..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Kebijakan Ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebijakan Ekonomi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Desember 2022

Pemerintah Terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja

Pada hari ini, 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 25 November 2021 yang menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, dimana pada salah satu putusannya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja harus segera diamandemen supaya dapat diberlakukan. Hasil putusan MK ini sangat memengaruhi perilaku dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri. Di sisi lain, pemerintah terus berupaya untuk menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, keberadaan Perppu ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha.

Sehingga menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers pada hari Jumat, 30 Desember 2022 (sebagaimana yang dikutip dari situs setkab.go.id) bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden, Jakarta, menyatakan bahwa penerbitan Perppu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

“Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga.

Di sisi geopolitik, imbuhnya, dunia dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia dan konflik lainnya yang juga belum selesai. “Dan pemerintah menghadapi, tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim,” imbuhnya.

Menko Airlangga juga menyebut bahwa pengeluaran Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini sudah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII /2009.

Pada kesempatan itu Airlangga juga menyebutkan beberapa isi perubahan di UU Cipta Kerja menjadi Perpu Cipta Kerja. Perubahan dengan Perpu Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah menurut Airlangga sesuai dengan perintah dan Putusan MK. Misalnya poin penting di Perpu Cipta Kerja adalah pengaturan mengenai masalah ketenagakerjaan, pengaturan upah minimum, dan pengaturan pekerja alih daya.

Khusus pekerja alih daya ini sebelumnya di UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, membuka kepada seluruh sektor usaha, dengan Perpu 2 Tahun 2022 berubah menjadi diatur jenis pekerjaannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah. "ini masukan sesuai dengan permintaan dari serikat pekerja," klaim Arilangga.

Perubahan lain Perppu Cipta Kerja adalah mengenai sinkronisasi harmonisasi dengan tata cara penyusunan perundang-undangan termasuk pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Perubahan lain menyangkut penyempurnaan pengaturan sumber daya air. "Juga perubahan atas kesalahan pasal dan legal drafting yang substansial telah disempurnakan oleh kementerian lembaga terkait," kata Airlangga.

Dengan keluarnya Perppu Nomor 2 tahun 2022 ini Airlangga menegaskan UU Omnibus Cipta Kerja yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK maka telah menjadi konstitusional dengan adanya Perpu yang menggantikannya.
 
Download:

Sabtu, 14 Maret 2020

Stimulus Kebijakan Fiskal Jilid 2 untuk Mitigasi Dampak Negatif Virus Corona

Jakarta, 13/03/2020 - Situasi pandemik covid-19 yang mengglobal, membuat pemerintah merespons dengan memberi stimulus kebijakan fiskal jilid 2 untuk memitigasi dampak negatif virus corona pada ekonomi. Salah satunya dengan memberikan relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 21, 22, 25 dan restistusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipercepat.

"Situasi yang menjadi pandemik dunia (covid-19), perkembangan ini sangat dinamis. Kita menyiapkan instrumen, policy untuk memitigasi, meminimalisir dampak, baik untuk sektor pengusaha, korporasi maupun masyarakat. Pemerintah selalu melihat dari dua sisi. Dari sisi ekonomi, dari demand side: konsumsi, investasi dan dari sisi sektor usaha atau supply chain atau product sub-side-nya terutama sektor manufaktur yang langsung terdampak ekspor dan impor. Banyak sektor manufaktur yang terhalang mendapat barang modal dan bahan baku dan para eksportir untuk diberi kemudahan secepat mungkin," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.

Hal ini disampaikannya pada konferensi pers (konpres) bersama yang dihadiri oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pada hari Jumat (13/03) di Aula Graha Sawala, Kemenko, Jakarta.

Relaksasi pertama adalah pemerintah menanggung Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 untuk seluruh karyawan industri manufaktur pengolahan yang penghasilannya mencapai sampai dengan Rp200 juta pertahun baik industri yang berlokasi di Kawasan Industri Tujuan Ekspor (KITE) maupun non KITE. Pemerintah menanggung PPh pasal 21 ini selama 6 bulan, mulai bulan April hingga September 2020.

"Relaksasi PPh pasal 21 dengan memberikan pajak ditanggung Pemerintah 100% atas penghasilan pekerja yang memiliki income sampai dengan Rp200 juta pertahun di sektor industri manufaktur baik yang berlokasi di KITE (Kawasan Industri Tujuan Ekspor) maupun non KITE. Relaksasi kami berikan selama 6 bulan dimulai dari gaji bulan April sampai September. Nilai relaksasi estimasi Rp8,6 triliun berdasarkan kinerja perusahaan tahun 2019. Kita berharap akan menambah daya beli masyarakat terutama karyawan atau perusahaan yang mendapat tekanan cash flow tanpa harus menambahkan pajak dalam kompenen gajinya," jelasnya.

Kedua, relaksasi PPh pasal 22 Impor untuk 19 industri manufaktur yang diberikan selama 6 bulan dari bulan April-September 2020 baik untuk industri manufaktur di wilayah KITE maupun non KITE.

"Kedua, kita memberikan relaksasi pajak penghasilan 22 impor untuk yang mengimpor barang baku untuk 19 industri manufaktur yang terkena dampak sesuai rekomendasi KADIN dan APINDO baik yang berlokasi di wilayah KITE maupun non KITE. Pembebasan ini akan diberikan selama 6 bulan mulai April hingga September. Perkiraan dari total volume kalau sama dengan tahun lalu, Rp8,15 triliun PPH pasal 22 Impor yang tidak akan dibayarkan perusahaan," paparnya.

Ketiga, pemerintah memberi penundaan PPh Pasal 25 untuk korporasi baik yang berlokasi di KITE maupun non KITE selama 6 bulan mulai April hingga September.

"Ketiga, kami memberikan pajak relaksasi PPh pasal 25, yaitu pajak korporasi sebesar 30% kepada 19 sektor pengolahan, baik yang berlokasi di KITE maupun non KITE termasuk KITE IKM, selama 6 bulan mulai April hingga September. Ini akan mengurangi beban cash flow perusahaan yang biasanya membayar PPh 25 Masa. Nilainya sekitar Rp4,2 triliun," tuturnya.

Keempat, pemerintah membuat restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat bahkan tanpa audit awal. Namun, jika terdapat suatu hal yang perlu diperiksa, maka akan diperiksa lebih lanjut. Pemerintah akan memberikan fasilitas ini selama 6 bulan dari April hingga September 2020.

"Keempat, relaksasi restitusi pajak pertambahan nilai (PPN). PPN untuk para perusahaan yang melakukan ekspor, mereka biasanya melakukan restitusi terhadap barang-barang inputnya. Untuk eksportir, kita tidak memberikan sama sekali batasan. Jadi, restitusi dipercepat bahkan tanpa audit awal, baru nanti kita periksa kalau diperkirakan ada sesuatu untuk diperiksa. Untuk perusahaan non eksportir, kita memberikan batasan sampai dengan Rp5 miliar untuk 19 industri tertentu. Ini dimulai April hingga September, 6 bulan. Total restitusi diperkirakan akan mencapai Rp1,97 triliun," pungkasnya.

19 Bidang Industri Yang Mendapatkan Fasilitas Relaksasi Stimulus Fiskal Jilid 2

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan ada 19 industri yang mendapat relaksasi bea masuk bahan baku impor untuk memperkecil dampak negatif virus corona bagi perekonomian Indonesia.

Hal ini disampaikan dalam konferensi pers (konpres) bersama yang dihadiri oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pada hari Jumat (13/03) di Aula Graha Sawala, Kemenko, Jakarta.

"Berkaitan dengan bea masuk impor bahan baku, kami memastikan industri mendapatkan kecukupan bahan baku agar mereka bisa kembali melakukan operasionalnya (karena) 30% bahan baku berasal dari Cina. Sekarang industri harus mencari alternatif dari negara lain, karena keterbatasan, tidak hanya dari Indonesia tapi juga dari negara lain, harganya pasti tinggi dan pasti berebutan karena mereka mengalami problem yang sama. Relaksasi atau pembebasan bea masuk tidak boleh mengganggu industri dalam negeri dan tidak boleh ada produk impor barang jadi dalam paket ini. Pemerintah tidak mau ada free rider. Berdasarkan usulan KADIN ada 19 industri manufaktur," jelas Menteri Perindustrian.

Berikut adalah 19 industri yang mendapat relaksasi bea masuk bahan baku impor:
  1. Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia
  2. Industri peralatan listrik
  3. Industri kendaraan bermotor, trailer, dan semi-trailer
  4. Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional
  5. Industri logam dasar
  6. Industri alat angkutan lainnya
  7. Industri kertas dan barang dari kertas
  8. Industri makanan
  9. Industri komputer, barang elektronik dan optik
  10. Industri mesin dan perlengkapan
  11. Industri tekstil
  12. Industri karet, barang dari karet dan plastik
  13. Industri furniture
  14. Industri percetakan dan reproduksi media perekaman
  15. Industri barang galian bukan logam
  16. Industri barang logam bukan mesin dan peralatannya 
  17. Industri bahan jadi
  18. Industri minuman
  19. Industri kulit, barang kulit dan alas kaki
Ia menambahkan, dari 19 sektor industri tersebut, ada 1.022 kode HS yang merupakan bahan baku industri. Dari verifikasi tahap pertama, dari 1.022 kode HS tersebut, yang mendapat prioritas terdapat 313 kode HS.

Sebagai informasi, kode HS adalah Harmonized System yaitu nomenklatur klasifikasi barang yang digunakan secara seragam di seluruh dunia berdasarkan International Convention on The Harmonized Commodity Description and Coding System dan digunakan untuk keperluan tarif, statistik, rules of origin, pengawasan komoditi impor/ekspor, dan keperluan lainnya. HS terdiri dari penomoran barang sampai tingkat 6 digit, Ketentuan Umum Mengintepretasi Harmonized System (KUMHS), catatan bagian, catatan bab dan catatan subpos yang mengatur ketentuan pengklasifikasian barang.

Sumber: kemenkeu.go.id

Selasa, 26 November 2019

Pernyataan Pers Menteri Keuangan tentang Proses RUU Omnibus Perpajakan

Pada tanggal 22 November 2019 bertempat di Kantor Presiden RI telah diselenggarakan Rapat Terbatas Kebijakan Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Dalam Rapat Terbatas ini telah dibahas mengenai perkembangan proses Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Perpajakan yang sebelumnya telah diminta oleh Presiden Jokowi. Setelah Rapat Terbatas tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan pernyataan pers kepada para wartawan yang meliput.

Pada intinya pernyataan pers yang disampaikan oleh Menteri Keuangan ini menjelaskan mengenai RUU Omnibus Perpajakan, bahwa: RUU Omnibus Perpajakan ini adalah amandemen Undang-Undang yang terkait dengan ketentuan perpajakan dan perekonomian yang sebelum diatur dalam UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan UU lainnya yang berpengaruh atau dipengaruhi RUU Omnibus Perpajakan ini. Hal yang diatur dalam RUU Omnibus Perpajakan akan terdiri dari 6 kelompok, yaitu:
  1. Hal yang akan diatur RUU Omnibus Perpajakan ini adalah penurunan tarif PPh Badan dari yang berlaku saat ini sebesar 25% menjadi 22% dan 20%, 22% untuk periode 2021-2022. Selain itu juga diatur khusus tarif PPh Badan untuk perusahaan yang go public.
  2. Penurunan tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan bunga yang diterima oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku, dengan diatur dalam peraturan pemerintah.
  3. Perubahan sistem pemajakan bagi Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari Luar Negeri, yang selama ini menganut prinsip world wide income yang akan diubah menjadi prinsip territori, untuk penghasilan baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya. Prinsip Territori ini juga akan diterapkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang merupakan Warga Negera Asing yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri yang memperoleh penghasilan di Indonesia serta bagi Warga Negara Indonesia yang telah berada di Luar Negeri lebih dari 183 hari.
  4. Akan diatur juga mengenai hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan, terutama bagi Pengusaha Kena Pajak, terutama Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh barang ataupun jasa namun dari pihak yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
  5. Mengubah ketentuan pengenaan sanksi administrasi atas bunga keterlambatan penyetoran pajak yang sebelumnya 2% menjadi lebih rendah.
  6. Mengubah ketentuam mengenai pemberian imbalan bunga oleh Pemerintah.
  7. Mengatur pemajakan atas transaksi perdagangan dengan sistem elektronik (e-commerce).
  8. Melakukan pengaturan kembali atas peraturan terkait pajak daerah
  9. Mengatur mengenai fasilitas-fasilitas perpajakan.
Berikut ini adalah video Pernyataan Pers Menteri Keuangan.

Berikut ini adalah transkrip dari pernyataan pers Menteri Keuangan tersebut.

Pernyataan Pers Menteri Keuangan RI
Rapat Terbatas Kebijakan Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian Kantor Presiden RI, 22 November 2019

Assalamualaikum wr. wb.

Telah dibahas dalam ratas tadi mengenai RUU Omnibus Perpajakan. Seperti diketahui bahwa Bapak Presiden meminta Kabinet (Indonesia Maju) untuk membuat peraturan perundang-undangan di dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan peranan UMKM, dan bagaimana meningkatkan investasi di dalam rangka meningkatkan penciptaan kesempatan kerja di Indonesia. Salah satunya yang ada di dalam kelompok perpajakan akan menjadi Omnibus tersendiri, kita sekarang menyampaikan kepada Bapak Presiden dalam sidang kabinet tadi RUU mengenai Omnibus Perpajakan.
  1. Pada dasarnya untuk penyusunan RUU ini terdiri dari 6 (enam) kelompok isu yang akan disampaikan untuk meningkatkan kemampuan perekonomian Indonesia dalam menciptakan kesempatan kerja. Dan menyangkut tentang UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta UU lainnya yang berpengaruh atau dipengaruhi oleh UU ini.
  2. Yang kesatu, kelompok pertama adalah mengenai Tarif Pajak Badan. Kita akan menurunkan, seperti disampaikan di sidang kabinet sebelumnya, PPh Badan dari saat ini 25% menjadi 22% dan 20%, 22% untuk periode 2021-2022, dan untuk periode 2023 akan menjadi 20%. Kita juga akan menurunkan untuk Pajak Badan yang akan melakukan go public dengan pengurangan Tarif PPh-nya 3% lagi di bawah tarif penurunan yang saya sebutkan tadi, hanya untuk yang go public yang baru selama 5 tahun sesudah mereka go public. Dengan demikian untuk yang go public, PPh-nya akan turun dari 22% menjadi 19% dan yang go public nanti di tahun 2023, mereka akan turun dari 20% menjadi 17%, karena turun 3% di bawah tarif normal. Kemudian kita juga akan membuat penurunan tarif atau pembebasan Tarif PPh Dividen dalam negeri, dalam hal ini dividen yang diterima oleh Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi akan dibebaskan dan nanti akan kita atur lebih lanjut di dalam peraturan pemerintah di bawahnya.
  3. Untuk kelompok yang kedua adalah menyesuaikan Tarif PPh Pasal 26 atas bunga. Ini dalam rangka tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri, yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku, dengan diatur dalam peraturan pemerintah.
  4. Di dalam RUU Omnibus ini, kita juga akan mengatur sistem territori di dalam rangka untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri, yaitu untuk Wajib Pajak yang penghasilannya dari luar negeri baik dalam bentuk dividen maupun penghasilan setelah pajak dari usahanya, badan usaha tetapnya di luar negeri, dividen tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia, apabila diinvestasikan di Indonesia, yang berasal dari perusahaan baik yang listed maupun nonlisted. Ini nanti akan dijelaskan lebih jelas oleh Pak Suryo mengenai sistem territorial ini, terutama mengenai prosentase berapa yang merupakan berapa pajak yang ditahan dan berapa banyak pajak yang merupakan dividen. Untuk sistem territori yang kedua, terutama untuk penghasilan tertentu dari luar negeri, yaitu dari Warga Negara Asing yang merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri yang selama ini mereka mendapatkan posisi sebagai dual residence. Jadi, orang asing namun dia tinggal di Indonesia, maka yang dipajaki atau yang objek pembayaran pajaknya hanya PPh yang berasal dari penghasilan yang dari Indonesia saja, kita tidak meminta penghasilan mereka yang berasal dari luar territori Indonesia. Kemudian, dalam omnibus ini juga akan diatur mengenai Subjek Pajak Orang Pribadi, terutama yang selama ini cut off harinya 183 hari, apakah bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia. Untuk Warga Negara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini mereka dianggap masih sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri karena dia orang Indonesia walaupun dia sudah tinggal di luar negeri, bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari, lebih dari 6 bulan, mereka masih dianggap sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri. Dan, oleh karena itu, dia dikenakan PPh untuk pajak dalam negeri kita. Sekarang dalam RUU ini, Subjek Pajak Dalam Negerinya bisa dikecualikan apabila mereka memenuhi persyaratan tertentu sehingga mereka bisa dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Dan, PPh yang diperoleh dari atas penghasilan dari Indonesia, dikenakan mekanisme pemotongan Pasal 26, namun untuk penghasilan yang berasal dari luar Indonesia itu adalah subjek pajak di luar negeri, karena sudah lebih dari 183 hari. Untuk Warga Negara Asing yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini begitu dia tinggal di Indonesia lebih dari 6 bulan, dia otomatis menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri. Kita juga akan melakukan hal yang sama, namun pajak yang dibayar oleh Warga Negara Asing di dalam negeri adalah hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja.
  5. Bagian lain dari RUU ini juga mengatur mengenai hak untuk mengkreditkan Pajak Masukan, terutama bagi Pengusaha Kena Pajak. Ini terutama Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh barang ataupun jasa namun dari pihak yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, selama ini mereka tidak bisa melakukan pengkreditan. Di dalam UU ini, nanti RUU ini kita mengusulkan agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut, maksimal 80%. Ini yang merupakan bagi kita suatu yang baru, sehingga merupakan suatu insentif dan kemudahan bagi para pengusaha yang selama ini memiliki barang dan jasa yang berasal dari perusahaan yang belum merupakan Pengusaha Kena Pajak atau bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Ini juga termasuk untuk Pajak-Pajak Masukan dari SPT yang ditemukan pada saat pemeriksaan dan mereka tidak bisa lagi mengidentifikasi dari mana perusahaan yang dia peroleh atau pembelian barang- barang tersebut dari perusahaan yang dia peroleh.
  6. Untuk bagian yang keenam, adalah mengenai sanksi. Di dalam RUU ini kami mengusulkan bahwa sanksi administrasi bagi pelanggaran pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate yaitu 2% per bulan, kita akan mengubah berdasarkan tarif bunga yang berjalan saat ini dibagi berapa lama mereka, dengan tentu saja memberikan perhatian bahwa sanksi tersebut adalah dianggap adil karena sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku, selama ini dengan suku bunga yang rendah tentu akan memberikan keuntungan bagi mereka untuk bisa comply lebih baik. Tujuannya adalah untuk para Wajib Pajak untuk dapat meningkatkan compliance- nya dan mereka bisa menghitung sanksi administrasinya secara lebih rasional. Dan oleh karena itu, kemudian bisa menciptakan struktur compliance yang lebih baik.
  7. Bagian yang ketujuh adalah mengenai pengaturan ulang dari sanksi di mana pemerintah mengambil dan oleh karena itu, kita harus memberikan kompensasi imbalan bunga yang akan dibayarkan oleh pemerintah juga akan mengikuti suku bunga yang berlaku. Jadi tidak lagi mengikuti 2% per bulan maksimum 24 bulan seperti yang selama ini diadopt dalam RUU KUP kita.
  8. Kemudian, untuk bidang yang berhubungan dengan pemajakan atas perdagangan dengan sistem elektronik, di dalam RUU ini kita akan menyampaikan bahwa subjek pajak luar negeri seperti NETFLIX dan yang lain-lain, yang selama ini merupakan subjek pajak luar negeri dapat memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN- nya. Jadi walaupun mereka tidak beroperasi, tidak berada di Indonesia namun ia memiliki aktivitas yang menghasilkan pendapatan dari Indonesia, mereka tetap bisa dan menjadi subjek pajak luar negeri yang memiliki kewenangan untuk memungut, dan kemudian menyetor dan melaporkan kepada otoritas pajak di sini. Ini dilakukan dalam rangka untuk menghindari transaksi-transaksi elektronik yang selama ini tidak (dikenakan PPN), karena keberadaannya di Indonesia, dari sisi badan usaha tersebut kita memiliki kesulitan untuk memungut pajaknya. Kemudian, untuk pengenaan Pajak Penghasilan atau Pajak Transaksi Elektronik yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri ini, maka diatur ketentuan sebagai BUT yang berdasarkan sumber penerimaan pajak di sini atau disebut sebagai economic presence-nya bukan berasal dari sisi tempat mereka atau phisycal presence-nya. Jadi, walaupun mereka tidak secara fisik ada di sini namun karena kegiatannya menghasilkan nilai ekonomi, itulah yang diatur sebagai basis perpajakannya dan dalam hal ini akan diatur dalam peraturan pemerintah.
  9. Terakhir di dalam, adalah mengenai rasionalisasi pajak daerah. Ini tujuannya adalah untuk mengatur kembali yang selama ini kewenangan Pemerintah Pusat untuk menetapkan tarif pajak daerah secara nasional, maka akan ditegaskan dalam RUU ini dan ditegaskan bahwa pengaturannya melalui peraturan presiden dan tentu nanti kita akan berkonsultasi dengan asosiasi pemerintah daerah di dalam rangka untuk mengatur agar kemampuan daerah untuk mengumpulkan pajak asli daerahnya, penerimaan asli daerahnya tetap bisa baik namun tetap sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat untuk menciptakan lingkungan usaha dan penciptaan kesempatan kerja serta investasi yang baik. Ini yang akan kita terus formulasikan, termasuk bagaimana agar Pemerintah Daerah dapat memajukan untuk perbaikan peraturan daerahnya secara lebih cepat melalui Peraturan Kepala Daerah.
  10. Terakhir, di dalam RUU ini adalah mengumpulkan seluruh fasilitas-faslitas perpajakan di dalam satu bagian, termasuk pengurangan dan pembebasan pajak seperti pajak PPh, Tax Holiday, Super Deduction untuk vokasi dan research and development, dan juga perusahaan yang melakukan penanaman modal untuk kegiatan padat karya. Kita juga juga, fasilitas PPh untuk Kawasan Eknomi Khusus dan juga pengurangan dan pembebasan pajak daerah itu akan diatur di dalam kelompok ini. Kita juga akan mengatur PPh untuk surat berharga nasional yang diedarkan di pasar internasional. Ini semuanya tujuannya adalah untuk memberikan landasan hukum dari pemberian berbagai fasilitas agar landasan itu menjadi lebih tegas dan kuat sehingga kita bisa melaksanakan policy-policy perpajakan di dalam mendorong penciptaan kesempatan kerja. Mungkin demikian yang bisa kita sampaikan, silakan jika ada pertanyaan. Untuk timeline selanjutnya, di dalam sidang kabinet ini kami akan merumuskan secara final.

Kamis, 05 September 2019

RUU Perpajakan - Pemerintah Ajukan RUU Pangkas PPh Badan, Bebaskan PPh Dividen, Turunkan Sanksi Bunga


Pemerintah tengah menyiapkan kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan. RUU Perpajakan yang sedang disusun ini ditujukan untuk penguatan perekonomian Indonesia dalam bentuk meningkatkan pendanaan investasi, menyesuaikan prinsip income perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi, menggunakan azas teritorial, mendorong kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela, menciptakan keadilan dalam iklim berusaha di dalam negeri dan menempatkan berbagai fasilitas perpajakan dalam satu perundang-undangan. RUU yang diusulkan ini adalah tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Informasi ini sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas di Kantor Presiden, Jakarta pada hari Selasa tanggal 3 September 2019 dan telah diwartakan di situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.

Beberapa perubahan penting yang diajukan dalam RUU Perpajakan ini adalah sebagai berikut.

1. Tarif PPh Badan Turun

Dalam RUU Perpajakan yang sedang disusun oleh Pemerintah ini adalah mengenai penurunan tarif PPh Badan yang saat ini adalah sebesar 25% akan diturunkan secara bertahap menjadi 20%.

Di samping itu juga akan diberikan penurunan untuk perusahaan yang telah go public (masuk bursa), tarif PPh-nya akan lebih rendah 3% dari tarif normal PPh Badan yang berlaku selama 5 tahun. Jadi apabila tarif normal PPh akan diturunkan menjadi 20%, maka tarif PPh untuk perusahaan go public akan menjadi 17%.

2. Penghapusan PPh atas dividen

Dalam RUU Perpajakan ini juga akan diusulkan untuk menghapuskan PPh atas dividen dengan syarat dividen yang diterima (baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri) tersebut ditanamkan kembali dalam investasi di Indonesia.

3. Mengubah azas pengenaan pajak world wide income menjadi azas teritorial

Usulan perubahan lainnya dalam RUU PPh adalah akan diterapkan azas pemajakan teritorial menggantikan azas pemajakan yang berlaku saat ini yaitu prinsip world wide income. Artinya warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA) akan menjadi Wajib Pajak di Indonesia tergantung dari berapa lama tinggal di Indonesia, dengan batasan waktunya adalah selama 183 hari. Jadi apabila WNA yang tinggal di Indonesia dengan waktu lebih dari 183 hari akan menjadi Wajib Pajak di Indonesia. Demikian pula sebaliknya apabila WNI yang tinggal selama lebih dari 183 hari di luar negeri dan sudah menjadi wajib pajak di negara tersebut, maka WNI ini tidak akan lagi menjadi Wajib Pajak di Indonesia.

4. Seluruh Insentif Pajak akan dimasukkan dalam RUU

Dalam RUU Perpajakan ini, akan mencantumkan seluruh fasilitas perpajakan ke dalam RUU supaya menjadi landasan hukum yang konsisten. Terdapat sejumlah fasilitas insentif perpajakan yang disiapkan opemerintah. Fasilitas insentif perpajakan yang dimasukkan antara lain tax holiday, super deduction, fasilitas pajak penghasilan (PPh) untuk kawasan ekonomi khusus (KEK), dan PPh untuk surat berharga negara (SBN) di pasar internasional.

5. Pengurangan sanksi Perpajakan

Dalam RUU Perpajakan, Pemerintah juga mengusulkan untuk meringankan sanksi bagi Wajib Pajak yang terlambat membayar pajak. Sanksi bunga keterlambatan pembayaran pajak saat ini adalah sebesar 2% per bulan akan diturunkan untuk wajib pajak yang selama ini melakukan pembetulan SPT, baik itu SPT tahunan maupun SPT masa dan kemudian mereka mengalami kurang bayar dalam RUU ini, sanksi per bulan akan diturunkan menjadi prorata yaitu suku bunga acuan yang ada di pasar + 5%. Contoh apabila Wajib Pajak terlambat membayar pajak selama 2 bulan, berarti bunganya adalah 2 bulan per 12 dikalikan suku bunga pasar + 5%.

Selain itu, pemerintah juga akan menurunkan sanksi denda untuk Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak atau faktur pajak yang dibuatnya tidak tepat waktu. Selama ini sanksi dendanya adalah sebesar 2% dari dasar pengenaan pajaknya. Maka di dalam RUU ini, diusulkan diturunkan dari 2% menjadi 1% sanksinya.

6. Relaksasi untuk hak mengkreditkan Pajak Masukan

Pemerintah juga memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak masukan, bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang diperolehnya pada saat sebelum menjadi PKP, untuk dapat dikreditkan pada saat menjadi PKP.

7. Pajak Ekonomi Digital

RUU baru perpajakan juga akan mengantisipasi perkembangan ekonomi digital. Sekaligus menegaskan perusahaan digital internasional sebagai subjek pajak luar negeri, sehingga perusahaan digital internasional bisa memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai (PPN). Hal itu dilakukan untuk meminimalisir penghindaran pajak. Tarif PPN yang akan dikenakan ke subjek pajak luar negeri tersebut sama sebesar 10%.

Selain itu juga akan dipertegas lagi definisi BUT sehingga tidak lagi mendasarkan definisi BUT pada kehadiran fisik namun lebih cenderung kepada suatu usaha yang memiliki significant economic presents. Dengan aturan tersebut akan membuat wilayah bermain yang sama untuk kegiatan digital yang melakukan perdagangan lintas batas.

Rabu, 01 Oktober 2014

APBN 2015

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari Senin, 29 September 2014 telah mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 menjadi Undang-undang (UU). APBN untuk tahun 2015 yang ditetapkan senilai Rp 2.039,5 triliun (naik lebih tinggi sekitar Rp19,6 triliun dibanding dengan usulan pemerintah dalam RAPBN 2015. Pengesahan UU APBN 2015 ini ditetapkan melalui sidang paripurna yang dipimpin oleh Sohibul Iman dan telah disepakati oleh seluruh anggota dewan yang hadir di Gedung DPR/MPR.

Berdasarkan Keterangan Pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan pada tanggal 29 September 2014 diketahui bahwa:

1. Pendapatan Negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun yang terdiri dari:
  • pendapatan dalam negeri dari perpajakan sebesar Rp 1.380 triliun
  • pendapatan dalam negeri dari penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 410,3 triliun
  • penerimaan hibah sebesar Rp 3,3 triliun

2.  Belanja Negara dalam APBN 2015 ini ditetapkan sebesar Rp 2.039,5 triliun yang terdiri dari:
  • Belanja Pemerintah Pusat ditetapkan sebesar Rp 1.392,4 triliun
  • Transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 647,04 triliun.

3. Keseimbangan primer ditetapkan sebesar negatif Rp 93,9 triliun

4. Defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp 245,9 triliun atau sebesar 2,21% terhadap PDB

Sedangkan untuk target indikator makro APBN 2015 adalah sebagai berikut:
  • Pertumbuhan Ekonomi 5,8%
  • Tingkat inflasi 4,4%
  • Nilai tukar rupiah rata-rata Rp 11.900 per USD
  • Tingkat Suku Bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan adalah 6,0%
  • Harga Minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) US$ 105/barel
  • Lifting Minyak Bumi 900.000 barel/hari
  • Lifting Gas Bumi 1.248.000 setara barel minyak/hari.
  • Rasio penerimaan negara terhadap PDB atau tax ratio sebesar 12,38%
Penerimaan Perpajakan di tahun 2015 ditargetkan sebesar Rp1.380,0 triliun. Kenaikan target penerimaan pajak ini didasarkan pada beberapa kebijakan antara lain melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan, ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan, penyesuaian kebijakan di bidang bea masuk, bea keluar, dan PPh dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian nasional, peningkatan daya saing dan nilai tambah melalui pemberian insentif fiskal dan penerapan kebiajakan hilirisasi pada komoditas tertentu dan pengendalian konsumsi barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau.

Untuk penerimaan sektor migas ditargetkan Rp 312,97 triliun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) migas ditargetkan Rp 13,99 triliun, dan cost recovery US$ 16 miliar. Sementara pendapatan sektor Mineral dan Batu Bara ditargetkan Rp 24,599 triliun, dan PNBP mineral dan batu bara Rp 16,06 triliun.

Target Dividen BUMN total Rp 44 triliun dengan rincian:
  • Pertamina Rp 10,24 triliun
  • PLN Rp 2,813 triliun
  • Non Pertamina dan PLN Rp 30,9 triliun

Dalam APBN ini, subsidi sektor energi adalah Rp 344,7 triliun, terdiri dari subsidi BBM, BBN, elpiji, dan LGV Rp 276,01 triliun, dan subsidi listrik Rp 68,68 triliun.

Rabu, 11 Januari 2012

Strategi Yang Akan Dilakukan DJP Dalam Mengawasi Wajib Pajak Selama 2012

Tahun 2011 telah kita lalui bersama. Berbagai hal dan kejadian telah dialami. Ada kesuksesan maupun kegagalan yang kita peroleh dari hasil kerja yang kita lakukan selama tahun 2011. Memasuki tahun 2012 ini, segala apa yang telah kita capai di tahun 2011 haruslah menjadi tolak ukur untuk melakukan kegiatan di 2012. Kita harus dapat mengevaluasi apa saja penyebab kegagalan maupun keberhasilan di tahun 2011 untuk kita jadikan sebagai bahan untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja di 2012 ini.

Selama tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan sejumlah program dan upaya dalam rangka memenuhi target yang telah dibebankan kepada institusi ini untuk mengumpulkan penerimaan bagi negara yang bersumber dari pajak. Walaupun secara keseluruhan, DJP "gagal" memenuhi target penerimaan yang dibebankan. Dari jumlah target dalam APBN-P 2011 sebesar Rp 878,7 triliun, DJP "hanya" dapat merealisasikan penerimaan pajak sebesar Rp 872,6 triliun atau sebesar 99,3% (sumber: Siaran Pers DJP tanggal 10 Januari 2012).

Walaupun gagal dalam memenuhi target penerimaan pajak 2011, namun jika dibandingkan dengan pencapai di tahun 2010, apa yang telah dicapai di tahun 2011 ini telah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Realisasi penerimaan pajak tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp 149,3 triliun (tumbuh sebesar 20,6%) dari tahun 2010. Realisasi rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) tahun 2011 juga telah mencapai 12,3%. Ada kenaikan bila dibandingkan dengan tax ratio tahun 2010 yang sebesar 11,3%.

Tahun 2012, DJP dibebankan target penerimaan pajak sebesar Rp 1.032,57 triliun. Target penerimaan pajak tahun 2012 ini cukup fantastis dan telah memberikan kontribusi sebesar 78,74% dari total rencana penerimaan dalam APBN yang sebesar Rp 1.311,38 triliun. Untuk dapat mencapai target yang telah ditetapkan ini, maka DJP menjabarkan sejumlah strategi. Inilah strategi dan rencana yang akan dilakukan oleh DJP dalam mengamankan penerimaan pajak tahun 2012:

1. Penyempurnaan sistem administrasi pajak Sektor PPN

DJP akan melakukan review atas kebijakan pemberian Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). Melakukan penelitian ulang efektifitas Pengusaha Kena Pajak (PKP), jika ada PKP yanh tidak efektif akan dicabut NPPKP-nya. Selain itu DJP juga akan menyempurnakan sistem teknologi informasi yang berkaitan dengan Pajak Keluaran dan Pajak Masukan.

2. Melakukan pengawasan lebih optimal kepada UKM

DJP akan melakukan pengawasan, pembinaan, pembuatan regulasi yang berkaitan dengan insentif bagi usaha kecil dan menengah. Toko-toko kecil, seperti yang di Mangga Dua akan lebih diawasi karena dianggap selama ini masih belum membayar pajak secara optimal.

3. Peningkatan penegakan hukum di bidang perpajakan dan penyempurnaan sistem piutang pajak secara online.

4. Pelaksanaan program Sensus Pajak Nasional yang lebih terencana, terarah, dan terukur.

5. Peningkatan kualitas SDM, terutama untuk AR, Pemeriksa Pajak dan Juru Sita.

6. Penyempurnaan sistem pengendalian internal melalui peningkatan fungsi kepatuhan internal, implementasi nilai-nilai Kementerian Keuangan dan peningkatan efektifitas whistle blowing system.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Senin, 23 Agustus 2010

Konsolidasi Badan Usaha Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dewasa ini sering kita lihat suatu perusahaan yang mengambil alih perusahaan yang memiliki jenis usaha sejenis guna memperkuat bisnis yang sedang dijalankannya. Atau ada juga kegiatan dari beberapa badan usaha untuk menggabungkan diri menjadi satu badan usaha yang lebih kuat. Namun pada kenyataannya banyak ditemui bahwa usaha melakukan konsolidasi badan usaha ini ternyata dijadikan suatu modus untuk mengendalikan kegiatan ekonomi di negara kita. Dengan adanya konsolidasi usaha ini, akibatnya ada beberapa badan usaha sejenis yang awalnya bersaing secara sehat, setelah bergabung ternyata justru menjadi penguasa pasar tunggal dan dapat menerapkan praktik monopoli di pasar Indonesia.

Guna mencegah terjadinya modus penggabungan, peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham perusahaan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tanggal 20 Juli 2010 menetapkan suatu aturan mengenai Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dengan adanya ketentuan ini, akan membuat tidak semua badan usaha dapat dengan seenaknya dalam melakukan konsolidasi usaha yang dapat mengarah kepada terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat sehingga dapat melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.