..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PBB/BPHTB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label New Regulations - PBB/BPHTB. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 April 2011

NJOP Tidak Kena Pajak PBB Jadi Rp 24 Juta

Mulai 1 Januari 2012, Pemerintah menaikkan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga menjadi maksimal sebesar Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.03/2011 tanggal 4 April 2011 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

Dalam ketentuan ini diatur bahwa:
Dasar Pengenaan PBB adalah NJOP. Dalam menghitung besarnya PBB, besarnya NJOP akan dikurangkan terlebih dahulu dengan suatu batas Nilai Jual Objek Pajak yang tidak dikenakan pajak yang disebut sebagai NJOP Tidak Kena Pajak.

Rabu, 29 September 2010

Penetapan NJOP sebagai Dasar Pengenaan PBB

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah suatu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. NJOP ini ditetapkan sebagai dasar untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap suatu objek Bumi dan Bangunan. Apabila tidak diperoleh harga transaksi jual beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti.

Selama ini penentuan besarnya NJOP dan klasifikasinya sebagai dasar pengenaan PBB diatur melalui Peraturan (Keputusan) Menteri Keuangan, dan yang berlaku hingga saat ini adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998. Namun karena ketentuan ini sudah sangat lama, dan sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengenaan PBB, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

Berdasarkan ketentuan ini Klasifikasi NJOP Bumi dibagi menjadi 200 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 3.100.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 200 dengan NJOP sebesar Rp 140/m2.

Sedangkan Klasifikasi NJOP Bangunan menurut ketentuan ini dibagi menjadi 100 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 16.000.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 100 dengan NJOP sebesar Rp 50.000/m2.

Selasa, 14 September 2010

Badan Internasional Dapat Pembebasan PBB dan BPHTB

Guna menerapkan asas perlakuan timbal balik dengan negara lain dan sesuai dengan kelaziman internasional, maka kantor perwakilan negara asing/organaisasi internasional yang berada di Indonesia akan mendapatkan pembebasan pengenaan pajak apabila negara yang bersangkutan tempat asal kantor perwakilan negara asing/organisasi internasional tersebut memberikan perlakuan yang sama.

Oleh sebab itu, Menteri Keuangan menetapkan organisasi-organisasi internasional yang berhak memperoleh pembebasan pengenaan PBB dan BPHTB dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Badan Atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.07/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Badan Atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan.

Di samping itu, Menteri Keuangan juga menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.03/2010 tanggal 20 Agustus 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 Tentang Organisasi-Organisasi Internasional Dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan. Ketentuan ini mengubah perubahan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008.


Artikel Terkait:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008

Rabu, 24 Maret 2010

Nomor Objek Pajak (NOP) Pajak Bumi dan Bangunan

Dalam rangka melakukan pembenahan sistem administrasi pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2010 tanggal 10 Maret 2010 tentang Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan. Peraturan yang disampaikan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ/2010 tanggal 10 Maret 2010, ini antara lain mengatur tentang:

Nomor Objek Pajak (NOP) PBB adalah nomor identitas objek pajak PBB yang bersifat unik (setiap objek pajak PBB diberikan satu NOP dan berbeda antara satu objek dengan yang lainnya), tetap (NOP yang diberikan kepada setiap objek pajak PBB tidak berubah), standar (hanya ada satu sistem pemberian NOP yang berlaku secara nasional.

NOP diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada saat melakukan pendaftaran dan/atau pendataan objek pajak PBB dan digunakan sebagai administrasi perpajakan dan sarana wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Struktur NOP terdiri dari 18 digit, dengan rincian:
  1. digit ke-1 dan ke-2 merupakan kode provinsi;
  2. digit ke-3 dan ke-4 merupakan kode kabupaten/kota;
  3. digit ke-5 sampai dengan digit ke-7 merupakan kode kecamatan;
  4. digit ke-8 sampai dengan digit ke-10 merupakan kode kelurahan/desa;
  5. digit ke-11 sampai dengan digit ke-13 merupakan kode nomor urut blok;
  6. digit ke-14 sampai dengan digit ke-17 merupakan kode nomor urut objek pajak;
  7. digit ke-18 merupakan kode tanda khusus.

Tata cara pemberian NOP dapat dilihat pada lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut.

Rabu, 16 Desember 2009

Tata Cara Penyelesaian Keberatan PBB

Pengajuan keberatan atas PBB sesuai dengan ketentuan terbaru diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2009 (baca artikel terkait di sini). Untuk memberikan penegasan lebih detil dalam pelaksanaan proses penyelesaian keberatan PBB ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-113/PJ/2009 tanggal 8 Desember 2009.



Senin, 09 November 2009

SSP untuk PBB dan BPHTB

Dalam rangka memberikan kemudahan pembayaran pajak melalui sistem Modul Penerimaan Negara (MPN) terkait dengan integrasi pelayanan pajak, perlu menambahkan Kode Kantor Pelayanan Pajak pada SSP PBB dan SSB. Untuk itu, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ/2009 tanggal 22 Oktober 2009 mengenai bentuk baru SSP yang akan digunakan untuk menyetorkan PBB dan BPHTB.

SSP yang ditetapkan dalam PER-59/PJ/2009 ini digunakan untuk melakukan:
  1. setoran atas pembayaran atau penyetoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Pedesaan, Perkotaan dari tempat pembayaran ke Bank Persepsi atau Pos Persepsi.
  2. setoran atas pembayaran atau penyetoran PBB sektor Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan dari Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Pos Persepsi.
  3. untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Bank Persepsi atau Pos Persepsi dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Satu formulir SSPBB, SSP PBB, atau SSB hanya dapat digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk satu Tahun Pajak/surat ketetapan pajak/Surat Tagihan Pajak dengan menggunakan satu Kode Akun Pajak.
Sebagai pengantar dari PER-59/PJ/2009 ini, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-110/PJ/2009 tanggal 19 Nopember 2009.


Download:
- Surat Setoran BPTHB (SSB)
- Surat Setoran Pajak Bumi dan Bangunan (SSPBB)
- Surat Setoran Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SSP PBB)

Jumat, 16 Oktober 2009

Tata Cara Penunjukan Tempat Pembayaran PBB

Untuk memberikan pelayanan kepada para Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2007 maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-58/PJ/2009 tanggal 13 Oktober 2009 mengenai Tata Cara Penunjukan Tempat Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.

Petunjuk pelaksanaan dari PER-58/PJ/2009 ini ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-101/PJ/2009 tanggal 13 Oktober 2009.
Dalam ketentuan ini diatur bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) setiap tahun menunjuk satu Tempat Pembayar (TP), yang merupakan Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran PBB dan memindahbukukan ke Bank Persepsi/Pos Persepsi, untuk satu wilayah tertentu. Wilayah tertentu ini adalah wilayah administrasi pemerintahan yaitu Desa/Kelurahan atau Kecamatan dimana objek pajak berada.
Dalam SE-101/PJ/2009 dijelaskan secara terperinci bagaimana proses kerja penunjukan TP serta kegiatan dari TP tersebut.

Di samping itu, Direktur Jenderal Pajak juga telah menetapkan 2 (dua) TP, yaitu melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor:
-SE-98/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009 menunjuk PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan sebagai TP Elektronik.
-SE-99/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009 menunjuk PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara sebagai TP Elektronik.

Rabu, 26 Agustus 2009

Tata Cara Pengurangan PBB

Untuk mengakomodasi ada perubahan struktur organisasi di Direktorat Jenderal Pajak serta untuk dapat memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak dalam hal proses pengurangan PBB, maka Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Pengurangan PBB. Untuk melaksanakan Peraturan Menteri Keuangan ini, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-46/PJ/2009 dan disampaikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-77/PJ/2009 tanggal 24 Agustus 2009.


Artikel Terkait:
- Pemberian Pengurangan PBB

Rabu, 08 Juli 2009

Pengurangan Sanksi PBB dan BPHTB

Guna melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dalam hal pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi PBB dan BPHTB, maka Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2009 tanggal 17 Juni 2009.
Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

  1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi PBB dan BPHTB berupa bunga, denda, dan kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak; dan/atau
  2. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB, yang tidak benar.

Senin, 06 Juli 2009

Pemberian Pengurangan PBB

Guna memberikan keringanan kepada masyarakat yang tidak mampu membayar PBB atas tanah dan bangunan yang dimilikinya, maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tanggal 17 Juni 2009 mengenai Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.

Pengurangan PBB ini dapat diberikan kepada Wajib Pajak:
a. karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya; yaitu untuk:

Wajib Pajak orang pribadi, meliputi:
-objek pajak yang Wajib Pajaknya orang pribadi veteran pejuang kemerdekaan, veteran pembela kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya, atau janda/ dudanya;
-objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah;
-objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
-objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi; dan/ atau
-objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang Nilai Jual Objek Pajak per meter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan;

Wajib Pajak badan, meliputi:
objek pajak yang Wajib Pajak-nya adalah Wajib Pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada Tahun Pajak sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin.

b. dalam hal objek pajak terkena bencana alam (antara lain seperti: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor) atau sebab lain yang luar biasa (meliputi kebakaran, wabah penyakit tanaman, dan/ atau wabah hama tanaman).

Pengurangan dapat diberikan:

1. sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi veteran pejuang kemerdekaan, veteran pembela kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya, atau janda/ dudanya ;
2. sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu Wajib Pajak orang pribadi dengan :
* objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah;
* objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
* objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi; dan/ atau
* objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang Nilai Jual Objek Pajak per meter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan; dan/ atau
* Wajib Pajak Badan meliputi objek pajak yang Wajib Pajak-nya adalah Wajib Pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada TLTahun Pajak sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin.
3. sebesar paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB yang terutang dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.

Persyaratan Mengajukan Permohonan

Permohonan Pengurangan yang diajukan secara perseorangan harus memenuhi persyaratan:

  1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT atau SKP PBB;
  2. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya persentase Pengurangan yang dimohon disertai alasan yang jelas,
  3. diajukan kepada Kepala KPP Pratama;
  4. dilampiri fotokopi SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan Pengurangan;
  5. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak berlaku ketentuan sebagai berikut:
    • surat permohonan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk:
      1. Wajib Pajak Badan; atau
      2. Wajib Pajak orang pribadi dengan PBB yang terutang lebih banyak dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
    • Surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan PBB yang terutang paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
  6. diajukan dalam jangka waktu:
    • 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT;
    • 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB;
    • 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Surat Keputusan Keberatan PBB;
    • 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya bencana alam; atau
    • 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya sebab lain yang luar biasa,

    kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;

  7. tidak memiliki tunggakan PBB Tahun Pajak sebelumnya atas objek pajak yang dimohonkan Pengurangan, kecuali dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
  8. tidak diajukan keberatan atas SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan Pengurangan, atau dalam hal diajukan keberatan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan dimaksud tidak diajukan Banding.


Artikel:
- Aturan Pelaksana: Tata Cara Pengurangan PBB

Kamis, 11 Juni 2009

Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan

Istilah Sektor Perkebunan sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah suatu objek pajak yang digunakan untuk pengusahaan tanaman perkebunan dengan luasan paling sedikit 2 (dua) hektar, termasuk emplasemen. Saat ini, ketentuan pengenaan PBB atas Sektor Perkebunan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-50/PJ/2008 dengan aturan pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-81/PJ/2008 dan disempurnakan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-45/PJ/2009 tanggal 21 April 2009.



Kamis, 30 April 2009

Tata Cara Pemberian Pengurangan BPHTB

Untuk mengatur ketentuan mengenai pengajuan permohonan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sehubungan dengan Wajib Pajak Badan yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau peleburan usaha (konsolidasi), maka Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2009 tanggal 27 April 2009.



Jumat, 20 Maret 2009

Ketentuan Pengajuan Keberatan atas PBB

Pada prinsipnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah merupakan pajak yang menganut sistem official assesment, dimana perhitungan pajak yang terutang telah dihitung dan ditetapkan oleh pihak Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Perhitungan PBB terutang yang dilakukan oleh DJP atas setiap Objek Pajak ini akan diberitahukan kepada para Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Selain itu, DJP juga dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Bumi Dan Bangunan apabila ternyata terjadi penentuan besarnya PBB terutang yang lebih kecil akibat Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan nilai yang lebih kecil maupun akibat Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP.

Namun jika penetapan nilai PBB oleh DJP melalui SPPT dan SKP PBB ini ternyata tidak dapat diterima oleh Wajib Pajak, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak. Tata cara pengajuan keberatan ini diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009 serta ditegaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-32/PJ/2009 tanggal 16 Maret 2009.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ/2009 ini telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-16/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010.

Kamis, 19 Februari 2009

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB

Menteri Keuangan kembali menetapkan tata cara penentuan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan mengubah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000. Penetapan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2009 tanggal 5 Februari 2009. Peraturan ini mengubah Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008.
Peraturan ini mulai berlaku setelah 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan, berarti mulai berlaku tanggal 5 April 2009. Peraturan Menteri Keuangan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan Surat Edaran Nomor SE-26/PJ/2009 tanggal 2 Maret 2009.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2009 ini, maka penetapan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dilakukan secara regional oleh Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
  2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun Sederhana, ditetapkan sebesar Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah);
  3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
  4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3, ditetapkan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
  5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 2, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada angka 4;
  6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 3, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada angka 3 ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada angka 4.

Selasa, 21 Oktober 2008

Wajibkah Saya Memiliki NPWP ?

Selama ini penulis selalu mendapatkan pertanyaan dari para pembaca ataupun dari rekan-rekan penulis mengenai kewajiban memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apalagi dengan gencarnya pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam mengkampanyekan program sunset policy dan pendaftaran untuk mendapatkan NPWP di tahun 2008 ini, yang menyebabkan banyak masyarakat di Indonesia yang hingga saat ini masih belum memiliki NPWP menjadi penasaran dengan kewajiban memiliki NPWP. Untuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai kewajiban memiliki NPWP tersebut, berikut ini akan disajikan beberapa ketentuan sebagai landasan yang mengharuskan kita untuk memiliki NPWP.

Dasar Hukum Wajib Memiliki NPWP

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 disebutkan bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Apa itu persyaratan subjektif dan objektif? Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) membagi jenis subjek pajak menjadi:
- orang pribadi dan warisan yang belum terbagi
- badan
- bentuk usaha tetap
Subjek Pajak sendiri dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Orang pribadi yang termasuk sebagai Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia (warga negara Indonesia) atau orang pribadi (dari luar negeri) yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh ditegaskan bahwa subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Ketentuan bahwa subjek pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki penghasilan di atas PTKP inilah yang disebut sebagai telah memenuhi kewajiban pajak objektif. Ketentuan mengenai PTKP ini diatur dalam Pasal 7 UU PPh, yang mulai tahun 2009 ditentukan sebesar:
Untuk mengetahui besarnya PTKP untuk tahun pajak 2008 dan sebelumnya dapat diakses di sini.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh ini ditegaskan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Jadi, jika orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia atau orang asing yang tinggal di Indonesia (atau mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia) selama lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta mendapatkan penghasilan di atas PTKP, maka wajib untuk memiliki NPWP.
Bagaimana caranya untuk mendaftarkan NPWP? Pendaftaran NPWP dapat dilakukan sendiri dengan cara mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat, melalui pendaftaran online via internet, atau pendaftaran secara kolektif melalui perusahan pemberi kerja. Jika Anda ingin mengetahui cara-cara pendaftaran NPWP, dapat dibaca di sini.
Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-59/PJ/2008 tanggal 17 Oktober 2008 yang meminta kepada aparat di jajaran Kantor Pelayanan Pajak untuk memberikan pelayanan kepada karyawan dalam mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP melalui pemberi kerjanya.
Beberapa Ketentuan yang Membuat kita harus Memiliki NPWP
  1. Pasal 21 ayat (5 a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan; dimana bagi karyawan, sebagai penerima penghasilan, yang tidak memiliki NPWP akan dipotong PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja dengan tarif 20% lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang telah memiliki NPWP.
  2. Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1 a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan; dimana bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP akan dipotong PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23 oleh pemberi penghasilan dengan tarif 100% lebih tinggi dibandingkan dengan penerima penghasilan yang telah memiliki NPWP.
  3. Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan; dimana Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak fiskal Luar Negeri. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Januari 2009 sampai dengan 31 Desember 2010.
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2008 tanggal 9 September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Rangka Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; yang mengatur pihak yang melakukan transaksi jual atau beli tanah dan/atau bangunan wajib untuk mencantumkan NPWP pada Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (SSB) bagi pembeli dan pada Surat Setoran Pajak (SSP) atas pembayaran PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bagi penjual.
(c) syafrianto 21102008

Informasi terkait:
- SYARAT-SYARAT PENDAFTARAN NPWP
- Apa Yang Harus Saya Lakukan Setelah Memiliki NPWP?

-Konsultasi Pajak Gratis: Maksud Pengenaan PPh Pasal 21 Lebih Tinggi 20% Dalam UU PPh Baru