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak ini bertujuan untuk dapat menciptakan efek penggentar (deterrent effect) di antara Wajib Pajak secara merata sehingga akan tercipta kepatuhan dari Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara self assessment.

Untuk itu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2014 tanggal 21 Maret 2014 tentang Rencana dan Strategi Pemeriksaan Tahun 2014. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, untuk tahun 2014 ini fokus pemeriksaan akan terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu fokus pemeriksaan pajak secara nasional dan fokus pemeriksaan pajak secara regional.

Fokus Pemeriksaan Pajak Secara Nasional

Fokus pemeriksaan pajak secara nasional terhadap Wajib Pajak Badan akan dilakukan untuk:
  1. sektor usaha properti, dan
  2. sektor usaha industri jasa keuangan.
Sedangkan fokus pemeriksaan pajak secara nasional terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi akan dilakukan bagi:
  1. pengusaha,
  2. b. pemegang saham, dan
  3. c. notaris/PPAT.
Pemeriksaan yang akan dilakukan di tahun 2014 ini juga difokuskan untuk pemeriksaan atas SPT yang akan Daluwarsa di tahun 2014 dan tahun 2015, yaitu untuk SPT dari bagian Masa Pajak dan Tahun Pajak 2009 dan 2010. Pemeriksaan atas SPT yang akan daluwarsa ini antara lain akan diutamakan terhadap Wajib Pajak yang bergerak pada sektor usaha transportasi dan komunikasi serta terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP. Pemeriksaan atas SPT yang akan daluwarsa ini dilakukan dengan mempertimbangkan beban kerja pemeriksa pajak.

Fokus Pemeriksaan Pajak Secara Regional

Kewenangan untuk menetapkan fokus pemeriksaan pada tingkat regional diserahkan kepada masing-masing Kepala Kanwil DJP sesuai dengan risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak yang terdaftar pada Kanwil DJP tersebut dan berbeda dengan fokus pemeriksaan pada tingkat nasional.

Rabu, 26 Oktober 2011

Ditjen Pajak Telah Menjalin Kerjasama Dengan PPATK untuk Cegah Tindak Pidana Perpajakan





Selama ini Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) masih menghadapi kendala dalam membongkar tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui kegiatan pencucian uang (money laundering). Hal ini disebabkan karena akses untuk mendapatkan data mengenai transaksi keuangan di perbankan sulit untuk diperoleh akibat adanya Undang-Undang tentang Kerahasiaan Bank. Akibat sulitnya otoritas pajak dalam memperoleh data transaksi keuangan melalui perbankan, menyebabkan banyak tindak pidana perpajakan yang dilakukan melalui transaksi perbankan. Sebenarnya tindak pidana perpajakan adalah merupakan salah satu tindakan awal dari tindak pidana pencucian uang (tindak pidana asal/predicate crime). Oleh karena itu, antara kegiatan pencucian uang dengan tindak pidana perpajakan memiliki korelasi yang sangat erat.

Saat ini masalah tindakan pidana pencucian uang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dalam ketentuan ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah ditunjuk sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan analisis atas kegiatan transaksi keuangan yang diperoleh dari berbagai instansi termasuk perbankan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan. Namun selama ini, dalam melakukan analisis atas transaksi keuangan yang mencurigakan ini, PPATK tidak memiliki akses untuk mendapatkan data dari Ditjen Pajak atas informasi yang dilaporkan dalam SPT Tahunan/Masa yang disampaikan akibat adanya ketentuan kerahasiaan Wajib Pajak sesuai ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.

Walaupun demikian, selama ini antara Ditjen Pajak dengan PPATK telah terjalin kerjasama secara tidak formal, dimana apabila ada data transaksi keuangan yang mencurigakan hasil analisis PPATK yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana perpajakan, maka pihak PPATK akan mengirimkan data tersebut ke Ditjen Pajak untuk ditindaklanjuti.

Untuk lebih meningkatkan pengawasan terhadap adanya tindakan pidana pencucian uang dan tindak pidana di bidang perpajakan, maka Ditjen Pajak dan PPATK telah menjalin kerjasama melalui penandatangan kesepakatan kerjasama/Memorandum of Understanding (MoU) antara Ditjen Pajak dan PPATK dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana di bidang perpajakan. MoU yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany dan Kepala PPATK Yunus Husein pada tanggal 19 Oktober 2011 di Gedung PPATK, Jakarta ini diharapkan dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sehingga dapat menjaga stabilitas perekonomian dan menurunkan tingkat kriminalitas.

Dengan ditandatanganinya MoU ini maka diharapkan antara Ditjen Pajak dan PPATK dapat meningkatkan sinergi dan keterpaduan, baik dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Ruang lingkup yang diatur dalam MoU ini meliputi:
  1. pertukaran data dan/atau informasi,
  2. perumusan peraturan perundang-undangan,
  3. penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan,
  4. pengembangan sistem teknologi informasi,
  5. penugasan pegawai Ditjen Pajak pada PPATK, dan
  6. kajian, sosialisasi, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan.
Apabila kita cermati atas ruang lingkup dari kerjasama ini, maka hal yang baru yang cukup berperan dalam melakukan pengungkapan tindak pidana perpajakan oleh Ditjen Pajak adalah adanya kerjasama dengan PPATK dalam hal penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan serta penugasan pegawai Ditjen Pajak pada PPATK. Dengan adanya kedua ruang lingkup kerjasama ini akan semakin memudahkan bagi Ditjen Pajak dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana perpajakan karena akses untuk menganalisis transaksi keuangan di perbankan yang selama ini dilakukan oleh PPATK sudah dapat diakses oleh Ditjen Pajak karena adanya kerjasama ini.

Yang menjadi pertanyaan, apakah dengan adanya MoU ini mengakibatkan Undang-Undang tentang jaminan kerahasiaan bank menjadi hilang? Jika menurut penulis, sebenarnya jaminan kerahasiaan bank tetap berlaku sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. UU Nomor 25 Tahun 2003 memberi wewenang kepada PPATK hanya untuk melakukan analisis atas kegiatan transaksi keuangan yang mencurigakan. Dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2003 menegaskan bahwa ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya tidak berlaku bagi penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Pada Pasal 10A UU Nomor 25 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa semua dokumen dan/atau keterangan yang diperoleh pejabat atau pegawai PPATK dalam rangka analisis ini wajib dijaga kerahasiaannya.

Sebenarnya selama ini ketentuan mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan tidak berlaku apabila akan digunakan untuk kepentingan perpajakan. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 2 ayat (4) huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tanggal 7 September 2000.

Jadi kekhawatiran yang muncul di masyarakat saat ini bahwa dengan adanya MoU antara Ditjen Pajak dan PPATK saat ini otomatis akan membuka semua rahasia bank sebagaimana yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Kerahasiaan bank hanya akan dibuka apabila ternyata dari transaksi keuangan yang terjadi melalui perbankan dicurigai memiliki potensi tindak pidana (baik tindak pidana di bidang perpajakan maupun tindak pidana pencucian uang). Memang benar bahwa dengan adanya kerjasama ini akan membuat pengawasan yang selama ini dilakukan oleh masing-masing pihak, baik DJP maupun PPATK, atas tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat dapat dikoordinasikan lebih baik dengan data yang lebih terintegrasi. Hal ini akan meningkatkan kinerja Ditjen Pajak dalam mengungkap tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

Jadi janganlah khawatir dengan adanya MoU ini, karena sesuai dengan semboyan di dunia perbankan: “Kalau bersih, kenapa harus risih?


Sumber: Siaran Pers Direktorat Jenderal Pajak Tanggal 19 Oktober 2011 atau dokumennya asli di sini.

Kamis, 15 September 2011

Target Wajib Pajak Yang Akan Diperiksa Di Tahun 2011


Di samping fokus pemeriksaan yang telah ditetapkan secara nasional sebagaimana telah diuraikan penulis pada artikel ini, dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2011 juga menetapkan Wajib Pajak yang menjadi tambahan fokus pemeriksaan untuk setiap Kantor Wilayah (Kanwil) DJP, dengan memperhatikan kekhususan usaha dari Wajib Pajak di setiap Kanwil DJP, sesuai dengan yang tercantum dalam Lampiran I SE-29/PJ/2011. Berikut ini penulis sajikan Kriteria Wajib Pajak yang menjadi target pemeriksaan di setiap Kanwil (di setiap Kanwil DJP, daftar Wajib Pajak ini merupakan tambahan yang menjadi fokus pemeriksaan di 2011 selain yang telah ditetapkan secara nasional) khusus untuk Kanwil yang berada di Jakarta, Kanwil Khusus dan Kanwil Wajib Pajak Besar:

a. Wilayah Jakarta Pusat, fokus pemeriksaaan terhadap Wajib Pajak sektor usaha:
  1. Pertanian dan Perburuan (KLU 01000)
  2. Pertambangan batubara, penggalian gambut, gasifikasi batubara dan pembuatan briket batubara (KLU 10000)
  3. Industri Makanan dan Minuman (KLU 15000)
  4. Jasa penunjang perantara keuangan (KLU 67000)

b. Wilayah Jakarta Barat, fokus pemeriksaaan terhadap Wajib Pajak sektor usaha:
  1. Perdagangan eceran, kecuali mobil dan sepeda motor; Reparasi keperluan barang-barang pribadi dan rumah tangga (KLU 52000)
  2. Penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum (KLU 55000)
  3. Jasa Penunjang dan Pelengkap Kegiatan Angkutan, dan Jasa Perjalanan Wisata (KLU 63000)
  4. Jasa Persewaan Mesin dan Peralatannya, Barang-barang Keperluan Rumah Tangga dan Pribadi (KLU 71000)

c. Wilayah Jakarta Selatan, fokus pemeriksaaan terhadap Wajib Pajak sektor usaha:
  1. Pertambangan batubara, penggalian gambut, gasifikasi batubara dan pembuatan briket batubara (KLU 10100)
  2. Jasa Perusahaan Lainnya (KLU 74000)
  3. Industri Makanan dan Minuman (KLU 15000)
  4. Asuransi dan dana Pensiun (KLU 66000)

d. Wilayah Jakarta Timur, fokus pemeriksaaan terhadap Wajib Pajak sektor usaha:
  1. Industri Logam Dasar (KLU 27000)
  2. Perdagangan eceran, kecuali mobil dan sepeda motor, reparasi barang-barang keperluan pribadi dan rumah tangga (KLU 52000)
  3. Jasa Penunjang Perantara Keuangan (KLU 67000)

e. Wilayah Jakarta Utara, fokus pemeriksaaan terhadap Wajib Pajak sektor usaha:
  1. Industri makanan dan minuman (KLU 15000)
  2. Jasa penunjang dan pelengkap kegiatan angkutan, dan jasa perjalanan wisata (KLU 63000)
  3. Industri alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih (KLU 35000)
  4. Jasa penunjang perantara keuangan (KLU 67000)

f. Wilayah Jakarta Khusus (PMA, Perusahaan Go Public, Badan dan Orang Asing), fokus pemeriksaaan terhadap Wajib Pajak sektor usaha:
  1. Wajib Pajak yang diindikasikan melakukan penghindaran pajak melalui transfer pricing
  2. Perusahaan Grup
  3. Industri karet, barang dari karet dan barang dari plastic (KLU 25000)
  4. Jasa Penunjang perantara keuangan kecuali asuransi dan dana pensiun (Pasar Modal) (KLU 67100)

g. Wilayah Wajib Pajak Besar, fokus pemeriksaaan terhadap Wajib Pajak sektor usaha:
  1. Wajib Pajak yang diindikasikan melakukan penghindaran pajak melalui transfer pricing
  2. Perusahaan Grup
  3. Organisasi Bisnis dan Pengusaha (KLU 91110)
  4. Pegawai Swasta (95004)


Daftar Wajib Pajak di Kanwil lainnya yang menjadi target pemeriksaan tahun 2011 dapat dibaca pada Lampiran I SE-29/PJ/2011.

Artikel Terkait:
Wajib Pajak Yang Jadi Target Pemeriksaan 2011 Secara Nasional

Rabu, 14 September 2011

Siapakah Yang Menjadi Target Pemeriksaan Pajak Tahun 2011?

Tidak terasa tahun 2011 telah kita lalui 9 bulan lebih. Tentunya dalam jangka waktu 9 bulan ini, apa yang kita lakukan selama tahun 2011 ini jika diukur dengan target yang telah ditetapkan pada awal tahun, maka seharusnya pencapaian selama 9 bulan ini kira-kira sebesar 75% dengan asumsi kondisi pencapaian setiap bulannya adalah sama.

Pajak yang saat ini merupakan sumber utama penerimaan negara selama tahun 2011 ini telah ditargetkan dalam APBN-P sebesar Rp 878,7 triliun. Dari target yang telah ditetapkan ini, hingga akhir Agustus 2011 Direktorat Jenderal Pajak telah berhasil mengumpulkan pajak sebesar Rp 544,79 triliun. Nilai realisasi penerimaan pajak sampai akhir Agustus 2011 ini adalah sebesar 62% dari total target penerimaan pajak yang harus dicapai dalam tahun 2011 ini. Ini berarti bahwa untuk sisa 4 bulan, penerimaan pajak yang masih harus diperoleh agar dapat memenuhi target dalam APBN-P 2011 masih sebesar Rp 333,91 triliun (atau sebesar 38% dari target). Dengan sisa waktu tinggal 4 bulan, sedangkan target penerimaan yang harus dicapai masih cukup besar, tentunya pihak Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan pajak.

Salah satu langkah yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak adalah melalui proses law enforcement yaitu pemeriksaan atas kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Tentunya dengan target penerimaan yang masih cukup besar yang harus dicapai oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka upaya pemeriksaan pajak akan menjadikan fokus utama dalam menggali penerimaan pajak. Sebagai Wajib Pajak, tentunya ada di antara Pembaca Setia Tax Learning yang bertanya upaya pemeriksaan yang bagaimana yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak? Siapakah yang akan menjadi sasaran pemeriksaan pajak di tahun 2011 ini?

Berikut ini penulis memiliki sedikit “bocoran” informasi mengenai rencana dan strategi pemeriksaan yang akan dan sedang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2011 ini.

“Bocoran” yang dimaksudkan penulis ini sumbernya diperoleh dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2011 tanggal 4 April 2011 tentang Rencana dan Strategi Pemeriksaan Tahun 2011. Rencana dan strategi pemeriksaan yang ditetapkan dalam SE-29/PJ/2011 ini adalah merupakan pedoman bagi para Kepala Kantor Wilayah DJP dan Kepala Unit Pelaksanaan Pemeriksaan dalam merencanakan, mengalokasikan, melaksanakan dan mengendalikan pelaksanaan pemeriksaan.

Tujuan Pemeriksaan berdasarkan Undang-Undang KUP adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk menyelaraskan dengan tujuan pemeriksaan sesuai UU KUP tersebut, maka rencana dan strategi pemeriksaan tahun 2011 dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
  1. rencana dan strategi pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
  2. strategi pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Rencana dan Strategi Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Pajak

Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan ini merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak yang memenuhi kriteria Pemeriksaan Rutin maupun Pemeriksaan Khusus. Produk dari Pemeriksaan Rutin dan Pemeriksaan Khusus ini akan menghasilkan produk hukum berupa surat ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT, SKPN, atau SKPLB) dan/atau Surat Tagihan Pajak (STP).

Rencana penerimaan pemeriksaan yang telah ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp 9 triliun.

Fokus pemeriksaan merupakan sektor usaha (KLU) tertentu atau Wajib Pajak kriteria tertentu yang menjadi sasaran utama Pemeriksaan Khusus. Untuk tahun 2011, fokus pemeriksaan lebih diutamakan pada peningkatan penggalian potensi Wajib Pajak orang pribadi. Hal ini didasarkan pada data hasil pemeriksaan tahun 2010 yang menunjukkan bahwa penerimaan pemeriksaan Wajib Pajak orang pribadi hanya sekitar 1,15% dari total penerimaan pemeriksaan. Secara nasional fokus pemeriksaan ditujukan untuk:

a. Wajib Pajak Badan

Fokus Pemeriksaan Wajib Pajak Badan per sektor usaha (KLU) yang ditetapkan sebagai fokus pemeriksaan Wajib Pajak badan terdiri dari:
  1. Pertambangan dan Jasa Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (KLU 11000)
  2. Industri Tekstil (KLU 17000)
  3. Industri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki (KLU 19000)
  4. Industri Kertas, Barang dari Kertas, dan Sejenisnya (KLU 21000)
  5. Industri Kimia dan Barang-Barang dari Bahan Kimia (KLU 24000)
  6. Industri Semen, Kapur dan Gips, serta Barang-Barang dari semen dan Kapur (KLU 26400)
  7. Industri Kendaraan Bermotor (KLU 34000)
  8. Konstruksi (KLU 45000)
  9. Penjualan, Pemeliharaan, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Penjualan Eceran Bahan Bakar Kendaraan (KLU 50000)
  10. Perdagangan Besar Dalam Negeri, kecuali Perdagangan Mobil dan Sepeda Motor selain Ekspor dan Impor (KLU 51000)
  11. Perdagangan Impor, kecuali Perdagangan Mobil dan Sepeda Motor (KLU 54000)
  12. Restoran/Rumah Makan, Bar dan Jasa Boga (KLU 55200)
  13. Angkutan Darat dan Angkutan dengan Saluran Pipa (KLU 60000)
  14. Telekomunikasi (KLU 64200)
  15. Real Estate (KLU 70000)
  16. Jasa Periklanan (KLU 74300)

Selain pemeriksaan berdasarkan sektor usaha (KLU), pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan juga difokuskan pada pemeriksaan atas transaksi antar pihak yang memiliki hubungan istimewa (transfer pricing), khususnya Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya di seluruh lndonesia.

b. Wajib Pajak Orang Pribadi

Fokus pemeriksaan yang akan dilakukan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi selama tahun 2011 ini adalah:
  1. orang terkaya di Indonesia tahun 2010 versi majalah Forbes;
  2. pejabat pemerintahan tingkat pusat dan daerah;
  3. profesional (pengacara/advokat, dokter, konsultan, notaris, artis, atlet);
  4. lima Wajib Pajak orang pribadi terbesar di masing-masing KPP; dan
  5. Wajib Pajak orang pribadi yang menurut data, informasi, atau pengamatan adalah Wajib Pajak dengan kemampuan ekonomi tinggi yang tidak termasuk dalam angka 4.
Di samping fokus pemeriksaan yang telah ditetapkan secara nasional tersebut di atas, untuk setiap Kantor Wilayah (Kanwil) DJP, dengan memperhatikan kekhususan usaha dari Wajib Pajak di setiap Kanwil DJP, juga ditetapkan fokus pemeriksaan tambahan untuk setiap Kanwil ditetapkan sesuai dengan yang tercantum dalam Lampiran I SE-29/PJ/2011. Sebagai contoh fokus pemeriksaan untuk Kanwil yang berada di Jakarta, Kanwil Khusus dan Kanwil Wajib Pajak Besar dapat dibaca di artikel berikut.


Rencana dan Strategi Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain

Pemeriksaan untuk tujuan lain merupakan pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan tertentu dalam peraturan perpajakan dan bukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, serta tidak dimaksudkan untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan lain ini ditunjuk tim Satuan Tugas Pemeriksaan (Satgas Pemeriksaan) dengan Supervisor dari Fungsional Pemeriksa Pajak serta Ketua Tim dan Anggota Tim ditunjuk pegawai selain Account Representative (AR), Juru Sita Pajak Negara, Pejabat Fungsional Penilai dan Pejabat Fungsional Pemeriksa.

Itulah sedikit “bocoran” mengenai rencana pemeriksaan pajak yang akan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak selama tahun 2011 ini. Mungkin ada di antara Pembaca Setia Tax Learning yang kebetulan kriterianya termasuk sebagai Wajib Pajak yang akan diperiksa tersebut. Untuk itu, alangkah baiknya apabila segera mempersiapkan semua pemenuhan kewajiban perpajakannya. Mulailah dari sekarang untuk melakukan penelitian kembali atas pemenuhan kewajiban perpajakan yang selama ini telah dilaksanakan (tax review). Apabila memang masih ditemukan adanya kesalahan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut, maka segeralah lakukan pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan. Karena apabila kesalahan tersebut ditemukan pada saat pemeriksaan, maka konsekuensi sanksinya akan lebih berat jika dibandingkan kita melakukan pembetulan sendiri.

Apabila Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai pemeriksaan ini, bagaimana persiapan menghadapi pemeriksaan dan segala hal yang berkaitan dengan pemeriksaan, maka Anda dapat menyampaikan komentar di bawah ini, atau mengirimkan email kepada penulis atau menghubungi penulis secara langsung di sini.



Download:
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2011

Selasa, 24 Mei 2011

Tata Cara Pemeriksaan Pajak

Untuk memberikan dasar hukum dan untuk lebih memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak dalam menghadapi pelaksanaan pemeriksaan pajak, maka ketentuan dan tata cara pemeriksaan pajak yang selama ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2011 tanggal 3 Mei 2011.

Ketentuan baru mengenai pemeriksaan pajak ini mulai berlaku sejak 3 Mei 2011.
Hal penting dalam perubahan peraturan ini adalah hasil pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) beserta lampirannya. Batas waktu tanggapan tertulis dari Wajib Pajak atas SPHP menjadi paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima oleh Wajib Pajak.

Perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dengan cara menyampaikan pemberitahuan tertulis sebelum jangka waktu berakhir.

Selain itu, dalam rangka pembahasan akhir, Wajib Pajak harus diberikan undangan tertulis yang berisi hari dan tanggal pelaksanaan pembahasan akhir tersebut.

Jenis Pemeriksaan

Dalam ketentuan ini, diatur bahwa jenis pemeriksaan terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
- Pemeriksaan Kantor
- Pemeriksaan Lapangan

Jangka Waktu Pemeriksaan
- Untuk Pemeriksaan kantor, jangka waktu pemeriksaannya adalah 3 (tiga) bulan sejak tanggal Wajib Pajak atau wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. Jangka waktu ini dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
  1. Untuk Pemeriksaan Lapangan, jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal surat pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak atau wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. Jangka waktu ini dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan.
  2. Apabila dalam pemeriksaan Lapangan ditemukan adanya indikasi terjadi transaksi yang terkait dengan transfer pricing atau rekayasa keuangan, maka jangka waktu pemeriksaan dapat diperpanjang paling banyak 5 (lima) kali sesuai dengan kebutuhan waktu untuk melakukan pengujian.

Untuk memperoleh file scan dari dokumen asli, klik di sini.

Rabu, 06 Januari 2010

Kebijakan Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain

Dalam rangka menciptakan tertib administrasi pemeriksaan untuk tujuan lain dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemeriksaan, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-116/PJ/2009 tanggal 21 Desember 2009 tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain.


Jumat, 03 Juli 2009

Penegasan Mengenai Proses Keberatan

Guna memberikan arahan dan panduan yang jelas kepada seluruh petugas di Direktorat Jenderal Pajak yang terlibat dalam proses keberatan Wajib Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-02/PJ.7/2009 tanggal 1 Juli 2009.
Surat Edaran ini wajib untuk diketahui oleh para petugas pajak terutama para penelaah keberatan dan pemeriksa pajak, namun tidak menutup kemungkinan bagi Wajib Pajak juga untuk mengetahui bagaimana prosedur dalam proses keberatan terutama dalam hal merespon Surat Pemberitahuan Untuk Hadir dalam proses keberatan.
Proses keberatan yang ditegaskan dalam Surat Edaran ini antara lain terdiri dari:

a. Jangka waktu penyelesaian keberatan paling lama adalah 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

b. Dalam rangka pelaksanaan pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir sebagaimana diatur dalam Pasal 26A ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007, harus mengirimkan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir.

c. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir pada waktu yang ditentukan dalam Surat Pemberitahuan Untuk Hadir, proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak dan harus dibuat Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak.

d. Dalam rangka pelaksanaan pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir sebagaimana diatur dalam Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.03/2007, harus dipastikan bahwa buku, catatan, dokumen, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak dapat dipertimbangkan dalam proses keberatan, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Penelaah Keberatan melakukan pencocokan antara buku, catatan, dokumen, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan dengan buku, catatan, dokumen, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak pada saat proses keberatan.
  2. Dalam hal ditemukan adanya ketidaksesuaian dari kegiatan sebagaimana dimaksud pada angka 1, Penelaah Keberatan meminta penjelasan secara tertulis kepada Wajib Pajak atas ketidaksesuaian tersebut yang disertai dengan bukti pendukung termasuk buku, catatan, dokumen, data, informasi atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak pada saat proses keberatan berada di pihak ketiga pada saat dilakukan pemeriksaan.
  3. Melampirkan fotokopi buku, catatan, dokumen, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak atau salinan softcopy atas data yang dikelola secara elektronik yang belum diadministrasikan dalam berkas Kertas Kerja Pemeriksaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari berkas keberatan.
  4. Penelaah Keberatan TLharus membuat tanda terima/bukti penerimaan buku, catatan, dokumen, data, informasi, atau keterangan lain Wajib Pajak secara jelas dan rinci.
  5. Penelaah Keberatan harus membuat tanda terima/bukti pengembalian buku, catatan, dokumen, data, informasi, atau keterangan lain Wajib Pajak secara jelas dan rinci.
  6. Penelaah Keberatan harus mengadministrasikan berkas dan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan keberatan dengan baik.

Kamis, 05 Maret 2009

Analisa Risiko Untuk Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar

Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 serta memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak sehubungan dengan proses pemeriksaan atas SPT Masa PPN Lebih Bayar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan mengenai tata cara penetapan dan penentuan analisa risiko dalam rangka pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2009 tanggal 24 Februari 2009.