..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Kamis, 27 Juni 2013

PPh Final 1% Bagi Wajib Pajak Dengan Omzet Di Bawah 4,8 Miliar Rupiah Setahun

Pemerintah kembali mengeluarkan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi para pelaku bisnis dengan skala kecil dan menengah. Kebijakan ini adalah perlakuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diperoleh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha (omzet) kurang dari Rp 4,8 miliar setahun. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Siapakah Wajib Pajak yang dimaksud dalam ketentuan ini yang berhak mendapatkan fasilitas ketentuan ini dan bagaimanakah pelaksanaannya? Dalam tulisan berikut, penulis akan mengupas isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Namun karena hingga tulisan ini dibuat, masih belum ada peraturan pelaksana dari PP Nomor 46 Tahun 2013 ini (Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak), maka masih ada beberapa pelaksanaan teknis yang masih harus menunggu diterbitkannya peraturan pelaksananya. Ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 ini antara lain adalah:

Wajib Pajak Yang Dapat Menerapkan Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang atas penghasilan dari usahanya dikenai PPh yang bersifat final adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:

  • Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap (BUT); dan
  • menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.
  • Wajib Pajak yang dimaksud di atas yang tidak dapat menerapkan ketentuan ini adalah:
    Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
    1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
    2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

    Wajib Pajak Badan, adalah:
    1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
    2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000

    Tarif PPh dan Ketentuan Pengenaannya

    Besarnya tarif PPh bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sebesar 1% dan bersifat final. Pengenaan PPh ini didasarkan pada peredara bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

    Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 dalam suatu Tahun Pajak, maka Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh final 1% ini sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. Sedangkan untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya barulah dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang telah dikenai PPh yang bersifat final lainnya. (Misalnya untuk penghasilan dari jasa konstruksi tetap dikenakan tarif PPh final untuk jasa konstruksi sebesar 2% untuk pelaksana konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil).

    Pengenaan PPh dengan tarif 1% dan bersifat final ini hanya berlaku untuk penghasilan dari usaha sedangkan untuk penghasilan selain dari usaha tetap dikenakan tarif PPh berdasarkan ketentuan Pasal 17 UU PPh (tarif umum).

    Dasar Pengenan dan Perhitungan PPh

    Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final ini adalah atas jumlah peredaran bruto setiap bulan.

    Pengenaan PPh dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

    Kredit Pajak Luar Negeri

    Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh dan aturan pelaksananya.

    Kompensasi Kerugian Fiskal

    Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan ketentuan ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan:

    1. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak; 
    2. Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 tahun tersebut;
    3. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.

    Ketentuan Khusus Terkait Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan Pajak

    Peredaran Bruto sebagai Dasar Pengenaan PPh yang bersifat final ini adalah:

    1. didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan;
    2. didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan ini di bulan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku
    3. didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan ini.
    Saat Berlakunya Ketentuan Ini

    Ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final sebesar 1% atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.

    Komentar Penulis

    Semoga Peraturan Menteri Keuangan terkait ketentuan ini segera terbit karena ketentuan ini akan berlaku dalam 3 hari lagi. Yang menjadi permasalahan adalah ketentuan ini berlaku di tengah tahun pajak sehingga untuk tahun pajak 2013 ini, Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang memenuhi ketentuan ini harus menggunakan 2 metode dalam menghitung PPh yang terutang di tahun 2013, yaitu untuk masa Januari s.d. Juni 2013 yang masih menggunakan tarif PPh umum sesuai ketentuan Pasal 17 UU PPh, sedangkan sejak Juli s.d. Desember 2013 harus menggunakan tarif PPh yang bersifat final sebesar 1%. Tentunya hal ini cukup menyulitkan bagi Wajib Pajak.

    Catatan: mulai 1 Juli 2018 ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini telah diubah dengan PP Nomor 23 Tahun 2013. Informasinya baca di sini.

    7 Comments

    Anonim

    Bagaimana dengan bukti potong pph 23, apakah bisa dikreditkan?

    BISNIS MELALUI INTERNET 15 Agustus 2013 pukul 08.53

    Katanya untuk menolong UKM , tapi ribet
    Mau tanya nih
    Pengusaha manufacture omzet tidak lebih 4,8 M melakukan Import Barang ada PPh 22, dan ada penyerhan Jasa Makloon PPh23.
    Bagaimana cara menghitung PPH Final 1% nya PP 46.
    Mohon pencerahannya

    BISNIS MELALUI INTERNET 15 Agustus 2013 pukul 08.57

    Katanya kebijakan yang menguntungkan, tapi setelah diterapkan ternyata ada penambahan bayar pajak terutama bagi wp perseorangan yang memakai norma penghitungan.

    Mau Tanya nih
    WP pengusaha manufacture omzet tidak melebihi 4,8 M pernah import dan ada PPh Ps.22 , dan terdapat PPh Pasal 23 atas jasa Makloon.
    Bagaimana cara menghitung PPh Final 1% nya ?

    Terimakasih.
    Wassalam

    Unknown 13 Mei 2014 pukul 17.01

    Pengusaha omzet kurang dari 4,8M, tapi menyatakan diri melakukan pembukuan, kena final 1% apa nggak?

    Anto 26 Mei 2014 pukul 08.36

    Perhitungan PPh untuk Jasa Maklon yang penyerahan setahunnya di bawah Rp 4,8 miliar adalah tetap menggunakan perhitungan PPh 1% atas omzet dan bersifat final. PPh Pasal 22 impor yang dipungut seharusnya dapat dimintakan untuk dibebaskan dengan syarat WP harus mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemotongan/pemungutan PPh.

    Apabila Anda belum mendapatkan SKB, dan tetap dipotong PPh Pasal 22, maka PPh Pasal 22 ini tetap dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh, sedangkan atas revenue jasa maklon ini, karena seluruhnya telah dikenakan PPh final 1%, maka sudah tidak akan terdapat lagi kurang bayar PPh, sehingga dimungkinkan akan terjadi lebih bayar (apabila tidak ada penghasilan non final lainnya).

    Pengusaha yang omzetnya kurang dari Rp 4,8 miliar dan menyatakan melakukan pembukuan, TETAP akan dikenakan ketentuan PPh final 1% dari omzet (sepanjang memenuhi kriteria sebagai WP yang dikenakan PPh final 1% ini).

    Unknown 13 Juni 2016 pukul 21.48

    Mohon pencerahan,,,
    Omzet saya dari januari sampai april 7 miliar,,,kox saya masi di ikutkan ke pph 1% dari omzet ya,,,apakah saya bisa ikutkan ke pph pasal 17.

    Anto 13 Juni 2016 pukul 22.51

    Menjawab pertanyaan Sdr. Hong Pcm:
    Dalam pertanyaan Anda ini, omzet Januari 2016 s.d. April 2016 sudah mencapai Rp 7 miliar. Saya asumsikan bahwa penghasilan Anda dari Januari 2015 s.d. Desember 2015 adalah di bawah Rp 4,8 miliar. Maka untuk penentuan apakah WP harus menggunakan perhitungan PPh 1% dalam menentukan PPh yang harus dibayarnya selama Januari 2016 s.d. Desember 2016, adalah didasarkan pada omzet yang telah dicapai pada periode Januari 2015 s.d. Desember 2015.

    Sedangkan omzet yang dicapai selama tahun 2016 (dimana telah melampaui Rp 4,8 miliar) baru akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan metode menghitung PPh di tahun 2017 (Januari 2017 s.d. Desember 2017), yaitu dengan menggunakan ketentuan umum sesuai PPh Pasal 25.

    Posting Komentar