..Hubungi kami jika ingin script iklan Anda di Sini....

Selasa, 03 Februari 2009

Wajib Pajak Baru: Kapan Saya Harus Lapor Pajak?

Setelah seluruh masyarakat Indonesia dihebohkan dengan program sunset policy pada tahun 2008, maka saat ini mereka yang telah memanfaatkan program sunset policy dengan mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP menjadi bingung dengan kewajiban apa yang harus dilakukan selanjutnya dan kapan harus memenuhi kewajiban pajak tersebut.
Pada tulisan sebelumnya yang pernah diposting oleh penulis, penulis telah membahas mengenai langkah apa yang harus dilakukan oleh seorang Wajib Pajak karyawan setelah ia mendapatkan NPWP (artikel tersebut dapat dibaca di sini). Namun masih banyak Wajib Pajak baru yang bingung dan tidak mengetahui kapan mereka harus memenuhi kewajiban pajaknya.

Kewajiban dari seorang Wajib Pajak adalah menghitung besarnya pajak yang terutang atas seluruh penghasilan yang dia terima dalam suatu periode, memperhitungkan pajak-pajak yang telah disetor atau dipotong sebelumnya atas penghasilan yang diperolehnya tersebut dengan pajak terutang hasil perhitungan yang dilakukannya dan menyetorkan pajak yang masih kurang dibayar serta melaporkannya ke kantor pelayanan pajak dengan menggunakan sarana Surat Pemberitahuan (SPT).

Seorang Wajib Pajak telah memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT sejak ia terdaftar dan mendapatkan NPWP.

Jenis SPT (baca: kewajiban pajak) yang harus dilaporkan oleh seorang Wajib Pajak dapat dilihat dari Surat Keterangan Terdaftar (SKT), yang biasanya akan diperoleh bersamaan dengan Kartu NPWP, oleh Wajib Pajak yang mendaftarkan sendiri untuk mendapatkan NPWP ke Kantor Pelayanan Pajak tempatnya terdaftar. Bagi Wajib Pajak yang NPWP-nya didaftarkan secara kolektif oleh pemberi kerja (perusahaan) atau yang mendapatkan NPWP karena didaftarkan secara jabatan oleh pihak Direktorat Jenderal Pajak, dapat memperoleh SKT ini ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar dengan menunjukkan kartu NPWP yang telah diperolehnya.

KAPAN HARUS MULAI MELAPORKAN SPT?

Seorang Wajib Pajak yang baru terdaftar, sudah wajib melaporkan SPT sejak ia terdaftar. Kewajiban yang harus dilakukan, yang terdiri dari:

- SPT Masa
Kewajibannya sudah dimulai pada bulan dimana ia terdaftar dan harus dilaporkan paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya setelah tanggal terdaftar.

Contoh:
Tuan X terdaftar pada tanggal 20 Agustus 2008 serta memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21. Maka Tuan X harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa pajak Agustus 2008 paling lambat tanggal 20 September 2008.

- SPT Tahunan
Kewajibannya sudah dimulai pada tahun dimana ia terdaftar dan harus dilaporkan paling lambat;
  1. Untuk Wajib Pajak orang pribadi adalah pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya setelah tahun pajak orang pribadi tersebut terdaftar.
  2. Untuk Wajib Pajak badan adalah pada tanggal 30 April tahun berikutnya setelah tahun pajak badan tersebut terdaftar.
Contoh:
  1. Tuan X yang terdaftar pada tanggal 20 Agustus 2008 harus melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk tahun pajak 2008 paling lambat tanggal 31 Maret 2009.
  2. PT ABC yang terdaftar pada tanggal 20 Agustus 2008 harus melaporkan SPT Tahunan PPh Badan untuk tahun pajak 2008 paling lambat tanggal 30 April 2009.

12 Comments

Anonim

Mr.E (Jambi)
Saya mau bertanya, jika PPh 21 karyawan tidak dipungut oleh perusahaan, padahal penghasilan karyawan melewati PTKP, sehingga pada akhir tahun pembuatan SPT Tahunan PPh 21 mengalami kurang bayar, Siapa yang bertanggung jawab atau yang menanggung kekurangan tersebut yang disebabkan kesalahan dari Pihak Perusahaan? (Perusahaan atau Karyawan itu sendiri)

Thanks so much for ur prompt reply.

Anto 6 Februari 2009 pukul 11.59

Jika Perusahaan tidak memotong PPh Pasal 21, maka karyawan yang bersangkutan wajib menghitung kembali PPh terutang atas penghasilannya tersebut serta melunasi PPh terutangnya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadinya (timbul PPh terutang karena tidak ada kredit pajak yang berasal dari potongan PPh Pasal 21 dari perusahaan).
Kelak, jika perusahaan tersebut diaudit oleh aparat pajak, maka ia tetap berkewajiban untuk menyetorkan PPh Pasal 21 yang seharusnya ia potong namun tidak dipotong, walaupun karyawan yang bersangkutan telah melaporkan dan membayar sendiri pajaknya. Ini merupakan konsekuensi yang harus ditanggung pemotong pajak jika ia lalai dalam memotong pajak.

Anonim

Bagaimana dilihat dari posisi perusahan yang harus melaporkan SPT PPh Pasal 21 Tahunan? Dalam SPT Tahunan tersebut, perusahaan juga menghitung kembali pd akhir tahun bahwa telah terjadi kesalahan dalam pemungutan PPh 21 thdap karyawannya. Maka perusahaan mengalami kurang bayar. Apakah perusahaan akan menagihkan kembali pada karyawan tersebut pada tahun berjalan ATAUKAH perusahaan akan membuat jurnal penyesuaian sehingga perusahaan yang akan membayar kurang bayar tsb? (PPh 21 adalah witholding tax bukan?) tentunya bukan tanggungan perusahaan, dan tidak dapat dimasukkan ke dalam laporan laba rugi bukan? dikarenakan bukan biaya perusahaan.) Tolong beri pencerahan.
Thanks so much for ur prompt reply.

Anto 9 Februari 2009 pukul 17.30

Memang PPh Pasal 21 adalah merupakan pajak atas penghasilan karyawan yang pemungutannya dilakukan melalui perusahaan sebagai pemberi kerja (prinsip witholding system). Sehingga pajak tersebut sebenarnya adalah merupakan pajak yang harus ditanggung/dipotongkan dari penghasilan karyawan.
Namun dalam prakteknya, pembayaran PPh Pasal 21 ini terdapat beberapa mekanisme;
- ada yang PPh Pasal 21 ini dipotong dari penghasilan yang diterima oleh karyawan. Sistem ini dikenal sebagai PPh Pasal 21 yang dibayar/ditanggung oleh karyawan.
- ada sistem dimana PPh Pasal 21 ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan, dimana karyawan menerima penghasilannya tersbut adalah netto tanpa dibebani dengan pajak terutangnya. Pajak terutang yang timbul sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan yang merupakan beban (secara komersial) bagi perusahaan.

Jika sistem kedua ini yang dianut oleh perusahaan, maka perhitungan kekurangan bayar PPh Pasal 21 yang terjadi pada akhir tahun akan dibebankan sebagai biaya pada laporan laba rugi untuk tahun yang bersangkutan. Namun perlu diketahui bahwa secara fiskal biaya ini tidak dapat menjadi pengurang dalam menghitung pajak terutang atas badan/perusahaan sehingga beban ini menjadi non deductible expense.

Anonim

Terima kasih atas jawabannya. Sy mulai memahami saat ini.Maaf jika pertanyaan saya mengarah ke lap.neraca komersial. Didalam Neraca akhir tahun badan, ada dimunculkan rekening "Hutang PPh Badan" misalnya. Hutang PPh Badan 2008 PT.A adalah sebesar Rp 2.000.000, Uang Muka PPh 25 adalah Rp 1.500.000. Jumlah berapa yang harus dimunculkan dalam Neraca Akhir Tahun untuk rek.Hutang PPh Badan? Sebesar Rp 2,000,000 (menurut salah satu blog Akuntan) atau Rp 500,000 saja (menurut lap.keuangan BPK yg pernah saya baca)? Bagaimana menurut peraturan perpajakan saat ini? Apakah boleh memakai salah satu dari kedua system pencatatan ini? Mohon pencerahannya.
Thanks so much for ur prompt reply.

Anto 11 Februari 2009 pukul 10.33

Pembukuan menurut ketentuan pajak pedoman/standarnya adalah berdasarkan SAK. Jadi akuntansi yang diselenggarakan untuk tujuan perpajakan harus berdasarkan PSAK (pajak tidak mengatur tentang tata cara pembukuan).
Berdasarkan SAK, pada akhir periode akuntansi, sebelum dilakukan adjustment; maka pada neraca trial balance akan muncul saldo-saldo seperti yang Anda sebutkan di atas. Maka proses akuntansi yang harus dilakukan adalah membuat jurnal adjustment untuk menyusun lap keu. Ketika sudah diketahui jumlah PPh terutang (dicatat sebagai Beban Pajak di posisi Debit) sebesar Rp 2.000.000, maka hutang pajak ini harus diperhitungkan dengan PPh Pasal 25 (yang diakui dalam akuntansi sebagai uang muka pajak). Maka Uang muka PPh 25 (saldo normalnya di posisi Debit) ini harus dikreditkan sebesar Rp 1.500.000.
Sehingga pada sisi Kredit masih terdapat selisih sebesar Rp 500.000 yang kita catat sebagai HUTANG PAJAK.
Jadi secara akuntansi, Nilai yang harus dicantumkan ke Neraca adalah HUTANG PAJAK sebesar Rp 500.000 (di posisi kredit).

Anonim

Terima kasih atas penjelasannya. Menyinggung ke pertanyaan yang lain, bagaimana kita menghitung PTKP seorang karyawan yang PTKP pada tengah tahun mengalami perubahan. Contoh: Karyawan "A" pada januari-maret = PTKP 13.200.000 (TK/O), kemudian april-des menikah = PTKP 14.400.000, Pada akhir tahun kolom SPT Tahunan 21 (Lampiran I A) hanya ada 1kolom utk PTKP, jadi PTKP yang mana harus diambil? salah satu dari keduanya? Jika demikian,Tentu saja, hasilnya akan tidak klop lagi. Karena pada Jan-Mar perusahaan menghitung menggunakan PTKP 13.200.000, dan Apr-Des menggunakan 14.400.000. Tolong pencerahannya.
Thanks so much for ur prompt reply.

Anto 13 Februari 2009 pukul 15.38

Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa PTKP ditentukan oleh keadaan pada awal tahun atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir SETELAH tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Jadi, untuk kasus Anda ini, PTKP tetap dihitung pada keadaan 1 Januari yaitu dengan status TK/0.

Anonim

Terima kasih atas jawaban sebelumnya. Saya ingin make sure, Jadi hasilnya tidak klop? Atau dari April-Desember saya salah menggunakan PTKP? Mohon pencerahan PTKP yg mana harus saya gunakan pada April-Desember? Dikarenakan hanya dijelaskan bahwa saya harus memakai PTKP TK/O pada akhir tahun pajak.
Thanks so much for ur prompt reply.

Anto 16 Februari 2009 pukul 08.07

PTKP yang harus digunakan selama 1 tahun pajak (dari Januari s.d. Desember) adalah melihat keadaan status PTKP pada awal tahun yaitu pada tanggal 1 Januari.
Jadi misalkan kasus Anda tersebut untuk tahun pajak 2008, maka untuk PTKP selama 1 Januari 2008 s.d. 31 Desember 2008, harus menggunakan PTKP pada keadaan awal, yaitu status pada tanggal 1 Januari 2008 yaitu TK/0.
Anda baru boleh menggunakan PTKP: K/0 setelah tahun pajak berikutnya yaitu tahun 2009 (walaupun menikahnya pada bulan April 2008).
Ingat: 1 tahun hanya boleh menggunakan 1 (satu) status PTKP, yaitu PTKP pada keadaan awal tahun (1 Januari tahun yang bersangkutan)!

Anonim

dear Pak Anto,

sehub dgn penyetoran PPh21 karyawan oleh perush dan pelaporan dgn format SPT terbaru masa Juli 2009 nanti; bagaimana jika ada kary tetap (jan-jun) yg keluar di bulan Juli, pph21 yg sudah dipotong akan lebih bayar

dari segi perush yg memotong, nanti di pelaporan masa des, kelebihan bayar kary tsb. boleh dikompensasikan ke kary yg lain bukan? sehingga di SPT PPh21 des semuanya pas, tidak ada lebih bayar

Benarkah anggapan selama ini, bahwa lebih baik setor PPh21 jangan 100% mendingan dikurangi supaya ga lebih bayar nantinya, apalagi tahun 2009 ini tidak ada lagi SPT Tahunan 1721. Bagaimana mencerahkan perush2 yg masih menggunakan pola pikir lama ini? Bukankah dgn format SPT Masa PPh21 yang baru ini harus PAS semuanya? tercermin di data kary pada lampiran SPT yang buanyak itu; berarti tiap masa pajak harus memberikan data ke KPP berapa jumlah kary tetap, berapa pengh bruto dan berapa pph21 terutangnya? wah, kalau kary tsb.ratusan berarti tiap masa pajak diulang2 terus pelaporannya?

Terima kasih sudah mendengarkan curhat sy,
salam terbaik buat Bapak u/ mengasuh blog yg ruar biasa ini

Bravo!

Anto 10 Juli 2009 pukul 23.10

Terima kasih atas apresiasinya, juga setia dalam mengikuti perkembangan Tax Learning.
Sebenarnya sebelum ketentuan PPh Pasal 21 yang baru ini terbit, pemotongan PPh Pasal 21 harus dilakukan oleh pemberi kerja secara real berdasarkan biaya yang telah mereka bayarkan kepada karyawan. Jadi seharusnya pemberi kerja tidak menyetorkan hasil pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulannya berdasarkan estimasi yang direndahkan. Ketentuan yang serupa mengenai hal ini pernah dibahas dalam Artikel ini.
Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 yang baru ini sebenarnya juga masih hampir sama dengan sebelumnya. Setiap bulan, pemotong PPh Pasal 21 hanya cukup melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 (sekarang form 1721), Daftar Bukti Pemotongan (Non Final dan Final) serta Bukti Pemotongan (Non Final dan Final).
Formulir 1721-I, 1721-A1 atau A2 hanya cukup dibuat pada akhir tahun, untuk masa Desember (namun tidak perlu disampaikan ke kantor pajak.
Saat ini yang sedikit berbeda adalah pemotong pajak perlu melaporkan adanya mutasi pegawai (pada setiap terjadinya mutasi pegawai, baik masuk maupun keluar) dengan menggunakan formulir 1721-II, serta pada awal menjadi pemotong PPh Pasal 21, perlu melaporkan 1721-T. (untuk lebih jelasnya silakan baca di sini.
Jadi sebenarnya selama ini pemotong pajak tidak menyadari hal ini, dan biasanya akan timbul masalah ketika diperiksa pajaknya.

Posting Komentar