..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Rabu, 20 Mei 2015

Penentuan Kriteria Kualifikasi Usaha Jasa Konstruksi Untuk Dasar Pemotongan PPh

Sejak 1 Januari 2008, Pemerintah telah mengubah kebijakan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh oleh kegiatan usaha jasa konstruksi dengan menyederhanakan sistem pemungutannya dengan memperlakukan pengenaan PPh yang bersifat final untuk semua jenis kegiatan usaha jasa konstruksi. Pada aturan sebelumnya (Peraturan Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000) sistem pemungutannya masih dibedakan menjadi 2 perlakuan, yaitu berdasarkan ketentuan PPh yang bersifat final untuk nilai pengadaan sampai dengan Rp 1 miliar dan perlakuan pengenaan PPh berdasarkan ketentuan PPh yang bersifat umum (tidak final) untuk nilai pengadaan di atas Rp 1 miliar.

Perlakuan pengenaan PPh untuk usaha jasa konstruksi mulai 1 Januari 2008 (dan berlaku hingga saat ini) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009. Pada Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008 ditetapkan bahwa tarif PPh Final untuk Jasa Konstruksi ditentukan berdasarkan kualifikasi usaha dan terbagi menjadi:
  1. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
  2. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
  3. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  4. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
  5. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Jika dibaca dari Penjelasan atas ayat ini, maka definisi “Kualifikasi Usaha” yang menjadi batasan penentuan tarif PPh adalah stratifikasi yang ditentukan berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Penafsiran Keliru Tentang Kualifikasi Usaha

Selama ini banyak terjadi kesalahan penafsiran mengenai penerapan tarif PPh Final sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2008 tersebut. Banyak penafsiran bahwa batasan kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar tersebut harus disesuaikan dengan batasan nilai proyek pekerjaan jasa konstruksi yang dikerjakan oleh perusahaan jasa konstruksi tersebut. Hal ini kemungkinan akibat dari ketentuan lama (PP Nomor 140 Tahun 2000) yang membatasi bahwa Wajib Pajak yang akan dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 2% hanya untuk Wajib Pajak yang melakukan proyek pekerjaan dengan nilai pengadaan sampai dengan Rp 1 miliar.

Saat ini banyak pihak yang menafsirkan bahwa untuk menentukan kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar sesuai PP Nomor 51 Tahun 2008 ini harus dikaitkan dengan batasan kemampuan melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011.

Pada Pasal 8B ayat (1) PP 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 4 Tahun 2010 dan Pasal 17 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011 ditetapkan bahwa kualifikasi badan usaha jasa konstruksi terdiri dari:
  1. kualifikasi usaha besar; ;
  2. kualifikasi usaha menengah; dan;
  3. kualifikasi usaha kecil.
Pada tabel lampiran III Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2011 memang disebutkan bahwa kemampuan melaksanakan pekerjaan dan kemampuan batasan nilai satu pekerjaan maksimum adalah sampai dengan Rp 2,5 miliar untuk usaha jasa konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil. Namun tidak ada larangan atau batasan bagi suatu badan usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil untuk tidak boleh menangani suatu pekerjaan dengan nilai pengadaan di atas Rp 2,5 miliar.

Apabila diperhatikan pada Pasal 100 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengenai Pengadaan Barang dan/atau Jasa, disebutkan bahwa:
“nilai paket pekerjaan Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya sampai dengan Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juga rupiah), diperuntukan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompentensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil.”

Jika kita simak aturan di atas, maka batasan nilai proyek yang diatur ini hanya membatasi bahwa batasan nilai pengadaan ini sebenarnya untuk melindungi usaha kecil supaya kontraktor dengan kualifikasi usaha menengah dan besar tidak menguasai semua jenis proyek yang mengakibatkan kontraktor kualifikasi usaha kecil kalah bersaing.

Kembali lagi ke pokok masalah kita, apakah aturan mengenai pengenaan PPh berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2008 tersebut, kualifikasi usaha besar, menengah atau kecil tersebut adalah didasarkan pada nilai suatu proyek pekerjaan. PP Nomor 51 Tahun 2008 tidak pernah mengatur mengenai pengklasifikasian skala kualifikasi usaha jasa konstruksi. PP Nomor 51 Tahun 2008 hanya menetapkan besaran tarif PPh Final yang harus dikenakan terhadap masing-masing kualifikasi usaha. Sedangkan kualifikasi usaha ini sendiri menurut PP Nomor 51 Tahun 2008 adalah mengacu kepada kualifikasi yang telah ditentukan (sertifikasi yang dikeluarkan) oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.

Simpulan

Jadi menurut penulis, untuk keperluan pengenaan PPh pihak yang berkepentingan untuk menetapkan besarnya PPh yang terutang, kualifikasi usaha dari kontraktor pemberi jasa konstruksi ini ditentukan berdasarkan sertifikasi klasifikasi usaha yang telah diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang masih berlaku. Apabila ternyata kontraktor yang memiliki sertifikat kualifikasi usaha kecil ini mengerjakan proyek dengan nilai di atas Rp 2,5 miliar, maka untuk keperluan pengenaan PPh, tidak boleh serta merta langsung diklasifikasikan sebagai kontraktor yang memiliki sertifikat kualifikasi usaha menengah atau besar. Karena secara legal, kontraktor tersebut memiliki sertifikat kualifikasi usaha kecil, walaupun dalam prakteknya yang bersangkutan mengerjakan proyek untuk kualifikasi menengah atau besar, maka pengenaan PPh harus memperhatikan aspek legalnya dimana kontraktor ini adalah pemegang sertifikat kualifikasi usaha kecil. Oleh sebab itu, PPh final yang harus dikenakan untuk kontraktor ini adalah PPh Final sebesar 2%.

3 Comments

Arifta Gunawan 21 November 2016 pukul 11.07

Menurut saya simpulan Anda keliru, apabila kontraktor yg mempunyai kualifikasi kecil mengerjakan proyek besar, berarti harus digolongkan sebagai "tidak memiliki kualifikasi", karena seharusnya dia tidak memiliki kualifikasi mengerjakan proyek besar. Dan harus menanggung 4%, bukan 2%.

Anto 3 Desember 2016 pukul 12.30

Terima kasih atas tanggapan dari Sdr. Arifta Gunawan. Memang PP No. 51 Tahun 2008 ini bukanlah ketentuan yang mengatur mengenai kualifikasi usaha jasa konstruksi, namun mengatur mengenai mengenai perlakuan tarif PPh bagi usaha jasa konstruksi. Sehingga menimbulkan banyak penafsiran.
Tulisan di atas ada simpulan saya pribadi berdasarkan ketentuan PP 51 ini dan ketentuan Jasa Konstruksi. Pasal 3 ayat (1) huruf a PP 51 tahun 2008 tersebut mengatur: Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa YANG MEMILIKI kualifikasi usaha kecil".
Di ketentuan ini TIDAK mengatur mengenai JENIS PROYEK YANG SEDANG DIKERJAKAN.
Oleh sebab itu, saya mencoba untuk mencari aturan yang mengatur tentang jenis usaha JASA KONSTRUKSI(seperti tulisan saya di atas). Dalam ketentuan ini, tidak ada larangan bagi usaha jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil untuk mengerjakan proyek besar. (catatan: harus dibedakan antara istilah kualifikasi usaha dengan nilai proyek yang ditangani).
Jadi karena di PP 51 Tahun 2008 mengatur pengenaan PPh 2% adalah untuk penyedia jasa YANG MEMILIKI kualifikasi usaha kecil, maka menurut saya tidak dapat menyimpulkan bahwa ketika menangani proyek besar berarti tidak memiliki kualifikasi usaha. Itu adalah penafsiran yang keliru, karena penyedia jasa ini nyata-nyata memiliki kualifikasi usaha kecil dan pada saat mengikuti proses tender, pastilah mereka mengajukan ijin usaha mereka dengan kualifikasi kecil ini.

Arifta Gunawan 7 Februari 2017 pukul 11.39

Wah, kalo gitu berlomba-lomba saja mengajukan sertifikasi kualifikasi kecil, biar pajaknya cuman 2%. Kan kualifikasi kecil juga bisa ngerjain proyek besar juga.

Posting Komentar