..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Dapatkan tiket antrian online sebelum datang ke Kantor Pajak

Mulai 1 September 2020 bagi Wajib Pajak atau masyarakat yang akan memperoleh layanan tatap muka secara langsung di setiap kantor pajak agar terlebih dahulu mendaftarkan secara online untuk dapatkan tiket nomor antrian.

Daftar Alamat Kantor Pelayanan Pajak Seluruh Indonesia

KPP masih tutup hingga tanggal 14 Juni 2020. Bagi Anda yang perlu layanan dari KPP, dapat dilakukan secara online. Berikut ini daftar nomor telepon dan alamat email dari masing-masing KPP yang dapat melayani secara online.

Perbaharui Sertifikat Digital PKP Anda

Bagi Anda yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), segera cek Sertifikat Digital Anda, dan apabila akan jatuh tempo, segeralah perbaharui supaya tetap dapat menerbitkan eFaktur.

Mulai 1 Juli 2016 Setor Pajak Harus Pakai eBilling

Mulai 1 Juli 2016, seluruh pembayaran PPh dan PPN hanya dapat dilakukan secara elektronik dengan eBilling. Pembayaran secara manual menggunakan Formulir SSP sudah tidak diterima lagi di Bank/Kantor Pos.

Semua PKP Harus Menerbitkan Faktur Pajak Gunakan eFaktur

Mulai 1 Juli 2016, Pengusaha Kena Pajak di seluruh Indonesia harus menggunakan eFaktur untuk menerbitkan Faktur Pajak.

Cara Pengajuan SKB PP 46 Tahun 2013

Bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu yang telah dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet namun ternyata masih harus dipotong PPh yang bersifat tidak final oleh pihak pemberi penghasilan dapat mengajukan pembebasan dari pemotongan PPh tersebut.

Lapor SPT Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Setiap tahun menjelang tanggal 31 Maret, maka sebagian besar masyarakat di Indonesia akan diingatkan untuk memenuhi salah satu kewajibannya sebagai warga yang tinggal dan mendapatkan penghasilan di Indonesia, yaitu melaporkan pajak atas penghasilan yang diterima selama 1 tahun melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.

Formulir SPT Masa PPh Pasal 21 Terbaru untuk Tahun 2014

mulai 1 Januari 2014, bentuk Formulir 1721 (SPT Masa PPh Pasal 21/26) ini akan mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi dalam hal tata cara pelaporannya. Perubahan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-14/PJ/2013 tanggal 18 April 2013

Kumpulan Peraturan Perpajakan

Daftar Peraturan Perpajakan terbaru dapat dibaca di artikel berikut.

Blog Tax Learning Terus Di-Update

Penulis menyadari bahwa tampilan lama blog Tax Learning sangat tidak menarik. Selain itu, beberapa fasilitas upload dokumen yang dimanfaatkan Penulis mengalami kendala seperti situs Multiply (yang sudah ditutup) dan situs Ziddu (saat ini semakin banyak virus dan spam). Untuk itu, Penulis berusaha untuk meng-update blog ini.

Selamat Atas Peresmian MRT Jakarta

Selamat atas peresmian angkutan masal cepat MRT Jakarta. Mari kita ciptakan budaya baru yang modern dalam menggunakan MRT Jakarta, yaitu budaya tertib, tepat waktu, menjaga kebersihan, dan keamanan transportasai umum kita.

Selamat Untuk Kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018

Selamat untuk kontingen Indonesia di Asian Games dan Asian Para Games 2018 yang sukses melampaui target dan menjadi juara. Indonesia Emas.

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Maret 2016

Yang Penting e-Filing

Sejak awal tahun 2016 ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah gencar mensosialisasikan pelaporan pajak secara online dengan website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) yang disebut sebagai e-Filing. Dengan menggunakan fasilitas e-Filing untuk melaporkan kewajiban SPT, Wajib Pajak diberi kemudahan karena pelaporannya dapat dilakukan dimana saja sepanjang dapat terhubung ke jaringan internet untuk mengakses situs e-Filing ini (https://djponline.pajak.go.id). Pelaporan dengan mengunakan e-Filing tidak dibatasi dengan jam kerja, artinya pelaporan pajak dapat dilakukan setiap saat baik hari libur maupun hari kerja dalam waktu 7 x 24 jam.

Wajib Pajak tidak perlu harus antri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan tidak perlu khawatir dengan jam kerja KPP (apalagi pada saat menjelang jatuh tempo pelaporan SPT). Memang terobosan DJP untuk mengaplikasikan pelaporan SPT yang berbasis online tanpa harus melalui Application Service Provider (ASP) adalah terobosan yang sangat cemerlang dan sangat membantu Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pelaporan SPT.

Untuk mensukseskan program pelaporan pajak melalui e-Filing ini, saat ini DJP sangat gencar dan antusias untuk menghimbau para Wajib Pajak yang akan menyampaikan SPT Tahunan (terutama SPT Tahunan PPh Orang Pribadi) agar menggunakan fasilitas e-Filing ini.

Namun sayangnya himbauan yang dilakukan oleh sebagian besar petugas di KPP kepada para Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan melaporkan SPT Tahunannya terkesan agak memaksakan. Ini pengalaman yang dilihat langsung oleh penulis di beberapa KPP serta curhat yang disampaikan oleh para Wajib Pajak kepada Penulis. Para Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah dengan semangatnya datang ke KPP membawa SPT Tahunan mereka (berbentuk hardcopy) dan berniat untuk melaporkan SPT Tahunan mereka ternyata harus menghadapi "himbauan" dari para petugas di KPP yang melayani mereka. Mereka ini tidak bersedia menerima SPT Tahunan berbentuk hardcopy yang telah dibawa oleh para Wajib Pajak dan mengarahkan para Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh EFIN (electronic filing number, yaitu nomor identifikasi untuk dapat mengakses situs e-Filing), mengaktivasi EFIN serta menginput kembali isi SPT Tahunan mereka ke dalam komputer yang sudah terhubung dengan situs e-Filing.

Sebagian Wajib Pajak yang ternyata tidak membawa dokumen yang dipersyaratkan untuk mengajukan permintaan EFIN (persyaratannya harus membawa fotokopi KTP dan fotokopi NPWP), disarankan untuk pulang dahulu dan melengkapi persyaratannya ini dengan diberikan formulir pendaftaran EFIN. Sedangkan Wajib Pajak yang menyuruh kurir atau pegawai mereka untuk melaporkan SPT Tahunannya ini tentu saja tidak dapat mengajukan permintaan EFIN ini dan harus pulang lagi memberitahukan kepada atasan/majikan mereka ini.

Akibat pelayanan seperti ini banyak sekali Wajib Pajak yang bersungut-sungut karena mereka merasa sudah menghabiskan waktu dengan mengorbankan waktu untuk ke kantor pajak (sebagian ada yang bahkan sampai cuti hanya khusus untuk melaporkan SPT), tetapi malah pelaporan SPT Tahunan dalam bentuk hardcopy yang sudah mereka persiapkan dengan bersusah payah tersebut "ditolak".

Masukan Untuk Pihak Direktorat Jenderal Pajak

Melihat hal ini, penulis bermaksud untuk menyampaikan sedikit pendapat pribadi dan masukan kepada pihak Direktorat Jenderal Pajak mengenai pelaksanaan penerimaan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2015:
  1. Saat ini dasar hukum dari pelaporan SPT yang terkait juga dengan e-Filing adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015.
  2. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015 menegaskan bahwa SPT Masa dan SPT Tahunan adalah berbentuk formulir kertas (hardcopy); atau dokumen elektronik.
  3. Cara penyampaian SPT diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 serta Pasal 2 ayat (3) dan (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015 yaitu secara langsung ke KPP, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat, atau melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
  4. Apabila didasarkan pada ketentuan ini, maka tindakan para petugas di KPP dengan "menolak" menerima SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang disampaikan oleh para Wajib Pajak dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) adalah tindakan yang bertentangan dengan ketentuan.
  5. Jika penulis perhatikan, hanyalah ada Surat Edaran dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang mewajibkan para Aparatur Sipil Negara, Anggota TNI dan POLRI untuk melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi mereka dengan menggunakan e-Filing, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 8 Tahun 2015 tanggal 31 Desember 2015.
  6. Dengan kondisi saat ini dimana sebagian Wajib Pajak yang melaporkan SPT Tahunannya masih menggunakan formulir kertas ditolak oleh petugas KPP tentunya akan menimbulkan rasa kecewa dan antipati Wajib Pajak terhadap DJP. Mereka akan berpendapat bahwa saat ini "mau lapor SPT saja dipersulit." Apalagi mereka ini sudah harus antri selama beberapa waktu karena membludaknya Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT, ternyata setelah sekian lama mengantri dan mendapat giliran untuk lapor SPT malah ditolak oleh petugas KPP. Padahal dasar penolakannya tidak diatur dalam ketentuan perpajakan.
  7. Selain itu, pihak DJP tidak menyadari bahwa sebenarnya situs https://djponline.pajak.go.id yang merupakan situs untuk menginput SPT secara online ini juga sangat sulit untuk diakses (mungkin karena pengunjung yang terlalu banyak dalam waktu yang bersamaan).
  8. Akibat beberapa hal ini, kemungkinan dapat menyebabkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang menyampaikan SPT pada tahun ini dapat menurun.
Melihat keadaan yang telah diuraikan di atas, maka penulis menyarankan beberapa hal:
  1. Sebaik pihak DJP tidak terlalu memaksakan para Wajib Pajak untuk menyampaikan secara e-Filing serta menolak SPT dalam bentuk formulir hardcopy (kecuali bila memang sesuai ketentuan mereka diwajibkan untuk menyampaikan SPT secara e-Filing) yang akan disampaikan oleh Wajib Pajak ini. Setelah mereka selesai melaporkan SPT yang sudah dibuatnya itu, barulah mengarahkan kepada mereka untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan EFIN (karena proses ini akan menghabiskan waktu sekitar 5 sampai 10 menit atau bahkan lebih).
  2. Pihak DJP perlu menghargai usaha para Wajib Pajak yang sudah bersusah payah menyiapkan SPT mereka dalam bentuk formulir kertas. Sebaiknya para petugas KPP tetap menerima SPT yang telah mereka persiapkan ini, setelah itu barulah mengarahkan mereka untuk memiliki EFIN sehingga untuk tahun depan sudah harus melaporkan SPT secara e-Filing.
  3. Untuk memenuhi target yang telah ditetapkan dari pusat atas Wajib Pajak yang menyampaikan SPT secara e-Filing, seharusnya ditujukan kepada Wajib Pajak yang belum sama sekali membuat SPT-nya dalam bentuk formulir kertas sehingga mereka dapat dipandu dalam menyiapkan SPTnya langsung dengan menggunakan e-Filing.
  4. Dalam sisa 4 hari lagi batas waktu penerimaan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2015 di loket KPP, maka sebaiknya tidak ada lagi penolakan terhadap Wajib Pajak yang melaporkan SPT yang disampaikan menggunakan formulir kertas. Hal ini juga agar tingkat kepatuhan penyampaian SPT tahun ini juga dapat tetap tinggi.
Akhirnya penulis menghimbau kepada seluruh Wajib Pajak Orang Pribadi yang masih belum menyampaikan SPT Tahunannya agar segera menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2015 ini paling lambat tanggal 31 Maret 2016. Tinggal sisa 4 hari pelaporan tentuanya di KPP akan sangat membludak dan antrian panjang, sehingga disarankan untuk menggunakan e-Filing karena penulis juga sudah merasakan bahwa untuk melaporkan SPT Tahunan (khususnya untuk yang menggunakan formulir 1770 S dan 1770 SS) adalah mudah dan efisien, sepanjang Anda telah memiliki EFIN.

Sabtu, 13 Februari 2016

Mengapa Jadi Susah Untuk Setor Pajak?

Selama ini Direktorat Jenderal Pajak telah membuat berbagai kemudahan bagi Wajib Pajak dalam rangka menyetorkan pajaknya. Salah satu kemudahan adalah dengan membuat sistem penyetoran PPh Final 1% bagi Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang melalui ATM. Kemudahan untuk melakukan penyetoran pajak melalui ATM ini sudah dirasakan oleh para Wajib Pajak selama setahun belakangan ini. Mereka dapat melakukan penyetoran PPh Final 1%-nya melalui ATM beberapa bank dan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam tanpa khawatir, jam pelayanan di bank telah berakhir.

Namun sayangnya, kemudahan yang dirasakan oleh Wajib Pajak ini terusik lantaran dalam seminggu terakhir ini ketika sebagian Wajib Pajak yang akan menyetorkan pajaknya melalui ATM (terutama ATM BCA), ternyata sistem layanan ini tidak dapat digunakan. Akibat adanya gangguan ini, penulis menerima banyak pertanyaan dari para Wajib Pajak mengenai gangguan layanan ini. Penulis memperoleh informasi dari sebagian Wajib Pajak yang melakukan transaksi pembayaran pajak ini melalui ATM BCA di sejumlah tempat seperti di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Depok, Bogor, Cileungsi.

Penasaran dengan hal ini, penulis pun mencoba sendiri untuk melakukan penyetoran PPh Final 1% ini melalui salah satu ATM BCA di daerah Depok. Ternyata memang benar setoran tersebut mengalami kendala dan pada tahap terakhir dari transaksi di ATM tersebut (yaitu validasi pembayaran untuk dicetakkan struk tanda penyetoran PPh final telah dilakukan) tidak dapat dilakukan. Pada layar ATM tertera pesan: "Maaf, transaksi Anda tidak dapat diproses"

Dugaan penulis, kendala ini terjadi adalah karena koneksi ke server sistem MPN (Modul Penerimaan Negara) yang mengalami gangguan atau server down. Dugaan ini diperkuat karena penulis sudah mencoba menghubungi Halo BCA dan dijawab bahwa dalam sistem di BCA tidak mengalami kendala dan kemungkinan kendala ada di sistem MPN.

Akibat bahwa batas waktu penyetoran PPh Final 1% untuk masa Januari 2016 adalah hingga hari Senin,15 Februari 2016, maka untuk membantu para Wajib Pajak yang akan menyetorkan pajaknya, penulis menyarankan agar mereka mencoba untuk menyetorkan pajaknya ini melalui teller bank atau kantor pos.

Karena sejak 1 Januari 2016, Direktorat Jenderal Pajak telah mengumumkan bahwa penyetoran pajak melalui bank persepsi atau kantor pos sudah diwajibkan dengan menggunakan sistem e-billing, maka hampir semua bank sudah tidak bersedia menerima pembayaran pajak yang masih dilakukan secara manual menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Untuk itu, maka penulis menyarankan agar Wajib Pajak yang akan menyetor PPh Final 1% itu untuk terlebih dahulu mendaftarkan di situs https://sse.pajak.go.id (server e-Billing versi 1). Namun muncul lagi satu kendala, akibat mulai 16 Februari 2016 dimana Direktorat Jenderal Pajak akan memindahkan (migrasi) server e-Billing ini ke versi 2 di https://sse2.pajak.go.id, maka ketika mendaftarkan diri di server e-Billing versi 1 selalu error dan tidak dapat melanjutkan pendaftaran. Sedangkan apabila mendaftar di server e-Billing versi 2, maka dibutuhkan kode EFIN yang harus diperoleh dari Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (harus meminta secara langsung ke KPP).

Sangat disayangkan mengapa selama ini Direktorat Jenderal Pajak tidak mensosialisasikan secara penuh mengenai perubahan sistem ini. Bahkan mungkin belum dipikirkan kendala yang terjadi di lapangan ketika para Wajib Pajak yang telah memiliki ketaatan penuh untuk melakukan penyetoran pajak ternyata dihadapkan dengan kendala teknis yang menyebabkan tidak dapat membayar pajak. Walaupun sebenarnya kendala ini tidak seharusnya terjadi saat ini karena proses migrasi ke server kedua baru dilakukan tanggal 16 Februari 2016. Bahkan akibat rencana migrasi ini, kemungkinan server MPN yang terhubungan dengan sistem pembayaran di ATM juga sudah mengalami gangguan.

Harapan penulis, semoga pihak berwenang di Direktorat Jenderal Pajak segera mengatasi kendala dan gangguan yang terjadi saat ini, supaya proses penyetoran pajak tidak akan terganggu atau bahkan terhenti, mengingat saat ini penerimaan pajak yang diperoleh dari para Wajib Pajak menjadi tulang punggung bagi pembiayaan APBN.

Rabu, 11 September 2013

Kewajiban Pembukuan Bagi Wajib Pajak Badan dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Dengan berlakunya PP Nomor 46 Tahun 2013, maka bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak, harus menghitung PPh terutangnya dengan menggunakan ketentuan ini. Artinya Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria ini setiap bulannya menghitung dan menyetor PPh yang terutang atas penghasilannya sebesar 1% dari Peredaran Bruto selama satu bulan yang bersangkutan.

Walau tampaknya sederhana, namun ternyata penafsiran PP Nomor 46 Tahun 2013 beserta aturan pelaksananya di lapangan ternyata berbeda-beda. Baru saja penulis mendapatkan informasi dan argumen dari beberapa rekan penulis yang telah mengikuti kegiatan sosialisasi tentang PP Nomor 46 Tahun 2013 yang diadakan oleh pihak DJP. Berdasarkan materi sosialisasi yang mereka dapatkan mereka menafsirkan bahwa Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 4,8 miliar dalam 1 tahun pajak yang dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak perlu menyelenggarakan pembukuan melainkan hanya cukup membuat pencatatan seperti halnya Wajib Pajak Orang Pribadi.

Terus terang, penulis sangat tidak setuju dengan statement yang disampaikan oleh rekan penulis ini. Karena ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban melakukan pembukuan diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) menyebutkan bahwa Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. Dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tidak mengatur ketentuan mengenai pembukuan.

Walaupun ada argumen mengatakan bahwa pembukuan tidak wajib dibuat oleh Wajib Pajak Badan karena penghasilannya telah dikenakan PPh Final yang dihitung dari peredaran usaha, sehingga Wajib Pajak Badan cukup menyelenggarakan pencatatan atas peredaran usaha saja, namun menurut penulis pandangan ini adalah keliru.

Karena walaupun penghitungan PPh atas penghasilan yang diperoleh cukup dihitung atas peredaran usaha, namun bagi Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria sesuai ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini tetap harus memiliki pembukuan yang dapat menggambarkan kegiatan usahanya untuk menyajikan transaksi-transaksi yang menjadi objek pemotongan dan pemungutan PPh (baik PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Pasal 15).

Jadi sesuai ketentuan, Wajib Pajak Badan yang memiliki peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dan memenuhi kriteria sebagai Wajib dengan peredaran usaha tertentu untuk menghitung PPh sebesar 1% dari peredaran usaha bruto tetap wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU KUP.
(c)http://syafrianto.blogspot.com

Selasa, 27 Agustus 2013

Kriteria Wajib Pajak yang Memenuhi Ketentuan PP No. 46 Tahun 2013 sebagai Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pengenaan PPh dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sejak 1 Juli 2013, maka seluruh Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini sudah harus mengubah penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPh atas penghasilan yang diterimanya. Apabila selama ini, penghasilan yang diterimanya adalah merupakan penghasilan yang harus dihitung dalam SPT Tahunan PPh dan dikenakan PPh tarif Pasal 17 UU PPh, maka sejak 1 Juli 2013, Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memenuhi ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 harus mengubah penghitungan PPh atas penghasilannya menjadi dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran usaha bruto setiap bulannya.

Walaupun PP Nomor 46 Tahun 2013 telah berlaku hampir 2 (dua) bulan, namun prakteknya di lapangan masih banyak menimbulkan pertanyaan dari para Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan yang timbul seperti: apakah saya termasuk sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, sebagaimana yang diatur di PP Nomor 46 Tahun 2013 ini? Siapa sajakah Wajib Pajak yang berhak untuk menerapkan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% ini? Jika kita simak ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013, maka dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang harus menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini kriterianya adalah (Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013):

  1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap); dan
  2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Jika menyimak aturan Pasal 2 ayat (2) pada kedua aturan ini, maka dapat kita lihat bahwa kedua persyaratan/kriteria tersebut harus terpenuhi seluruhnya dan bersifat kumulatif (karena dihubungkan dengan kata penghubung “dan”).

Pengecualian Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan Omzet Tidak Lebih dari Rp4,8 miliar

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan untuk menggunakan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan (tidak termasuk bentuk usaha tetap) yang memiliki peredaran usaha (omzet) tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Namun demikian, tidak semua Wajib Pajak dengan Omzet di bawah Rp4,8 miliar otomatis memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dikenai PPh yang bersifat final 1% atas omzetnya. Pengecualiannya dapat kita lihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf b PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013. Disebutkan bahwa yang tidak termasuk sebagai penghasilan dari usaha yang diterima Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Apa saja jenis penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 yaitu:
  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. agen iklan;
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Selain pengecualian di atas yang berlaku umum baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan, masih ada pengecualian lagi khusus bagi:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau kasa dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap), dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
  2. Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar. Khusus bagi Wajib Pajak Badan dengan omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar yang tidak dapat menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini diatur dalam Pasal 2 ayat (4) PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu Wajib Pajak Badan yang belum beroperasi secara komersial atau Wajib Pajak Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Wajib Pajak dengan Penghasilan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan ketentuan sebelumnya

Bagi Wajib Pajak yang atas penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan perpajakan yang telah ada (misal penghasilan dari jasa konstruksi, penghasilan dari penyewaan tanah dan/atau bangunan) juga dikecualikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Simpulan

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari omzet. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang memiliki Omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar namun tidak dapat menerapkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Wajib Pajak Orang Pribadi, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; atau
  2. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang (baik menetap atau tidak menetap); dan
  3. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak Badan, yang:
  1. menerima penghasilan dari usaha yang penghasilannya berasal dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
  2. belum beroperasi secara komersial; atau
  3. dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh omzet melebih Rp 4,8 miliar.
Selain itu, PP Nomor 46 Tahun 2013 ini juga tidak berlaku apabila Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan yang telah dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan peraturan perpajakan yang sebelumnya.

Sebagai informasi, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2013 tanggal 2 September 2013 sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Rabu, 14 Agustus 2013

Aplikasi Ketentuan PPh Final 1 Persen untuk WP dengan Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar

Besok, 15 Agustus 2013 adalah batas akhir pelunasan/penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013. Namun bagi sebagian Wajib Pajak, kewajiban penyetoran PPh Pasal 25 untuk Masa Juli 2013 ini telah mengalami perubahan perlakuan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Sebagaimana kita ketahui ketentuan dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 tersebut mengatur Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan dengan peredaran bruto tertentu yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 Tahun Pajak akan dikenakan PPh sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet) yang bersifat final.

Dalam PP ini juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Namun yang menjadi permasalahannya, hingga hari ini, penulis masih belum memperoleh informasi apakah Peraturan Menteri Keuangan ini telah diterbitkan. Tentunya hal ini akan sangat menyulitkan bagi Wajib Pajak yang harus menerapkan ketentuan ini.

Beberapa hari terakhir, penulis banyak memperoleh pertanyaan sehubungan dengan pemberlakuan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini, namun apa daya, penulis masih belum memperoleh landasan hukum sebagai acuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di lapangan tersebut.

Setoran PPh 1% Final

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (yang memenuhi kriteria sebagaimana yang pernah penulis bahas dalam artikel ini) dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 1% dari peredaran bruto (omzet). Dalam Pasal 4 PP Nomor 46 Tahun 2013 ini ditegaskan bahwa dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Dalam penjelasan Pasal 4 ini ditegaskan bahwa penghitungan PPh final ini dilakukan setiap bulan. Artinya perlakuan penyetoran PPh final 1% ini dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai pengganti dari setoran PPh Pasal 25 yang selama ini telah mereka lakukan, sama halnya untuk ketentuan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Jadi seandainya Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dan selama ini menghitung PPh Orang Pribadi atau Badan dengan tarif umum Pasal 17 UU PPh dan diangsur diawal setiap bulan melalui penyetoran PPh Pasal 25, maka sejak masa Juli 2013 harus menyetor PPh dengan tarif 1% dari omzet sebulan dan bersifat final.

Contoh: selama masa Juli 2013 Andi memperoleh penghasilan dari usaha dagang melalui tokonya di Mangga Dua dengan omzet sebesar Rp 120.000.000. Maka PPh yang bersifat final yang harus disetorkan untuk masa Juli 2013 adalah sebesar:
Rp 120.000.000 x 1% = Rp 1.200.000

Berdasarkan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa penyetoran PPh ini dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan mencantumkan Kode Akun Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 420.

Permasalahan:
Setelah penulis cek ke Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2010 untuk Kode Akun Pajak 411128 adalah merupakan setoran untuk jenis PPh Final namun untuk Kode Jenis Setoran 420, tidak tercantum dalam ketentuan tersebut.

Akibatnya ketika kita akan menyetorkan PPh final ini dengan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, pasti akan ditolak oleh pihak Bank Persepsi atau Kantor Pos penerima setoran pajak, karena kode tersebut tidak tercantum dalam sistem Modul Penerimaan Negara (MPN).

(*) Sebagai catatan, ternyata pihak Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2013 tanggal 2 Juli 2013 yang telah menambahkan kode akun pajak 411128 dan kode jenis setoran 420, namun sepertinya pihak Bank Persepsi dan Kantor Pos sebagai penerima setoran atau pihak Ditjen Perbendaharaan belum mengupdate kode ini ke dalam sistem MPN sehingga ketika ada beberapa Wajib Pajak rekan penulis yang mencoba menyetorkan setoran pajak dengan kode akun pajak ini, ditolak oleh pihak Bank Persepsi. Jadi sebaiknya pihak Ditjen Pajak segera berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mengecek apakah kode akun pajak yang baru ini sudah ter-update dalam sistem MPN.

Untuk Lampiran PER-24/PJ/2013 mengenai tabel baru Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran dapat dibaca di sini.

Tanggal Jatuh Tempo Setor PPh Final

Sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang menegaskan mengenai kapan batas waktu penyetoran PPh final 1% ini.

Namun apabila kita mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.02/2010 diatur bahwa untuk penyetoran jenis PPh yang harus dibayar sendiri (baik PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 25) harus disetor paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Jadi menurut penulis, maka penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu sebesar 1% yang bersifat final ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir karena PPh ini adalah termasuk jenis PPh yang harus dibayar sendiri.

Walaupun demikian, pihak Pemerintah tetap harus mengeluarkan dasar hukum mengenai batas akhir penyetoran PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran usaha tertentu ini.

Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu yang Sudah Terlanjur Setor PPh Pasal 25 Selama Setahun

Saat ini banyak kita temukan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan setoran PPh Pasal 25 yang dilakukan di awal untuk 12 bulan kemudian. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan dan sesuai ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.23/1989 tentang Penyetoran Dimuka PPh Pasal 25 Sekaligus Untuk Beberapa Bulan.

Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kategori sebagai Wajib Pajak dengan Peredaran Usaha Tertentu dan mulai masa Juli 2013 harus menghitung PPh terutangnya menggunakan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini yang ternyata telah menyetorkan PPh Pasal 25 dari masa Juli 2013 sampai dengan Desember 2013 tentu akan mengalami permasalahan. Karena ternyata PPh Pasal 25 yang sudah terlanjur disetorkan tersebut ternyata salah setor.

Sebenarnya solusi yang dapat dilakukan adalah Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) dari setoran PPh Pasal 25 yang telah disetorkan tersebut (salah setor) untuk dipindahkan sebagai setoran PPh yang bersifat final sesuai dengan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini.

Tentunya hal ini akan menambah pekerjaan administratif baik bagi petugas pajak maupun Wajib Pajak.

Sebagai catatan, setelah penulis membuat tulisan ini, akhirnya pihak Direktorat Jenderal Pajak merilis peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini walaupun menurut penafsiran penulis, masih banyak hal dari praktek di lapangan yang belum diakomodasi dalam aturan pelaksana ini.

Artikel Terkait:
Aturan Pelaksana Mengenai Pengenaan PPh Final 1% WP Omzet Di Bawah Rp 4,8 Miliar
PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak dengan Omzet di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

Selasa, 09 Juli 2013

Analisis Terhadap Kewajaran Pelaporan Pajak Orang Pribadi

Saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat diandalkan dan lebih dari 75% sumber penerimaan negara adalah berasal dari pajak. Untuk tahun 2013 ini, Pemerintah menargetkan penerimaan yang akan diperoleh dari pajak dalam APBN-P 2013 adalah sebesar Rp 995 triliun. Namun hingga semester pertama (30 Juni 2013), realisasi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang bertugas untuk mengumpulkan pajak, baru mencapai Rp 411,39 triliun atau baru sebesar 41,3% dari target APBN-P 2013.

Akibat dari kondisi realisasi penerimaan pajak yang masih jauh dari target, menyebabkan pihak Direktorat Jenderal Pajak semakin gencar melakukan penggalian potensi-potensi yang dapat meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh aparat pajak untuk ini adalah seperti melakukan penelitian terhadap kebenaran SPT yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak, melakukan himbauan kepada Wajib Pajak yang diduga memiliki potensi pajak namun belum dilaporkan secara benar, melakukan upaya law enforcement berupa pemeriksaaan pajak, penagihan pajak hingga penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan.

Salah satu fokus yang sedang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan penggalian potensi pajak di tahun 2013 ini sebagaimana yang dituangkan dalam rencana dan strategi pemeriksaan tahun 2013 berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2013 adalah fokus pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan transaksi pembelian kendaraan mewah dan/atau rumah/apartemen mewah dan Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kenaikan harta signifikan.

Akibat dari adanya fokus penggalian potensi ini, sehingga menyebabkan akhir-akhir ini banyak ditemukan adanya Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh surat himbauan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh aparat pajak dalam hal ini Account Representative. Beberapa kasus contoh Wajib Pajak yang dihimbau adalah berdasarkan laporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditemukan:

  1. adanya penambahan aktiva/harta yang cukup besar dan tidak sebanding dengan pengurangan aktiva atau harta lain yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun sebelum atau jumlah penghasilan yang diterima pada tahun yang bersangkutan;
  2. adanya pertambahan nilai bangunan akibat adanya pembangunan yang cukup signifikan sehingga berpotensi terutang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri;
  3. adanya jumlah harta yang cukup besar yang memerlukan biaya perawatan yang besar juga, namun hal ini tidak diimbangi dengan jumlah penghasilan yang memadai sebagai sumber untuk melakukan perawatan terhadap harta yang dimilikinya tersebut;
  4. ditemukannya atau adanya data mengenai harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang bersangkutan yang selama ini tidak pernah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi miliknya;
  5. dan sebagainya.
Sebenarnya pelaporan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak melalui sarana Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi saat ini sudah mengakomodasi pelaporan mengenai penghasilan, jumlah harta dan jumlah kewajiban. Secara mudah, berdasarkan SPT Tahunan PPh yang telah dilaporkan tersebut, dapat dilakukan analisis secara sederhana mengenai kewajaran dan kebenaran dari hal-hal yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT tersebut.

Secara sederhana, konsep penghasilan yang didefinisikan sebagai setiap pertambahan kemampuan ekonomis yang siap untuk digunakan sebagai konsumsi dapat direfleksikan dalam rumus:

Y = C + S + I

Dimana:
  1. Y: adalah penghasilan yang diperoleh oleh Wajib Pajak (Yield) sebagai sumber untuk melakukan C + S + I.
  2. C: adalah konsumsi yang telah dikeluarkan oleh Wajib Pajak (Consumption)
  3. S: adalah tabungan yang telah dilakukan selama ini oleh Wajib Pajak (Saving)
  4. I: adalah investasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam bentuk harta (Investment)

Dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, pelaporan mengenai penghasilan (Y) ini tercermin dari pelaporan penghasilan yang diterima baik dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas, penghasilan dalam negeri lainnya (yang berasal dari passive income seperti bunga, royalti, sewa), penghasilan luar negeri lainnya, penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (seperti warisan, hibah, sumbangan). Penghasilan yang telah diterima setiap tahunnya ini adalah merupakan sumber pembiayaan dan akan digunakan sebagai konsumsi (C), ditabung (S) dalam bentuk deposito, tabungan di bank dan setaranya, serta diinvestasikan (I) sebagai harta baik bergerak maupun tidak bergerak seperti rumah, tanah, kendaraan bermotor, perhiasan, saham, efek dan sebagainya.

Apabila sumber penghasilan (Y) ini tidak cukup untuk melakukan pembiayaan terhadap C, S, dan I, maka sumber pembiayaan dapat diambil dari hutang.

Nah, semua komponen yang telah diuraikan di atas, yaitu komponen S (saving), komponen I (Investment) dan hutang ini tercermin dalam laporan SPT Tahunan yaitu pada bagian harta dan bagian kewajiban.

Satu-satunya komponen yang tidak ada dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah konsumsi (C). Walaupun konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak selama tahun pajak yang bersangkutan tidak perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, namun kita tetap dapat membuat analisis tentang kewajaran konsumsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak berdasarkan harta yang mereka miliki dibandingkan dengan penghasilan yang telah mereka laporkan. Karena dari harta yang dimiliki tersebut dapat diperkirakan berapa kira-kira konsumsi yang harus dikeluarkan untuk melakukan perawatan harta tersebut. Biaya yang dapat diperkirakan misalnya biaya pajak kendaraan, PBB, biaya listrik, biaya air, biaya perawatan kendaraan dan sejenisnya.

Salah satu analisis yang dilakukan oleh aparat pajak dalam menilai kewajaran SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang dilaporkan oleh Wajib Pajak ini biasanya dikenal dengan sebutan “analisis biaya hidup”. Dengan menggunakan formula sederhana yang telah diuraikan di atas dan berdasarkan data di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi serta data dari pihak ketiga, maka aparat pajak dapat melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi dalam melaporkan kewajiban pajaknya.

Oleh sebab itu, marilah kita laporkan kewajiban perpajakan kita secara jujur dan benar supaya tidak akan ditemukan kesalahan pada saat dilakukannya analisis tersebut. Sehingga kita dapat meminjam semboyan “jika sudah bersih buat apa risih”.

Bagi para Pembaca Setia Tax Learning yang memiliki permasalahan seputar pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan pernah dihimbau untuk melakukan pembetulan, silakan untuk sharing di comment berikut ini.
(c) http://syafrianto.blogspot.com

Jumat, 04 Januari 2013

Keberatan Terhadap Ketetapan Pajak

“Dirjen Pajak ancam cabut izin konsultan pajak nakal” dan “Konsultan pajak nakal akan diteliti Dirjen Pajak”, demikian judul dua artikel yang penulis temukan di media berita online. Tertarik dengan kedua artikel tersebut penulis segera menyimak isi beritanya. Kedua artikel tersebut isinya kurang lebih adalah sama. Satu hal yang menarik perhatian penulis adalah bahwa selama ini pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengindikasikan bahwa terdapat sejumlah konsultan pajak nakal yang diduga mengajarkan Wajib Pajak (WP) untuk mengemplang pajak. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany menyatakan salah satu cara konsultan pajak mengajarkan kepada WP untuk mengemplang pajak seperti kutipan berikut ini:

Fuad membeberkan salah satu cara konsultan pajak yang diajarkan kepada wajib pajak adalah mengajukan keberatan terhadap kewajiban pajak yang dikenakan. Padahal selisih pembayaran pajak yang ditetapkan Ditjen Pajak dengan perhitungan para konsultan pajak hanya sedikit. "Kadang selisihnya Rp500 ribu hingga Rp1 juta, tapi mereka ajukan keberatan. Itu taktik mereka untuk memperlambat pembayaran," tambahnya

Penulis kurang setuju dengan apa yang disampaikan oleh Dirjen Pajak seperti yang dikutip oleh kedua media online tersebut, atas cara mengemplang pajak melalui pengajuan keberatan. E

Sebagaimana kita ketahui, bahwa mengajukan keberatan atas suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak (Fiskus) karena ketidaksetujuan atas ketetapan tersebut adalah merupakan hak setiap Wajib Pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP).

Memang dalam Pasal 25 ayat (3a) UU KUP diatur bahwa Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. Ini artinya jika WP mengajukan keberatan, maka atas ketetapan pajak yang tidak disetujui oleh WP dan sedang diajukan keberatan tidak perlu dilunasi dahulu. Dan menurut Pasal 25 ayat (7) UU KUP ditegaskan bahwa atas utang pajak tidak disetujui dan sedang diajukan keberatan ini tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Berdasarkan ketentuan di kedua ayat ini, maka secara Undang-Undang tindakan untuk tidak menyetorkan utang pajak yang tidak disetujui oleh WP (sehingga mengajukan keberatan) hingga Surat Keputusan Keberatan tersebut terbit adalah sah dan dijamin Undang-Undang.

Walaupun WP telah diberi hak untuk tidak melunasi terlebih dahulu utang pajak yang sedang diajukan keberatan tersebut, namun ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh WP atas tindakannya ini. Konsekuensi ini diatur dalam Pasal 25 ayat (9) UU KUP yaitu dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Sanksi yang diberikan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) UU KUP ini bertujuan supaya WP tidak mengelak dari membayar utang pajaknya dengan cara mengajukan keberatan atas ketetapan tersebut. Akibat dari adanya aturan mengenai pengenaan sanksi ini, maka WP yang akan mengajukan keberatan harus benar-benar yakin bahwa sengketa materi yang mereka ajukan keberatan memiliki potensi besar untuk dikabulkan.

Selain dikenakan sanksi denda sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (9) UU KUP ini, WP yang menunda pembayaran pajaknya hingga keputusan keberatan diterbitkan juga akan dikenakan sanksi Bunga Penagihan sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU KUP sebesar 2% per bulan dari jumlah utang pajak yang belum dilunasi tersebut.

Jadi apabila WP mencoba untuk mengemplang pajak dengan cara memperlambat pembayaran melalui pengajuan keberatan, maka justru tindakan yang dilakukan ini malah tidak menguntungkan WP sendiri. Karena sanksi dan denda yang harus ditanggung oleh WP adalah cukup besar. Jika proses keberatan yang akan menghabiskan waktu maksimal selama 1 tahun 3 bulan (jangka waktu pengajuan keberatan maksimal 3 bulan dari tanggal ketetapan diterbitkan dan jangka waktu proses keberatan adalah 1 tahun), maka WP akan dikenakan sanksi dan denda yang terdiri dari:
-Sanksi Pasal 25 ayat (9) UU KUP sebesar 50%; dan
-Sanksi Pasal 19 ayat (1) UU KUP sebesar 28% (14 bulan x 2%)
Maka total sanksi dan denda yang harus ditanggung oleh WP adalah sebesar 78% untuk jangka waktu 1 tahun 3 bulan. Padahal saat ini tingkat suku bunga hanyalah sebesar 5% s.d. 6%, maka tindakan dengan menunda pembayaran pajak seperti yang disebutkan dalam artikel tersebut adalah tidak menguntungkan malah merugikan WP sendiri.

Menurut penulis seorang konsultan pajak, tidak akan menyarankan hal ini untuk dilakukan oleh WP, karena jika ini dilakukan hanya sebagai trik untuk menunda pembayaran pajak, maka ketika pihak DJP telah mengeluarkan keputusan dengan menolak permohonan keberatan dari WP tersebut, maka WP yang bersangkutan harus menanggung denda yang demikian besar. Tentulah konsultan pajak tersebut akan dipersalahkan oleh WP yang bersangkutan.

Satu hal lagi yang penulis tidak sependapat dengan kedua artikel di media berita online tersebut adalah mengatakan bahwa tindakan menunda pembayaran pajak dengan menggunakan trik mengajukan keberatan adalah merupakan tindakan “mengemplang pajak” (istilah asingnya adalah “tax evation”). Jika kita melihat kepada literatur, maka istilah tax evation ini dilakukan oleh seorang WP dengan cara melanggar ketentuan atau aturan yang berlaku. Padahal tindakan yang dilakukan ini adalah dengan cara memanfaatkan aturan pajak yang berlaku yaitu aturan Pasal 25 UU KUP. Tindakan ini lebih dikenal sebagai istilah “penghindaran pajak” (tax avoidance).

Melalui artikel ini penulis hanya ingin meluruskan pemberitaan yang telah dilakukan oleh kedua media tersebut. Apabila ada Pembaca Setia Tax Learning yang tidak sependapat dengan pendapat penulis ini, dapat menyampaikan pendapatnya melalui komentar di bawah ini.

(c)http://syafrianto.blogspot.com

Rabu, 15 Agustus 2012

Batas Akhir Pelaporan SPT Masa PPh Masa Juli 2012

Tidak terasa hampir sebulan sudah puasa yang dijalankan oleh sebagian dari rekan Pembaca Setia Tax Learning. Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) segera tiba. Dalam rangka menyambut Lebaran ini, Pemerintah juga telah menetapkan hari Libur dan Cuti Bersama sejak hari Minggu, 19 Agustus 2012 hingga Rabu, 22 Agustus 2012.

Bersamaan dengan hari libur dalam rangka perayaan Lebaran ini, ternyata pada hari Jumat, 17 Agustus 2012 adalah juga hari libur dalam rangka Hari Kemerdekaan RI yang ke-67. Sehingga praktis hari libur di pertengahan bulan Agustus ini cukuplah panjang, mulai tanggal 17 Agustus s.d. 22 Agustus 2012.

Ternyata libur yang cukup panjang di pertengahan bulan Agustus ini juga bertepatan dengan batas waktu pelaporan SPT Masa PPh untuk masa Juli 2012 yang jatuh tempo pada tanggal 20 Agustus 2012. Hal ini tentulah cukup merepotkan bagi para Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT Masa PPh-nya. Siang ini penulis mencoba mengunjungi salah satu Kantor Pelayanan Pajak di bilangan Jakarta Pusat. Ternyata penulis melihat bahwa antrian Wajib Pajak yang akan melaporkan SPT telah mencapai nomor urut 300-an. Padahal Wajib Pajak yang terlayani baru mencapai nomor urut 230. Membludak-nya antrian Wajib Pajak ini adalah akibat bahwa hari efektif bagi para Wajib Pajak untuk melaporkan SPT Masa PPh tinggal hari ini dan besok. Mulai lusa, 17 Agustus 2012 tentunya para Wajib Pajak akan berlibur untuk merayakan Lebaran.

Tentu akan timbul pertanyaan dari para Pembaca Setia Tax Learning, bagaimanakah jika tidak dapat melaporkan SPT Masa PPh-nya dalam 2 (dua) hari ini, apakah otomatis Wajib Pajak akan terkena sanksi?

Sebagaimana sudah sering penulis bahas ketentuan mengenai batas waktu pelaporan SPT ini dalam artikel-artikel sebelumnya, sekali lagi penulis mencoba untuk me-refresh kembali ketentuan mengenai hal ini.

Sejak 1 Januari 2008 (sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 yang saat ini telah diperbaharui dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010) saat terakhir pelaporan pajak diberikan toleransi dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya apabila batas waktu pelaporan SPT Masa jatuh pada hari libur. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8. Di Pasal ini juga didefinisikan yang dimaksud dengan hari libur adalah hari libur nasional, hari Sabtu, hari Minggu dan hari yang ditetapkan Pemerintah sebagai hari cuti bersama. Ketentuan ini berlaku untuk pelaporan SPT Masa PPh dan SPT Masa PPN.

Dengan demikian, maka batas waktu pelaporan SPT Masa PPh untuk masa Juli 2012 yang bertepatan dengan hari Libur Nasional, hari Sabtu, hari Minggu, dan hari Cuti Bersama Nasional yang berurutan, akan mendapatkan toleransi pelaporannya berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010. Sehingga batas waktu pelaporan SPT Masa PPh untuk masa Juli 2012 ini dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja pertama setelah libur panjang yaitu pada hari Kamis, 23 Agustus 2012.

Lalu bagaimanakah jika dalam hari ini dan besok ada di antara Pembaca Setia Tax Learning yang belum dapat melaporkan SPT Masa PPh masa Juli 2012 dan pada tanggal 23 Agustus 2012 masih mengambil cuti untuk merayakan Lebaran di kampung halaman? Sekali lagi penulis sampaikan bahwa Pembaca Setia Tax Learning tidak perlu khawatir. Sepanjang Pembaca dapat menyiapkan SPT yang akan dilaporkan, walaupun pada tanggal 23 Agustus 2012 masih berada di tempat yang jauh dari KPP tempat harus melaporkan SPT tersebut, namun Pembaca dapat menyampaikan SPT Masa tersebut dengan cara mengirim melalui Kantor Pos dan Giro yang dialamatkan ke KPP tempat pelaporan seharusnya dilakukan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk pengiriman SPT melalui kantor pos dan giro, maka tanda bukti dan tanggal pengiriman SPT tersebut dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang SPT tersebut telah lengkap.

Akhirnya penulis mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia ke-67 dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H bagi Pembaca Setia Tax Learning yang merayakannya, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Senin, 30 April 2012

Mengubah PTKP Tidak Perlu Mengubah UU PPh

Ada kabar gembira bagi Wajib Pajak orang pribadi di Indonesia karena Pemerintah berencana untuk menaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang saat ini adalah sebesar Rp 15.840.000 setahun (untuk status Tidak Kawin tanpa tanggungan) menjadi Rp 24.000.000 setahun. Rencana ini disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden SBY) dalam acara peresmian Rumah Susun Sejahtera Sewa di Kabil, Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Jumat (27/4) pagi sebagaimana dikutip dari situs resminya. Menurut Presiden SBY, apabila disetujui oleh DPR maka kenaikan PTKP ini dapat segera diterapkan.

Dengan adanya kenaikan PTKP ini, tentunya sedikit banyak akan bermanfaat dan berpengaruh bagi rakyat Indonesia terutama para karyawan/buruh yang berpenghasilan rendah karena akan mengurangi besarnya Pajak Penghasilan (PPh) yang akan dikenakan atas penghasilannya.

Namun dalam salah satu berita yang penulis kutip dari situs detik.com, disebutkan bahwa:

Namun memang, rencana pemerintah untuk menaikkan PTKP harus menempuh jalan panjang. Karena perlu mengubah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

"Kalau PTKP mau dinaikkan, maka terlebih dahulu harus mengubah UU No 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Mengubah UU kan harus melalui DPR, dan memerlukan proses yang agak panjang," ujar Direktur Penyuluhan dan Pelayanan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dedi Rudaedi.


Penulis berpendapat bahwa pernyataan yang disebutkan dalam situs detik.com tersebut adalah keliru. Untuk mengubah besarnya PTKP sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh, tidak perlu melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tersebut.

Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa:

Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 disebutkan bahwa:

Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.”

Dengan demikian, maka seharusnya untuk mengubah nilai PTKP sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tersebut, tidak perlu sampai harus mengubah Undang-Undangnya. Cukup dengan dikonsultasikan dahulu kepada DPR dan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, Pemerintah melalui Menteri Keuangan dapat mengubah PTKP dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan.

Sebagai perbandingan, sudah beberapa kali penyesuaian besaran PTKP melalui Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, antara lain melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Kedua peraturan ini diterbitkan juga menindaklanjuti ketentuan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Rabu, 21 Desember 2011

Ketentuan Mengenai Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah

Pengusaha Kena Pajak yang memiliki kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) atau mengkompensasikan kelebihan pembayaran pajak tersebut ke masa pajak berikutnya. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang mengajukan permohonan restitusi, maka Direktorat Jenderal Pajak harus memproses dan mengeluarkan ketetapan atas permohonan restitusi tersebut dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan diterima.

Dikecualikan dari ketentuan tersebut di atas, Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian pendahulan kelebihan pembayaran pajak yang akan diproses dalam waktu paling lama 1 bulan. Salah satu kriteria Pengusaha Kena Pajak yang dapat ditetapkan untuk mendapatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah Pengusaha Kena Pajak Berisiko rendah.


Ketentuan Mengenai Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah Sebelum 1 April 2010

Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak dengan Risiko Rendah sebenarnya sudah diatur sejak tahun 2006 yaitu melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-124/PJ/2006. Saat itu penetapan kriteria Risiko ini berguna untuk membantu proses pemeriksaan dalam membuat Analisis Risiko untuk menilai ketidakbenaran SPT Masa PPN dan tingkat kedalaman dalam proses pemeriksaan.

Berdasarkan PER-124/PJ/2006, kriteria Pengusaha Kena Pajak dengan Risiko Rendah ditentukan sebagai (Lampiran 1 PER-124/PJ/2006):
1. Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu:
- Produsen;
- Perusahaan Terbuka;
- Perusahaan yang pemegang saham mayoritasnya adalah Pemerintah Pusat atau Daerah.

2. Pengusaha Kena Pajak selain yang melakukan kegiatan tertentu
- Perusahaan Terbuka;
- Perusahaan yang pemegang saham mayoritasnya adalah Pemerintah Pusat atau Daerah;
- Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar yang diaudit oleh Akuntan Publik dengan berpendapat wajar tanpa pengecualian.

Penilaian/analisis risiko ini dilakukan oleh pemeriksa pada saat pelaksaan pemeriksaan melalui analisis risiko kualitatif dan analisis risiko kuantitatif.

Ketentuan PER-124/PJ/2006 ini kemudian diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2009. Dalam PER-16/PJ/2009 ini, diatur bahwa Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria risiko sangat rendah adalah (Pasal 2 ayat (4)):
a. 1) laporan keuangan untuk tahun pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu tahun pajak dari 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik;
2) produsen yang melakukan ekspor atau penyerahan kepada Pemungut atau penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut dan pernah dilakukan pemeriksaan lapangan terhadap SPT Tahunan PPh untuk 1 (satu) tahun pajak atau 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun pajak yang diperiksa; atau
3) perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat.
b. tidak termasuk Pengusaha Kena Pajak yang diduga sebagai penerbit dan/atau pengguna faktur pajak tidak sah; dan
c. dalam hal Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak terdapat kompensasi dari Masa Pajak sebelumnya, kompensasi tersebut tidak boleh lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak.

Lebih lanjut pada Pasal 2 ayat (7) disebutkan bahwa:
“Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang belum diketahui tingkat risikonya karena belum pernah dilakukan pemeriksaan terkait dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN Lebih Bayar, Pengusaha Kena Pajak tersebut dianggap memiliki risiko tinggi.”

Pada Lampiran 1 PER-16/PJ/2009 mengatur tentang Pengusaha Kena Pajak dengan Risiko Rendah adalah Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak dengan Risiko Sangat rendah yang memenuhi persyaratan:
  1. Sudah pernah dilakukan pemeriksaan lapangan terhadap SPT Tahunan PPh untuk 1 (satu) tahun pajak atau 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun pajak yang diperiksa;
  2. Pernah mengajukan restitusi paling sedikit 3 (tiga) kali;
  3. Koreksi Dasar Pengenaan Pajak untuk Pajak Keluaran dari hasil pemeriksaan sebelum maksimal 10%;
  4. Koreksi Pajak Masukan hasil pemeriksaan sebelumnya maksimal 5%; dan
  5. Berdasarkan hasil analisis kuantitatif sebagaimana terdapat dalam Lampiran 3 memenuhi skor risiko rendah.

Apabila mencermati kedua ketentuan ini, maka Analisis Risiko untuk menetapkan kriteria risiko Pengusaha Kena Pajak memang harus ditetapkan melalui pemeriksaan pajak.



Ketentuan Mengenai Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah Sejak 1 April 2010

Sejak berlakunya Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN), maka kriteria Pengusaha Kena Pajak dengan risiko rendah ini mengalami perubahan dan ditetapkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (4c) UU PPN. Ketentuan pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (4c) UU PPN ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010.

a. Kriteria dan Prosedur Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah

Pada Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 ditegaskan bahwa:
a. melakukan kegiatan :
  1. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
  3. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
  4. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak; dan
b. telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b tersebut di atas harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Pengusaha Kena Pajak merupakan Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluhpersen) dari keseluruhan saham disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  2. Pengusaha Kena Pajak merupakan perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; atau
  3. produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang memenuhi persyaratan tertentu,
yang tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan terakhir.

Dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010 menegaskan persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c adalah:
  1. tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai selama 12 (dua belas) bulan terakhir,
  2. nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) adalah produksi sendiri; dan
  3. Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.

Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, Pengusaha Kena Pajak harus menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2010. Selanjutnya tata cara secara terperinci mengenai prosedur pengajuan permohonan dan penetapan Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2010.

b. Pengembalian Kelebihan Pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah

Bagi Pengusaha Kena Pajak dengan kriteria Risiko Rendah dan mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan Pajak dengan status sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, maka proses pengembalian pendahuluan ini harus diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak (dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak).

Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak ini dapat dilakukan pemeriksaan pajak (Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010). Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, maka Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah ini wajib membayar jumlah kekurangan Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan, paling lama 24 bulan dari jumlah kekurangan pembayaran pajak yang dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (Pasal 9 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010).

Kamis, 08 Desember 2011

Perlakuan Pajak Atas Penyerahan Kacang Kedelai

Kacang kedelai adalah merupakan salah satu bahan yang menjadi kebutuhan pokok rakyat Indonesia. Banyak sekali makanan yang dibuat dari kacang kedelai ini, sebut saja tahu, tempe, oncom, kecap, tauco sampai dengan susu kacang kedelai. Saat ini makanan yang telah disebutkan ini sudah tidak dapat lepas dari kebutuhan makan sehari-hari rakyat Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa seandainya tidak ada tahu, tempe atau kecap, tentunya makanan yang kita santap serasa ada yang kurang.

Dalam ketentuan pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), atas setiap transaksi penyerahan barang yang menyebabkan adanya pertambahan nilai dari barang yang diserahkan tersebut akan terutang PPN. Pada prinsipnya PPN ini dikenakan untuk mengendalikan perekonomian di negara kita sehingga rakyat tidak akan terlalu konsumtif dalam mengkonsumsi suatu barang (fungsi regulerend).

Lalu bagaimanakah perlakuan PPN atas penyerahan kacang kedelai yang saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok dari sebagian besar rakyat Indonesia? Berikut ini penulis akan membahas lebih lanjut mengenai perlakuan PPN serta Bea Masuk (BM) atas penyerahan kacang kedelai.

KETENTUAN PPN

Pasal 4A ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2000 menegaskan bahwa: Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut: barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.

Dalam Penjelasan ayat ini ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok dalam ayat ini adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1 huruf b PP Nomor 144 Tahun 2000 disebutkan bahwa: Kelompok barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah: Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Pada Pasal 3 huruf e PP Nomor 144 Tahun 2000 ini menyebutkan bahwa Jenis barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah kedelai.

Kemudian dalam Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-68/PJ./2002 tanggal 4 Februari 2002 menyebutkan bahwa atas impor dan atau penyerahan barang-barang kebutuhan pokok sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 653/KMK.03/2001, berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Kedelai yang dimaksud dalam Pasal 1 KEP-68/PJ./2002 ini adalah Kedelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam, sepanjang berbentuk sebagaimana dimaksud dalam huruf d Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 653/KMK.03/2001. Pada huruf d Lampiran 653/KMK.03/2001 menyebutkan bahwa kedelai yang dimaksud adalah kacang kedelai (pecah atau utuh) kuning (dengan kode HS 1201.00.100) dan lain-lain (dengan kode HS 1201.00.900).

Akibat adanya pertanyaan dari masyarakat, maka Direktur PPN dan PTLL Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan surat penjelasan mengenai perlakuan PPN atas impor kedelai melalui surat S-749/PJ.52/2002 tanggal 26 Juli 2002. Dalam surat penjelasan ini, landasan hukum yang dipergunakan adalah:
  1. Pasal 3 jo. Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000
  2. huruf d Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 653/KMK.03/2001
  3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-68/PJ/2002.
Hal yang ditegaskan dalam Surat Nomor S-749/PJ.52/2002 ini adalah bahwa:
  1. atas impor dan atau penyerahan kedelai oleh PT A.S.I. seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam, sepanjang berbentuk kacang kedelai, pecah atau utuh, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
  2. Pajak Masukan atas impor dan atau perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

Ketentuan PPN Yang Terbaru

Seiring dengan semakin berkembangnya bentuk transaksi perekonomian, maka pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) mengubah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 yang telah berlaku selama 10 tahun. Dalam UU PPN yang baru ini, jenis barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN lebih ditegaskan.

Perlakuan PPN atas penyerahan kacang kedelai masih tetap sama seperti yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2000. Dalam Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 menegaskan jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok: barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 ditegaskan bahwa barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
  1. beras;
  2. gabah;
  3. jagung;
  4. sagu;
  5. kedelai;
  6. garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
  7. daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
  8. telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
  9. susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
  10. buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
  11. sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

KETENTUAN BEA MASUK

Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.011/2008 ditegaskan bahwa atas impor kacang kedelai (Pos Tarif 1201.00.90.00), dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol perseratus). Ketentuan ini berlaku mulai 18 Januari 2008 s.d. 22 Desember 2010 (PMK 241/PMK.011/2010).

Menurut Lampiran I PMK 13/PMK.011.2011 disebutkan bahwa kacang kedelai (pecah maupun tidak), bungkil dan residu padat lainnya, dihancurkan maupun tidak atau berbentuk pellet, hasil dari ekstraksi minyak kacang kedelai, terutang BM 0% (80/PMK.011/2011).

KETENTUAN PELAPORAN SPT MASA PPN

Atas penyerahan Barang yang tidak terutang PPN, PKP tidak memiliki kewajiban untuk memungut PPN dan tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak. Kewajiban dari PKP atas penyerahan yang tidak terutang PPN ini hanyalah melaporkan jumlah penyerahannya (Dasar Pengenaan Pajak/DPP) pada induk SPT Masa PPN (Form 1111) Bagian I huruf B yaitu “Penyerahan Barang dan Jasa Tidak Terutang PPN”.

Baca Artikel Terkait:
Putusan Mahkamah Agung Menyebabkan Produk Pertanian “Menjadi” Kena PPN


c)syafrianto.blogspot.com 08122011

Rabu, 03 Agustus 2011

Ketentuan Pemberian Nomor Urut Faktur Pajak

Setelah artikel mengenai “Penomoran Faktur Pajak Harus Berurutan” dimuat dalam blog Tax Learning, respon dari Pembaca Setia Tax Learning cukup beragam. Bahkan ada beberapa beberapa Pembaca Setia Tax Learning yang berpendapat (yang diposting berupa komentar pada artikel yang bersangkutan) bahwa: apabila Nomor Urut Faktur Pajak terlewat, maka atas Faktur Pajak yang telah diterbitkan yang nomornya loncat tersebut tidak perlu dibetulkan, namun nomor yang terlewat tersebut dapat digunakan kembali untuk penerbitan Faktur Pajak berikutnya. Jadi artinya Faktur Pajak yang diterbitkan nomornya berurutan, tetapi tanggalnya tidak perlu berurutan. Jadi berdasarkan pendapat ini berarti nomor faktur pajak harus berurutan, namun tanggalnya tidak berurutan, yang ilustrasinya seperti:

No. Faktur Pajak
Tanggal Faktur Pajak
010.000-11.00000001
2 Januari 2011
010.000-11.00000002
25 Januari 2011
010.000-11.00000003
11 Februari 2011
010.000-11.00000004
1 Maret 2011
010.000-11.00000005
25 Februari 2011
010.000-11.00000006
3 Maret 2011

Dari ilustrasi di atas, terlihat bahwa penomoran Faktur Pajak telah sesuai dengan ketentuan, yaitu nomornya berurutan dari nomor faktur pertama hingga faktur terakhir (Faktur Pajak keenam). Namun dari segi tanggal Faktur Pajak, pemberian tanggal atas keenam Faktur Pajak tersebut tidak berurutan, terutama untuk Faktur Pajak keempat dan kelima. Untuk Faktur Pajak Nomor “00000004” diberi tanggal 1 Maret 2011, namun untuk Faktur Pajak Nomor “00000005” justru diberi tanggal 25 Februari 2011 (yang tanggalnya lebih tua daripada tanggal pada Faktur Pajak Nomor “00000004”).

Apakah pendapat dari salah seorang Pembaca Setia Tax Learning ini benar? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba menjelaskan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

Nomor dan Tanggal Faktur Pajak HARUS Berurutan

Perlu diketahui bahwa ketentuan mengenai pemberian nomor seri faktur pajak dan tanggal yang harus berurutan baru diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 dan mulai berlaku 1 Januari 2007. Sebelum ketentuan ini berlaku, memang tidak ada aturan secara langsung yang mengatur bahwa antara nomor seri faktur dan tanggal harus dibuat berurutan. Barulah di PER-159/PJ/2006, pada Pasal 8 ayat (1) ditegaskan bahwa Nomor Urut pada Nomor Seri Faktur Pajak Standar dan tanggal Faktur Pajak Standar harus dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak Standar dan mata uang yang digunakan.

Ketentuan PER-159/PJ/2006 saat ini telah diubah dan disempurnakan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-65/PJ/2010 yang juga menegaskan bahwa Nomor Urut pada Nomor Seri Faktur Pajak (yang terdiri dari 2 (dua) digit Tahun Penerbitan dan 8 (delapan) digit Nomor Urut dan tanggal Faktur Pajak harus dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak dan mata uang yang digunakan.
Jika kita cermati penegasan pada kedua ketentuan ini, maka dapat disimpulkan bahwa, aturan mengenai pemberian nomor seri Faktur Pajak adalah:
Nomor urut pada Nomor Seri Faktur Pajak DAN tanggal Faktur Pajak HARUS dibuat secara berurutan”

Jadi berdasarkan ketentuan ini ditegaskan bahwa yang harus dibuat berurut bukan hanya Nomor Urut pada Nomor Serinya saja, tetapi juga tanggal Faktur Pajaknya. Sehingga penomoran Faktur Pajak sebagaimana ilustrasi di atas (sesuai dengan pendapat dari salah seorang Pembaca Setia Tax Learning) adalah menyalahi ketentuan tentang penomoran Faktur Pajak. Walaupun Nomor Urut Faktur sudah diterbitkan secara berurutan, namun akibat tanggalnya tidak berurutan, maka pemberian nomor dan tanggal Faktur Pajak seperti ilustrasi di atas dikategorikan sebagai tidak berurutan dan salah.

Berdasarkan angka 7 huruf a Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2010 ditegaskan bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) hanya mengisi Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan. Kesalahan dalam pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak akan mengakibatkan Faktur Pajak tersebut menjadi cacat. Oleh sebab itu, PKP yang menerbitkan Faktur Pajak dengan penomoran seperti pada ilustrasi di atas, dimana antara nomor faktur dan tanggal faktur tidak berurutan, akan dinyatakan cacat. Bagi PKP yang menerbitkan Faktur Pajak yang cacat karena nomor urut dan tanggal faktur pajak tidak berurutan ini akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP yaitu berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Pembetulan Faktur Pajak

Dalam artikel “Penomoran Faktur Pajak Harus Berurutan”, juga ada salah seorang Pembaca Setia Tax Learning yang menanyakan mengenai apakah diperbolehkan apabila atas faktur pajak yang salah dalam hal penomoran, dan diketahui sebelum faktur pajak tersebut dilaporkan kemudian oleh PKP segera melakukan revisi (bukan mekanisme pembetulan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-65/PJ/2010) atas Faktur Pajak yang salah tersebut (mengubah Faktur Pajak yang salah menjadi benar dan sesuai ketentuan). Sehingga pada saat pelaporan, Faktur Pajak tersebut telah benar.
Sebenarnya tidak ada larangan atas tindakan melakukan revisi atas Faktur Pajak yang salah. Jadi menurut penulis, sepanjang Faktur Pajak yang salah tersebut belum beredar apalagi dilaporkan dalam SPT Masa PPN, maka sah-sah saja apabila PKP merevisi Faktur Pajak yang salah tersebut. Atas Faktur Pajak yang salah tersebut kemudian dimusnahkan, sehingga yang diberikan kepada pihak pembeli dan dilaporkan ke Kantor Pajak adalah Faktur Pajak yang telah benar dan sesuai ketentuan.

Justru yang diperbolehkan adalah pihak PKP Penjual melakukan revisi atas Faktur Pajak yang salah serta melaporkan Faktur Pajak yang telah direvisi ini ke Kantor Pajak, namun Faktur Pajak yang diserahkan kepada pembeli tetap Faktur Pajak yang salah. Jika hal ini terjadi, berarti dapat kita katakan bahwa PKP ini telah menerbitkan 2 (dua) Faktur Pajak (yaitu Faktur Pajak yang salah dan yang telah direvisi) atas 1 (satu) transaksi. Tindakan ini justru menyebabkan Faktur Pajak tersebut cacat. Faktur Pajak cacat ini sangat mudah diketahui oleh pihak aparat pajak, karena pihak pembeli juga akan melaporkan Faktur Pajak yang diterimanya tersebut sebagai Pajak Masukan dan kelak jika dikonfirmasi (cross check) dengan Kantor Pajak tempat PKP penjual melaporkan Faktur Pajak Keluarannya akan ditemukan ketidaksesuaian.

Artikel Terkait:
Penegasan Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak dan Pembuatan Faktur Pajak