..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Senin, 22 Juni 2009

Kampanye Capres Janjikan Pengampunan Pajak

Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati-Prabowo berjanji memberlakukan pengampunan pajak (Tax Amnesty) guna menarik dana yang diparkir di sejumlah bank di luar negeri. Dana itu dapat digunakan meningkatkan penerimaan negara dan mendanai sejumlah proyek, sehingga mampu menciptakan lapangan kerja. Sedangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono justru menolak.

Namun, ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bertekad untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebab, rasio pajak Indonesia terhadap PDB mencapai 16% pada 2008, tertinggal jauh dibandingkan negara-negara tetangga lainnya.

Hal tersebut diungkapkan salah satu tim sukses JK-Win, Fuad Bawazir dan Ketua Fraksi PDIP, Emir Moeis secara terpisahkepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (16/6). Menurut Fuad Bawazir, pengampunan pajak cukup bagus, karena dana yang bisa ditarik nilainya cukup besar.

Pasalnya, kebijakan sunset policy yang digulirkan pemerintah sekarang ini kurang begitu bermanfaat bagi pengusaha, sehingga hasilnya kurang begitu optimal. "Pengampunan pajak menjadi salah satu prioritas pasangan JK-Win. Selama ini. Pak Boediono adalah salah satu menteri yang menolak penerapan pengampunan pajak," tandas Fuad yang juga mantan Dirjen Pajak.

Pengampunan pajak merupakan bentuk keringanan penyelesaian pembayaran dan pengampunan pada semua jenis pajak yang diberikan pemerintah bagi wajib pajak (WP). WP juga dijamin dan diampuni, sehingga tidak akan diusut dan dipidanakan. Indonesia pernah menerapkan tax amnesty era Soekarno. Sunset policy diperuntukkan hanya untuk pajak penghasilan (PPh) dan WP hanya mendapatkan keringanan pada satu jenis pajak, yakni PPh. Namun, WP masih berpeluang dipidanakan.

Data menunjukkan, negara-negara yang pernah sukses menerapkan pengampunan pajak, antara lain Afrika Selatan, Argentina, India, dan Prancis, (lihat tabel).

Di samping itu, kata Fuad, pasangan JK-Win akan menghapus sejumlah pajak ganda agar menciptakan kepastian berusaha bagi pebisnis. Sebab, selama ini banyak pajak ganda dibebankan bagi dunia usaha. "Penghapusan pajak ganda menjadi pajak final merupakan bagian dari insentif yang menarik bagi pengusaha. Dengan begitu, mereka tidak perlu ragu-ragu menyusul rencana bisnisnya," tutur dia.

Emir Moeis menegaskan, pasangan Megawati-Prabowo tetap memprioritaskan kebijakan sektor pajak guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. "Kami tetap mengusung platform ekonomi kerakyatan dan peningkatan pajak demi kesejahteraan masyarakat. Kalau pengusaha besar konsisten membayar pajak atau ingin mendapatkan pengampunan pajak, itu sesuatu yang wajar, asalkan kewajibannya membayar pajak tetap dilakukan," ujar Emir yang juga ketua Panitia Anggaran (Panggar) DPR.

Dia menjelaskan, pengampunan pajak hanyalah bersifat sementara, khususnya terhadap sektor tertentu dalam rangka pemberian insentif berkala. Setelah kondisi normal lagi, lanjut Emir, kewajiban membayar pajak harus dilakukan guna mendanai sejumlah sektor strategis,, seperti pembangunan infrastruktur.

Menurut Emir, penerimaan pajak dalam APBN 2009 sebesar Rp 725 triliun belum maksimal, karena kebutuhan berbagai sektor sangat dibutuhkan masyarakat Karena itu, prioritas pengampunan pajak sangat penting untuk menopang kebutuhan negara, khususnya program-program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil.

M Fadhil Hasan, tim ekonomi JK-Win, menilai, pengampunan pajak merupakan suatu hal yang perlu dikaji. Jika manfaat yang diperoleh akan lebih besar dari biaya, lanjut dia, pihaknya siap mempertimbangkannya. "Saat ini, belum ada argumen yang cukup kuat memberlakukan pengampunan pajak," jelas Fadhil.

Sunset Policy

Sementara itu, tim ekonomi SBY-Boediono Chatib Basri, Raden Pardede, dan Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR Syarif Hasan menegaskan, tax amnesty belum perlu diterapkan, karena program sunset policy telah berlangsung dengan baik. Apalagi, sanksi tegas bagi penunggak WP telah diatur dalam undang-undang (UU).

Menjawab banyaknya pengusaha yang meminta tax amnesty di tengah krisis finansial global, Syarif menegaskan, penegakan hukum tidak seperti itu. Sebab, kebijakan pemerintah bersifat adhoc, setelah itu semua WP harus melunasi kewajiban membayar pajak. "Pendapatan negara dari pajak sangat membantu sekab. Jadi, tidak ada alasan bagi pemerintah memberlakukan pengampunan pajak," ujar dia.

Chatib Basri menambahkan, bentuk insentif dan keringanan pajak bagi pengusaha sudah diberikan melalui sunset policy. Oleh karena itu, program itu sebaiknya dilanjutkan lagi. "Kalau ada usulan perlunyapengampunan pajak bagi dunia usaha pemerintah dapat mempertimbangkannya. Kami tidak mau memberi janji-janji dulu. Kalau tidak dipenuhi, hal tersebut menjadi persoalan di kemudian hari," jelas dia.

Pendapat senada dilontarkan Raden Pardede. Ia menilai, langkah-langkah peningkatan penerimaan pajak sudah diatur dalam UU Perpajakan, termasuk amendemen UU Pajak Penghasilan (PPh) yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti penurunan tarif badan dari 30% menjadi 25%. Sedangkan tarif pajak korporasi dipangkas dari 35% menjadi 25%. "Jika SBY-Boediono terpilih, kebijakan perpajakan akan mengikuti kebijakan yang saat ini dikerjakan Direktorat Jenderal Pajak. Kami akan meneruskan apa yang sudah dikerjakan selama ini, sambil terus membenahi kebijakan yang telah ada hingga 2014," ujar dia.

Menurut Raden, pemerintah bakal lebih fokus melaksanakan aturan perpajakan melalui program ekstensifikasi, intensifikasi, dan perluasan basis pajak.

Pengusaha Dukung

Dihubungi terpisah, Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto mengatakan, tax amnesty harus dilihat secara menyeluruh dan tidak dari satu sisi. Sebab, kata dia, pengampunan pajak harus didukung oleh kesiapan aparat pajak guna menerapkan administrasi bersih dan kedisiplinan penerapan regulasi pajak dari pemerintah pusat hingga daerah.

Djimanto mengakui, para capres dan cawapres belum memperhatikan tax amnesty. Hal tersebut terbukti dari ketidaksiapan membenahi sistem perpajakan nasional. "Penerapan pengampunan pajak agak telambat, seharusnya sebelum sun-set policy diberlakukan," jelas dia.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno Benny menambahkan, stimulus fiskal diperlukan untuk menarik modal dari luar ke dalam negeri. Kalau tax holiday sulit dilaksanakan, lanjut Benny, karena APBN bergantung dari penerimaan pajak, tax amnesty merupakan harapan pengusaha. Dengan begitu, modal yang tadinya sempat hengkang dari Indonesia bisa masuk lagi dengan aman.

Iman Sugema, tim ekonomi Me-ga-Prabowo mengatakan, masalah perpajakan ditempatkan sebagai bagian dari kerangka reformasi birokrasi. Oleh sebab itu, kata dia, aparatur pemerintahan yang bersih dan sistem administrasi yang baik harus dibentuk terlebih dahulu dan selanjutnya baru membicarakan target-target yang hendak dicapai. Sebab, tanpa diimbangi aparatur yang bersih dan sistem administrasi yang baik, hasil pajak yang dipungut berpotensi disalahgunakan. Dia mengakui, jika berbicara target pajak saat ini, hal itu dapat membebani masyarakat di tengah perekonomian yang belum pulih.

Iman optimistis, pasangan Mega-Probowo mampu meningkatkan rasio pajak (taxratio) terhadap produk domestik druto (PDB) sebesar 20% dalam lima tahun ke depan. Hal ini dapat terealisasi, bila melihat potensi yang masih bisa digali. "Kami akan duduk bersama dengan pengusaha dan berbicara dengan para wajib pajak tentang target-target yang hendak dicapai," tutur dia.

Stimulus Ekonomi

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter Haryadi Sukamdani serta Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa men-desak capres dan cawapres terpilih menjadikan pajak sebagai stimulus penggerak pertumbuhan ekonomi dan bukan sekadar bagian APBN. Sebab, pemerintah sering melupakan fungsi pajak sebagai stimulus perekonomian nasional. "Yang didahulukan selalu fungsi pajak sebagai instrumen dalam meningkatkan anggaran penerimaan negara. Ini yang semestinya harus dibenahi," tutur Haryadi.

Padahal, lanjut dia, di negara-negara lain tarif pajak justru lebih rendah, sehingga tidak membebani dunia usaha. Tapi, penggunaannya sangat efektif, efisien, dan tepat sasaran. Akibatnya, kesadaran WP bertambah besar dan berdampak terhadap perekonomian. Haryadi mengatakan, penerapan pajak di Indonesia sering keliru dan membebani pengusaha.

Dia mencontohkan penerapan pajak ganda dan rencana kenaikan batas atas pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 15% menimbulkan ketidakpastian iklim usaha. Selain itu, rencana kenaikan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) hingga 200% juga tidak efisien. Pasalnya, masyarakat kelas menengah atas akan lari ke luar negeri untuk belanja dan investasi properti kurang menarik lagi. Bahkan, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) menjadi 28% tahun ini belum kompetitif dibandingkan negara-negara pesaing. "Semestinya PPh tahun depan lebih rendah sekitar 20-22%, sehingga kesadaran WP meningkat tajam," jelas dia.

Erwin mengatakan, pemerintah terpilih harus lebih tegas mengoptimalkan setoran pajak, terutama yang memiliki kekayaan besar. Penerimaan pajak dari ekspor sumber daya alam (SDA) juga perlu digarap maksimal, karena selama ini masih kurang optimal.

Pengamat perpajakan UPH Ronny Bako menambahkan, para capres-cawapres harus bertitik tolak dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), bila berbicara soal visi ekonomi, terutama masalah pajak. Sebab, dalam RPJPN dijelaskan, tentang kemandirian pembiayaan APBN. Banyak objek pajak yang bisa digali, seperti dari asing yang masuk ke Indonesia dan pengusaha besaral. "Pemerintah bisa menggali dan mengelola dengan baik hasil pajak yang diungut dari rakyat Jadi, mereka harus memahami kemandirian pembiayaan dengan menggali sumber anggaran negara," kata dia.

Sumber : Investor Daily Indonesia

0 Comments

Posting Komentar